Jumat, 23 November 2012

Menciptakan Kebahagiaan


"Commencons pa I’mpossible"
Marilah kita mulai dengan yang tak mungkin (Deridda)

Kata-kata itu terdengar rancu atau bahkan tidak sama sekali. Dunia begitu cepat berkembang, segala kabar berita dengan mudah di akses serta di nikmati oleh khalayak luas. Tidak hanya sesuatu yang sifatnya memang konsumsi publik, akan tetapi aib sekalipun di sebar luaskan. Inilah era yang kita sebut dengan era globalisasi, era demokrasi, era dimana setiap manusia di beri kesempatan untuk bebas berpendapat.

Indonesia adalah negara yang besar, kaya raya bahkan saat ini telah masuk kategori grade invesment. Grade invesment itu sendiri memiliki pengertian bahwa suatu negara atau perusahaan telah memasuki kategori negara yang mampu melunasi hutangnya. Dengan berada pada kategori ini, indonesia telah dikatakan aman dan layak untuk para investor menanamkan investasinya. Dengan keadaan ini, era globalisasi pun tentunya bukan menjadi masalah lagi bagi Indonesia. Indonesia siap bersaing dan menjadi negara yang maju.

Secara tidak langsung, suka atau tidak, mau tidak mau globalisasi telah merubah pola pikir atau pandangan masyarakat tentang arti dari sebuah kemajuan. Kemajuanan saat ini di artikan dengan kekayaan, kemewahan yang tentu ekonomi menjadi imamnya. Atas dasar itu maka pembangunan pun di lakukan, gedung-gedung tinggi, Hotel dan Mall di dirikan, yang tidak lain hal itu di lakukan untuk menunjukan bahwa sebuah negara telah maju dan modern. 

Yang menjadi pertanyaan, apakah kemudian dengan sistem demokrasi, ekonomi yang telah meningkat, serta merta mampu membuat masyarakatnya hidup layak dan bahagia?

Kehidupan dan sistem persahabatan di seluruh dunia, baik di Indonesia atau Amerika, baik dulu ataupun sekarang, tidak dapat di lepaskan suatu sistem kasta, yang terdiri dari kasta tinggi, rendah. dan tengah. Tentunya hal ini pula lah yang cenderung membuat era globalisi bisa di nilai negatif apabila tidak di maknai secara positif. Keinginan cepat kaya dan meningkat kasta membuat sebagian atau bahkan keseluruhan masyarakat menjadi buta.

Dengan menghambakan materi, masyarakat cenderung berbuat apapun untuk menjadi kaya dan bertindak tidak sesuai dengan etika. Keadaan ini kemudian menuntun masyarakat untuk berpikir negatif dan tidak lagi bahagia. Satu sama lain saling curiga, kepercayaan hilang kemudian kehidupan individual pun di kedepankan. Tidak ada lagi gotong royong dan satu sama lain berpikir untuk hidupnya masing-masing demi kepentinganya.

Perlu di ketahui, setiap tahun indeks kehidupan layak di Indonesia cenderung terus dan terus menurun. Dan ternyata saat ini sebuah kemajuan dan kehidupan yang layak tidak lagi di tentukan oleh materi. Kemajuan dan kehidupan yang layak di tentukan oleh kebahagian. Indonesia memang masih termasuk sebagai negara yang indeks kebahagiaanya tinggi tetapi kehidupan layaknya justru menurun seiring dengan pembangun.

Ini sebuah fenomena yang mengherankan, yang kemudian mengundang tanda tanya baru. Masyarakat sejujurnya mulai tidak lagi menyukai persaingan yang omong kosong dan membuat sakit hati. Kehidupan mewah yang berlebih pun ternyata justru menyimpan kegalauan tersendiri. Dengan pemaparan sederhana di atas maka saya mengajak kepada pembaca untuk mari membuat kebahagiaan secara sederhana dengan efek yang signifikan.

Jumat, 02 November 2012

Ibrahim

Ibrahim dalam kasusnya di Bukit Muria.....

Seorang ayah, bukan binatang bukan iblis tetapi manusia. Melewati beberapa kisah kehidupan dalam pencarianya mengenai Tuhan akhirnya dia taat. Taat pada wujud yang tak pernah dia lihat sebelumnya, taat bukan pada batu atau matahari yang pernah di sangkanya sebagai yang patut di taati. Taat pada dzat pemilik alam dan pencipta kehidupan baik dunia maupun setelahnya.

Selayaknya rumah tangga, membina kasih dengan penuh rasa sayang adalah hal yang indah. Namun keindahan itu tiada artinya tanpa kehadiran seorang penerus yang di harapkan dapat melanjutkan cita-citanya. Kehadiran itu adalah kehadiran seorang anak yang pada akhirnya menjadi titpan Tuhan untuk di didik dan di lindungi.

Begitupun Ibrahim.

Ketaatanya pada Tuhan adalah suatu hal yang absolut dan tidak ada yang dapat menandinginya selain itu. Banyak hal yang telah dia lalui sebelum akhirnya begitu percaya pada Tuhan. Tuhan yang menurutnya satu, Tuhan yang menurutnya maha besar dan Tuhan yang menciptakan malam dan siang.

Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika ketaatanya itu mengganggu ketenanganya. Ketataatan itu membuaatnya harus merelakan apa yang menjadi dambaan setiap madu kasih. Kala itu Tuhan menuntunya melalui mimpi buah hati, kurang lebih pesan itu menyiratkan untuk membunuh. Bukan setan ataupun musuh tetapi membunuh anaknya sendiri.

Tak dapat di  bayangkan, bagaimana begitu bercampurnya rasa menanggapi bisikan itu. Pertanyaan keyakinan pun muncul bersautan hingga pada akhirnya ‘iman’ menuntunya untuk tetap taat. Dengan penuh percaya diri dan yakin, dia membawa buah hatinya yang dia beri nama Ismail menuju Bukit Muria. Di tidurkan anaknya di atas batu panjang dan di ayunkan golok tajam menuju leher anaknya.

Belum sempat terjadi, Tuhan kembali membisikinya dengan penuh rasa haru “ibrahim. Ibrahim, jangan kau bunuh anak itu”. Seketika tanganya terhenti dan di tangguhkanlah niatnya. Tuhan ternyata mengujinya, tuhan memberinya makna dan pelajaran. Tidak sampai disitu, Tuhan memintanya berhenti dan menukar dengan seekor kambing.

.............

Disini, di dalam kisah yang secara singkat aku tuliskan setidaknya makna-makna itu terasa.
Mungkin ada yang menangkapnya tentang sebuah ketaatan, lainya menganggap ini sebuah pengorbanan tetapi di sisi lain ada yang lebih dalam yaitu kemanusiaan. Tuhan menitipkanya hati, buah hati dan bumi beserta isinya. Hati yang menuntun kehidupanya, buah hati yang menjadi bagaimana representasi keinginanya dan bumi yang menjadi tanggung jawabnya.

Tuhan menguji ketaatanya, untuk membuktikan bahwa Ibrahim begitu menjaga hatinya dan keyakinanya “laila ha ilallah” yaitu menjaga tiada Tuhan selain Allah. Dengan anaknya yang tidak lain tidak bukan adalah manusia, Ibrahim di ingatkan menjaga dan melindungi serta mengasihi. Lalu di sebuah Bukit nan damai, Ibrahim merasakan ketenangan alam dimana Tuhan hadir untuk mengingatkanya.

Seperti apa yang tersirat di dalam kita suci Al-Qur’an, bahwa semua kejadian yang kamu alami adalah tidak lain tidak bukan agar kamu berfikir. Afala tatafakkarun..... Afala tubsirun