Jumat, 02 November 2012

Ibrahim

Ibrahim dalam kasusnya di Bukit Muria.....

Seorang ayah, bukan binatang bukan iblis tetapi manusia. Melewati beberapa kisah kehidupan dalam pencarianya mengenai Tuhan akhirnya dia taat. Taat pada wujud yang tak pernah dia lihat sebelumnya, taat bukan pada batu atau matahari yang pernah di sangkanya sebagai yang patut di taati. Taat pada dzat pemilik alam dan pencipta kehidupan baik dunia maupun setelahnya.

Selayaknya rumah tangga, membina kasih dengan penuh rasa sayang adalah hal yang indah. Namun keindahan itu tiada artinya tanpa kehadiran seorang penerus yang di harapkan dapat melanjutkan cita-citanya. Kehadiran itu adalah kehadiran seorang anak yang pada akhirnya menjadi titpan Tuhan untuk di didik dan di lindungi.

Begitupun Ibrahim.

Ketaatanya pada Tuhan adalah suatu hal yang absolut dan tidak ada yang dapat menandinginya selain itu. Banyak hal yang telah dia lalui sebelum akhirnya begitu percaya pada Tuhan. Tuhan yang menurutnya satu, Tuhan yang menurutnya maha besar dan Tuhan yang menciptakan malam dan siang.

Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika ketaatanya itu mengganggu ketenanganya. Ketataatan itu membuaatnya harus merelakan apa yang menjadi dambaan setiap madu kasih. Kala itu Tuhan menuntunya melalui mimpi buah hati, kurang lebih pesan itu menyiratkan untuk membunuh. Bukan setan ataupun musuh tetapi membunuh anaknya sendiri.

Tak dapat di  bayangkan, bagaimana begitu bercampurnya rasa menanggapi bisikan itu. Pertanyaan keyakinan pun muncul bersautan hingga pada akhirnya ‘iman’ menuntunya untuk tetap taat. Dengan penuh percaya diri dan yakin, dia membawa buah hatinya yang dia beri nama Ismail menuju Bukit Muria. Di tidurkan anaknya di atas batu panjang dan di ayunkan golok tajam menuju leher anaknya.

Belum sempat terjadi, Tuhan kembali membisikinya dengan penuh rasa haru “ibrahim. Ibrahim, jangan kau bunuh anak itu”. Seketika tanganya terhenti dan di tangguhkanlah niatnya. Tuhan ternyata mengujinya, tuhan memberinya makna dan pelajaran. Tidak sampai disitu, Tuhan memintanya berhenti dan menukar dengan seekor kambing.

.............

Disini, di dalam kisah yang secara singkat aku tuliskan setidaknya makna-makna itu terasa.
Mungkin ada yang menangkapnya tentang sebuah ketaatan, lainya menganggap ini sebuah pengorbanan tetapi di sisi lain ada yang lebih dalam yaitu kemanusiaan. Tuhan menitipkanya hati, buah hati dan bumi beserta isinya. Hati yang menuntun kehidupanya, buah hati yang menjadi bagaimana representasi keinginanya dan bumi yang menjadi tanggung jawabnya.

Tuhan menguji ketaatanya, untuk membuktikan bahwa Ibrahim begitu menjaga hatinya dan keyakinanya “laila ha ilallah” yaitu menjaga tiada Tuhan selain Allah. Dengan anaknya yang tidak lain tidak bukan adalah manusia, Ibrahim di ingatkan menjaga dan melindungi serta mengasihi. Lalu di sebuah Bukit nan damai, Ibrahim merasakan ketenangan alam dimana Tuhan hadir untuk mengingatkanya.

Seperti apa yang tersirat di dalam kita suci Al-Qur’an, bahwa semua kejadian yang kamu alami adalah tidak lain tidak bukan agar kamu berfikir. Afala tatafakkarun..... Afala tubsirun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar