Senin, 21 Mei 2012

Gelap

Kegelapan malam mengajarkan sesuatu pada kita, bahwa hidup haruslah seimbang. Keseimbangan hidup nantinya membawa kita pada kebahagiaan. Teramat sangat, memandang terang adalah satu-satunya jalan untuk lebih dapat jelas melihat. Tetapi sesungguhnya dalam kegelapanlah, kesunyianlah, segala yang tak dapat di pahami secara kasat mata dapat di renungkan.

Manusia terkadang enggan, atau bahkan acuh tak acuh terhadap niatan perenungan. Mereka lebih suka dimanja oleh kenyataan yang sebenarnya amat teramat semu. Dari satu tindakan lemah disumpulkan jutaan kelemahan. Dari satu tindakan hebat, di agungkanlah kehebatan itu. Cenderung lebih memaknai apa yang terjadi sekarang, dan tak menerima di hari-hari selanjutnya.

Sah-sah saja memang, karena untuk sampai pada tingakatan keseimbangan bukanlah hal yang mudah. Perlu kedewasaan dan pengalaman yang cukup panjang. Tetapi tidak selesai sampai disitu, perlu pula sisi kerohanian yang ikhlas serta tulus. Perjalananya tidak sederhana, panjang dan berliku-liku. Memang terletak pada satu ujung, yaitu apa yang kita kenal dan sebut sebagai kebijaksanaan.

Dalam Ihya Ulum Al-Din Al Ghazali menggunakan perumpaan sebutir kacang untuk menggambarkan tingkatan itu. Pertama: kulit luar kacang, kedua, kulit dalam, ketiga, biji, dan keempat minyak yang di hasilkan dari biji. Mungkin, kulit luarlah yang memang tidak pantas untuk di makan dan harus di buang jauh-jauh. Begitu menipu dan tidak mewakili isi di dalamnya yang sungguh mengandung nikmat yang besar.

Kulit dalam mewakili hati dan raga. Kulit dalam berguna sebagai penjaga biji dan menjaganya dari segala kerusakan. Biji melambangkan apa yang sesungguhnya ada dalam hati, sekalipun kulit dalam menjaganya, tetapi biji tidaklah dapat lepas dari campuran-campuran yang tidak murni. Dan minyak adalah ujung pangkal serta kualitas nyata dari segala-galanya, dari campuran-campuran yang terurai lemah.

Begitu panjang, dan tentunya dalam penulisan yang singkat tak akan habislah pembahasan ini. Sekurangnya, serapan inti yang terkandung bisa mewakilinya. Berjalan kembali menuju pemuliaan yang mulia, kita mengenalnya dengan sebutan filsafat. Ilmu tentang cinta terhadap kebijaksanaan. Tidak sedikit yang meyakininya sebagai ilmu menuju keseimbangan yang real dan sejati-sejatinya mantiq. Filsafat pulalah yang di anggap sebagai rajanya ilmu.

Mungkin kita pernah melihat sebuah berita tentang pencurian. Sebagian orang pastilah menilai, si A mengambil apa yang bukan hak nya dari tangan si B. Itu adalah pandangan wajar dan umum manusia secara keseluruhan. Tetapi dengan ilmu yang dikenal dengan ilmu hukum pastilah kita menyebutnya, si A melanggar pasal 362 tentang pencurian. Ada penilaian yang lebih dalam dari sebelumnya.

Seorang pria berjalan menatap seorang wanita dari kejauhan, memakai gaun dengan senyum menawan. Dalam hati pria itu berbisik "wanita itu cantik" dan menggumam kemungkinan-kemungkinan tentang wanita itu secara pasif, itu pasti. Lalu langkah kakinya semakin jelas mendekati, wajah wanita pun semakin terlihat "oh dia memakai bedak". Kakinya pun telah sampai dan obrolan kecil di mulai, di tariklah kesimpulan "hmm, ternyata wanita itu seorang kupu-kupu malam".

Terciptanya gelap adalah sebagian cara, untuk kita mengenal terang dengan kebaikan, kelembutan dan keharmonisa. Gelap itu adalah romantisme dari siang dengan cara yang berbeda. Pelukan dari segala pelukan yang memaknai haru dan lelah dengan cara yang dalam. Sebisa mungkin untuk terus menggali dan mencari esesnsi ketenangan dalam gelap. "Tugas kita bukan menciptakan terang saja tetapi yang terpenting adalah memaknai gelap sebelum terang"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar