Perjalanan panjang itu membawa dalam sebuah perenungan baru, akan
hal-hal baru dan mimpi-mimpi baru. Benar, bila pada saatnya nanti
kelurgalah tempat dari segalanya kembali. Kepakan sayap dan lekukan
layar yang mengembang membawa pelukan manis. Formulasi dari apa yang di
sebut "man jadda wa jadda" tidak lebih untuk pada akhirnya
entreprenurial yang disumbangkan.
Pernah, dalam suatu kesempatan, saya mengunjungi desa yang menurut
orang kebanyakan adalah desa bar-bar. Disitu di kisahkan, hasil laut
melimpah tak kunjung membawa penghuninya untuk ber asketik. Sebut saja
desa Taro, desa pinggir laut yang unik dan penuh jawara-jawara kejam.
"Disini dulunya, tetangga saling makan" kata seorang tukang bangunan,
makan dalam artian istri tetangga bisa di tiduri ketika suami pergi
berlayar.
Jahiliyah memang, lebih lagi anak-anaknya yang katanya jauh dari
pendidikan. Pencurian, perkelahian berujung pembunuhan dan segala macam
khamar disajikan dengan bebas. Aturanya singkat, siapa yang kuat dia
yang akan bertahan hidup. Harus memang, habis meng habisi, tikam
menikam, "serunya hidup ya seperti itu" kata salah seorang teman yang
kebetulan tinggal disana. Mental memang sudah menjadi karakter yang
akhirnya menjadi jati diri.
Pernah lagi, dalam suatu kesempatan perjalan saya temui suasana
berbeda. Desanya tidaklah lebih besar dari Taro, tidak juga lebih
melimpah dari Taro tetapi masyarakatnya justru 'survive. Saya biasa
menyebutnya desa "bunga". Memang tidak semua yang 'survive' karena ada
pula yang 'bar-bar' tetapi secara keseluruhan memang lebih baik.
Bapak-bapaknya datang memakai sarung di pagi buta, menuju masjid memadu
kasih bersama tuhan. Anaknya mudanya pun begitu, bangun begitu pagi dan
membuka-buka buku.
"Semua tak sama tak pernah sama"
Lirik lagu padi mengiringi waktu penulisan cerita perjalanan sinkat
ini. Sebagai ingatan kita, dunia ini diciptakan Allah sesungguhnya
sangat komplementasi, simbang dan teratur. Allah menciptakan segalanya
sebagai "pelajaran bagi manusia yang mau berpikir". Mungkin terlalu
berlebihan apabila saya mengibaratkan perjalanan itu dengan
mengembangkan layar. Karena sampai saat ini, untuk hal-hal yang lebih
jauh masih belum terjangkau.
Ada hal yang hendak di ceritakan, bahwa tuntutan untuk selalu sama
itu baik dalam penilian yang baik. Maksudnya untuk menyatukan tujuan dan
tekad supaya berada dalam 'one track'. Penting, tetapi tidak lebih
penting lagi memahami perbedaan itu sebagai kemasan yang menarik. Desa
Taro dan Bunga mungkin memiliki kerinduan yang berbeda pada tujuanya
tetapi semuanya sama, yaitu mencari kedamaian.
Yang satu caranya dengan semakin kuat dan khamar sedangkan satunya
lagi dengan mendekatkan diri pada ilahi. Jika salah satunya saja merasa
memiliki hak maka terbenturlah sudah segalanya. Dalam tradisi pesantren
kita mengenalnya dengan 'musakalah', apabila Taro keras, Bunga pun lebih
keras. Apabila Taro kejam, Bunga pun lebih kejam. Tetapi hidup tidaklah
seperti itu, "Api tidak bisa di padamkan oleh Api" "Luka tidak bisa
disembuhkan dengan Luka".
Penting memahami, mengapa ada yang melotot, mengapa ada yang
terpejam. Mengapa ada yang menangis, mengapa pula ada yang tersenyum.
Mengapa ada menjerit, mengapa pula ada yang berbisik. Itulah cara-cara
Tuhan untuk menjadikan kita kreatif, untuk menjadikan kita menari dalam
kehidupan. Mungkin pada saatnya kita akan berpikir bahwa jalan lurus
sudah terlalu penuh sehingga macet, maka kita ambil jalur lain? Apakah
heteremoni?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar