Kamis, 18 Oktober 2012

Merubah Pola

Perubahan, sebuah kata yang memiliki makna begitu luas dengan bayangan-bayangan akan hal baik terjad di depanya. Bagi kaum reformis mereka lebih familiar dengan istilah revolusi. Sekarno menyebutnya dengan emne umgestaltung von groundauf atau perubahan dari dasar sekali. Islam pun memiliki istilahnya sendiri yaitu hijrah perubahan dari keadaan yang buruk menuju ke keadaan yang lebih baik.

Proses menuju perubahan ini memiliki beberapa tahap yang pertama mungkin adalah pemahaman materi, kedua perencanaan dan lalu di lanjutkan dengan tahap pelaksanaan. Tiga komponen itu menjadi hal-hal dasar yang umum, begitu mudah di pahami dan biasa di lakukan. Bila kesepakatan terjadi maka majulah bersama-sama menuju tahap pelaksanaan yang lebih mengedepankan konsistensi.

Tahap pelaksanaan menjadi yang paling krusial, karena selain perlu mendapatkan persetujuan dan knsistensi juga harus mampu di terima leh target. Satu saja tahapan tidak sesuai rencana maka rusaklah segala-galanya. Ini berarti menuntut kreatifitas, ketabahan hati dan kebesaran pemimpin untuk mampu mengarahkan anggota-anggotanya. Hal itu di sebabkan karena pemimpinlah yang nantinya maju di garda terdepan dan otomatis harus mengetahui kondisi.

Saat ini tidak jarang tata cara dan keinginan merespon di dahului dari menyalahkan kondisi bukan kenapa kondisi itu dapat terjadi. Pola ritme menyalahkan keadaan itu secara umum lalu melebar menuju dimensi yang di sebut logika dan mengutamakan emosi. Dimana hal-hal konservatif di lakukan dengan cara-cara yang sama persis dengan masa lalu yang mungkin sudah tidak relevan lagi saat ini.

Apabila sedikit saja pernah belajar ekonomi mungkin kita kenal dengan istilah sunk-cost atau di artikan dengan biaya tenggelam. Hammond, Keeney dan Raiffa, tiga orang psikolog ternama ini menstimulasikan istilah itu menjadi sunk-cost trap dalam istilahnya sebagai sebuah pengambilan keputusan. Dalam konteksnya yang berbeda, sunk-cost ini menjadi sebuah keputusan yang di keluarkan dan selau berputar-putar begitu saja padahal hal itu menjadi tak berguna dan bias.

Saat ini agen-agen perubahan di daerah bila di nilai dari kacamata sosilogis mungkin di simpulkan egois. Memiliki visi dan misi tetapi tahap pelaksanaanya lalu dengan cara yang kembali seperti itu dan seperti itu yang akhirnya di istilahkan sunk-cost. Ketika panadol tak kunjung membuat kita sembuh dari sakit kepala maka solusinya adalah ke dokter atau berganti obat bukan terus-terus meminum panadol.

Harus ada cara baru yang lebih efektif dan mengena ke tujuan perubahan. Sakit hati karena kita harus menemui apa yang seharusnya kita lawan bukan hal yang masalah karena dalam setiap perjuangan hal-hal seperti itu wajar. Pola pikir dan kecerdasan emosional saat ini harus lebih di utamakan ketimbang pemaksaan kehendak yang malah justru stagnan.

Tiga psikolog di atas tadi setidaknya memberikan kita pelajaran untuk kreatif dan mencoba alternatif lain. Kita harus berbesar hati untuk menerima segala konsekuensi yang mungkin hal itu terjadi karena masalah sepele perihal komunikasi. Perubahan adalah sebuah mimpi besar yang menjadi percuma ketika cara-cara lama yang tidak efektif di pegang teguh dengan ke egoisan membabi buta. Harus seperti itu harus seperti itu yang padahal sunk-cost !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar