Kamis, 27 September 2012

Lagi-lagi (IBU)

Kesalahan atau mistakes adalah hal yang wajar, dimana saat itu manusia di ingatkan oleh tuhan bahwa dia adalah manusia. Banyak hal yang tidak kita sukai yang tentunya banyak hal pula yang orang lain tidak sukai. Bila di kumpulkan menjadi satu, maka ketidak sukaan itu akan menumpuk dan terpecah belahlah menjadi apa yang di sebut kepentingan. Akhirnya kita pun sepakat bila hidup selalu berputar dan karenanya semakin ke depan kita akan menyadari bahwa kebijaksaan hidup di atas segalanya di muka bumi ini.

Ibu, wanita yang melahirkan dan rela menyusahpayahkan hidupnya demi aku pernah berkata "yang terpenting adalah menyadari kamu itu siapa dan kamu adalah kamu". Kata-katanya singkat dan mengalir begitu saja sebelum akhirnya memiliki arti dan makna yang begitu merubah kehidupan pribadi saya. Ibu memang selalu begitu, menyempatkan waktu menaruh benih-benih kebaikan dengan cara yang halus. Mungkin perasaan melankolis dan ikatan batin saja pikirku saat itu.   







Dalam kesempatan lain, suasanya mungkin saat itu terlalu lelah, aku baru pulang sekolah dan mendapati pakaianku acak-akan. Sebagai manusia yang menurut Plato selain memiki akal dan keberanian juga memiliki nafsu, aku marah. "Bu, Bi Inem gimana sih, itu bajunya acak-acakan nyetrikanya ga bener !" marahku saat itu, oya waktu itu aku masih SMA kelas dua dan emosional sepertinya. Ibu diam dan menjawab "kalau dia sekolah dan mendapatkan pendidikan yang baik, dia tidak bekerja disini dan pasti disiplin".

Kata-kata ibu membangkitkan hati yang saat itu sedang di belenggu emosi. Ibu menambahkan "belajar memahami dan berpikir positif", dalam suasana yang panas ternyata ibu saat itu sedang menyiramkan air yang lebih dari banyak untuk memadamkan api. Aku tidak bisa marah, aku diam dan aku melamun, saat itu aku hanya bisa berpikir "oh ini yg dulu ibu maksud dengan 'harus sadar siapa diri kamu'". Dari kejadian itu pemikiranku terbuka dan dengan penuh rasa malu aku mencoba memaafkan kesalahanku sendiri.

Perubahan akan kesalahan nyatanya tidak bisa hanya di dapatkan dari pendidikan karena pendidik hanyalah sebatas saat kita di sekolah. Yang mempengaruhi perubahan adalah diri kita sendiri dan terutama adalah lingkungan. Kontruktivisme, sebuah paradigma yang intinya menjelaskan bahwa perubahan itu di dasari pengalaman itu memanglah benar. Manusia adalah makhluk pencontoh, setiap sikap dan perilakunya berdasarkan contoh yang akhirnya dikenal dengan pengalaman.

Pendidikan mengajarkan kita teori dan lingkungan adalah bentuk aplikasi. Ketika kita melihat teman kita menyelesaikan masalah dengan berkelahi suatu saat ketika masalah yang sama menimpa kita maka kitapun akan berkelahi. Setidaknya itulah yang saya alami sekalipun pendidikan mengajarkan nilai-nilai kebaikan. Sebelum pada akhirnya berubah karena ternyata ada hal yang lebih baik selain berkelahi untuk menyelesaikan masalah dan tentu itu dengan mencontoh perilaku lainya.

Sedikit cerita fiktif tentang Bapak Umar, seorang guru PPKn di salah satu sekolah swasta. Hari masih gelap namun ia sudah terbangun karena harus menuju kota untuk mengambil uang pensiunan Ayahnya. Jarak rumahnya dengan kota mungkin sekitar 50 km, hal itu yang menuntutnya untuk bangun pagi agar tidak terlambat sampai di bang. Dia melaju motornya dengan kencang hingga tak sadar ban belakang motornya bocor. Dia kebingungan dan mencoba mencari tambal ban dengan menuntun motornya.

Beruntunglah dia karena tidak jauh dari itu dia mendapati tempat tambal ban. Tak di duga, ternyata kebetulan tukang tambal ban itu adalah muridnya ketika di sekolah dulu. Dengan lega akhirnya menitipkan motornya dan melanjutkan perjalan menuju kota menggunakan metro mini. Di atas metro mini pun dia dimudahkan, dengan membawa uang secukupnya dia di antar kke depan Bank dengan gratis. Kebaikan yang di dapatkan itu tidak lain tidak bukan karena supir dan kernetnya adalah juga muridnya ketika di SMA dulu.

Hari sudah semakin siang, dengan sedikit penyesalan dia terlambat sampai di Bank. Di dapati antrian yang begitu panjang dan memakan waktu. Secara perlahan seorang pria yang di ketahui sebagai manager Bank itu menepuk punggungnya. "Sini pak, bapak duluan saja" kata pemuda yang saat ini menjadi manager itu. Dia terkejut ternyata Manager Bank itu murid kesayanganya ketika di SMA dulu. Dengan bantuan muridnya dia dapat antrian lebih dulu dan bisa segera pulang mengambil motornya.

Namun naas, di tengah jalan dia di rampok, tas yang berisi uang sepuluh juta itu di bawa lari oleh pencuri. Dia bergegas melapor polisi yang kebetulan adalah muridnya. Karena bakti sebagai murid terhadap gurunya, polisi itu dengan cepat menangkap rampok tersebut. Ketika di kantor polisi, Pak Umar kaget bukan main ternyata rampok itu pun adalah muridnya ketika SMA di desa dulu. Akhirnya dia memohon untuk melepaskan muridnya ini dengan jaminan dirinya sendiri.

Cerita singkat ini membuat kita sadar bahwa tidak mudah membuat orang untuk menjadi sempurna. Murid Pak Umar yang di ajar dengan cara yang sama ternyata tercetak menjadi pribadi yang berbeda dari manager hingga perampok. Yang bisa kita pelajari adalah satu hal, kebaikan Pak Umar, ketulusan Pak Umar dan kasih sayang Pak Umar ketika menjadi guru mereka membuat mereka baik kepada Pak Umar bagaimanapun keadaanya. Pak Umar tetap sayang dengan muridnya yang seorang perampok maupun Manager.

Di lain kesempatan ibuku juga pernah mengatakan "kita tidak merubah seseorang sesuai keinginan kita tetapi kita bisa merubah pikiran kita tentang seseorang" di melanjutkan "jeleknya dia karena dalam pikiranmu dia jelek seandainya dalam pikiranmu dia baik maka dia baik". Ibu memang selalu melihat sesuatu dengan hatinya dan hatinya saat ini mulai masuk kedalam hatiku. "Apa salahnya berbuat baik dan terus berbuat baik karena orang lebih mudah melupakan kebaikan dan lebih gampang mengingat kejahatan, tumpuk ajah baiknya yang banyak" (IBU).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar