Perubahan, sebuah kata yang memiliki makna begitu luas dengan
bayangan-bayangan akan hal baik terjad di depanya. Bagi kaum reformis
mereka lebih familiar dengan istilah revolusi. Sekarno menyebutnya
dengan emne umgestaltung von groundauf atau perubahan dari dasar sekali.
Islam pun memiliki istilahnya sendiri yaitu hijrah perubahan dari
keadaan yang buruk menuju ke keadaan yang lebih baik.
Proses menuju perubahan ini memiliki beberapa tahap yang pertama
mungkin adalah pemahaman materi, kedua perencanaan dan lalu di lanjutkan
dengan tahap pelaksanaan. Tiga komponen itu menjadi hal-hal dasar yang
umum, begitu mudah di pahami dan biasa di lakukan. Bila kesepakatan
terjadi maka majulah bersama-sama menuju tahap pelaksanaan yang lebih
mengedepankan konsistensi.
Tahap pelaksanaan menjadi yang paling krusial, karena selain perlu
mendapatkan persetujuan dan knsistensi juga harus mampu di terima leh
target. Satu saja tahapan tidak sesuai rencana maka rusaklah
segala-galanya. Ini berarti menuntut kreatifitas, ketabahan hati dan
kebesaran pemimpin untuk mampu mengarahkan anggota-anggotanya. Hal itu
di sebabkan karena pemimpinlah yang nantinya maju di garda terdepan dan
otomatis harus mengetahui kondisi.
Saat ini tidak jarang tata cara dan keinginan merespon di dahului
dari menyalahkan kondisi bukan kenapa kondisi itu dapat terjadi. Pola
ritme menyalahkan keadaan itu secara umum lalu melebar menuju dimensi
yang di sebut logika dan mengutamakan emosi. Dimana hal-hal konservatif
di lakukan dengan cara-cara yang sama persis dengan masa lalu yang
mungkin sudah tidak relevan lagi saat ini.
Apabila sedikit saja pernah belajar ekonomi mungkin kita kenal
dengan istilah sunk-cost atau di artikan dengan biaya tenggelam.
Hammond, Keeney dan Raiffa, tiga orang psikolog ternama ini
menstimulasikan istilah itu menjadi sunk-cost trap dalam istilahnya
sebagai sebuah pengambilan keputusan. Dalam konteksnya yang berbeda,
sunk-cost ini menjadi sebuah keputusan yang di keluarkan dan selau
berputar-putar begitu saja padahal hal itu menjadi tak berguna dan bias.
Saat ini agen-agen perubahan di daerah bila di nilai dari kacamata
sosilogis mungkin di simpulkan egois. Memiliki visi dan misi tetapi
tahap pelaksanaanya lalu dengan cara yang kembali seperti itu dan
seperti itu yang akhirnya di istilahkan sunk-cost. Ketika panadol tak
kunjung membuat kita sembuh dari sakit kepala maka solusinya adalah ke
dokter atau berganti obat bukan terus-terus meminum panadol.
Harus ada cara baru yang lebih efektif dan mengena ke tujuan
perubahan. Sakit hati karena kita harus menemui apa yang seharusnya kita
lawan bukan hal yang masalah karena dalam setiap perjuangan hal-hal
seperti itu wajar. Pola pikir dan kecerdasan emosional saat ini harus
lebih di utamakan ketimbang pemaksaan kehendak yang malah justru
stagnan.
Tiga psikolog di atas tadi setidaknya memberikan kita pelajaran
untuk kreatif dan mencoba alternatif lain. Kita harus berbesar hati
untuk menerima segala konsekuensi yang mungkin hal itu terjadi karena
masalah sepele perihal komunikasi. Perubahan adalah sebuah mimpi besar
yang menjadi percuma ketika cara-cara lama yang tidak efektif di pegang
teguh dengan ke egoisan membabi buta. Harus seperti itu harus seperti
itu yang padahal sunk-cost !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar