Senin, 21 Mei 2012

Perjalanan

Perjalanan panjang itu membawa dalam sebuah perenungan baru, akan hal-hal baru dan mimpi-mimpi baru. Benar, bila pada saatnya nanti kelurgalah tempat dari segalanya kembali. Kepakan sayap dan lekukan layar yang mengembang membawa pelukan manis. Formulasi dari apa yang di sebut "man jadda wa jadda" tidak lebih untuk pada akhirnya entreprenurial yang disumbangkan.

Pernah, dalam suatu kesempatan, saya mengunjungi desa yang menurut orang kebanyakan adalah desa bar-bar. Disitu di kisahkan, hasil laut melimpah tak kunjung membawa penghuninya untuk ber asketik. Sebut saja desa Taro, desa pinggir laut yang unik dan penuh jawara-jawara kejam. "Disini dulunya, tetangga saling makan" kata seorang tukang bangunan, makan dalam artian istri tetangga bisa di tiduri ketika suami pergi berlayar.

Jahiliyah memang, lebih lagi anak-anaknya yang katanya jauh dari pendidikan. Pencurian, perkelahian berujung pembunuhan dan segala macam khamar disajikan dengan bebas. Aturanya singkat, siapa yang kuat dia yang akan bertahan hidup. Harus memang, habis meng habisi, tikam menikam, "serunya hidup ya seperti itu" kata salah seorang teman yang kebetulan tinggal disana. Mental memang sudah menjadi karakter yang akhirnya menjadi jati diri.

Pernah lagi, dalam suatu kesempatan perjalan saya temui suasana berbeda. Desanya tidaklah lebih besar dari Taro, tidak juga lebih melimpah dari Taro tetapi masyarakatnya justru 'survive. Saya biasa menyebutnya desa "bunga". Memang tidak semua yang 'survive' karena ada pula yang 'bar-bar' tetapi secara keseluruhan memang lebih baik. Bapak-bapaknya datang memakai sarung di pagi buta, menuju masjid memadu kasih bersama tuhan. Anaknya mudanya pun begitu, bangun begitu pagi dan membuka-buka buku.

"Semua tak sama tak pernah sama"

Lirik lagu padi mengiringi waktu penulisan cerita perjalanan sinkat ini. Sebagai ingatan kita, dunia ini diciptakan Allah sesungguhnya sangat komplementasi, simbang dan teratur. Allah menciptakan segalanya sebagai "pelajaran bagi manusia yang mau berpikir". Mungkin terlalu berlebihan apabila saya mengibaratkan perjalanan itu dengan mengembangkan layar. Karena sampai saat ini, untuk hal-hal yang lebih jauh masih belum terjangkau.

Ada hal yang hendak di ceritakan, bahwa tuntutan untuk selalu sama itu baik dalam penilian yang baik. Maksudnya untuk menyatukan tujuan dan tekad supaya berada dalam 'one track'. Penting, tetapi tidak lebih penting lagi memahami perbedaan itu sebagai kemasan yang menarik. Desa Taro dan Bunga mungkin memiliki kerinduan yang berbeda pada tujuanya tetapi semuanya sama, yaitu mencari kedamaian.

Yang satu caranya dengan semakin kuat dan khamar sedangkan satunya lagi dengan mendekatkan diri pada ilahi. Jika salah satunya saja merasa memiliki hak maka terbenturlah sudah segalanya. Dalam tradisi pesantren kita mengenalnya dengan 'musakalah', apabila Taro keras, Bunga pun lebih keras. Apabila Taro kejam, Bunga pun lebih kejam. Tetapi hidup tidaklah seperti itu, "Api tidak bisa di padamkan oleh Api" "Luka tidak bisa disembuhkan dengan Luka".

Penting memahami, mengapa ada yang melotot, mengapa ada yang terpejam. Mengapa ada yang menangis, mengapa pula ada yang tersenyum. Mengapa ada menjerit, mengapa pula ada yang berbisik. Itulah cara-cara Tuhan untuk menjadikan kita kreatif, untuk menjadikan kita menari dalam kehidupan. Mungkin pada saatnya kita akan berpikir bahwa jalan lurus sudah terlalu penuh sehingga macet, maka kita ambil jalur lain? Apakah heteremoni?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar