Kegelapan malam mengajarkan sesuatu pada kita, bahwa hidup haruslah
seimbang. Keseimbangan hidup nantinya membawa kita pada kebahagiaan.
Teramat sangat, memandang terang adalah satu-satunya jalan untuk lebih
dapat jelas melihat. Tetapi sesungguhnya dalam kegelapanlah,
kesunyianlah, segala yang tak dapat di pahami secara kasat mata dapat di
renungkan.
Manusia terkadang enggan, atau bahkan acuh tak acuh terhadap niatan
perenungan. Mereka lebih suka dimanja oleh kenyataan yang sebenarnya
amat teramat semu. Dari satu tindakan lemah disumpulkan jutaan
kelemahan. Dari satu tindakan hebat, di agungkanlah kehebatan itu.
Cenderung lebih memaknai apa yang terjadi sekarang, dan tak menerima di
hari-hari selanjutnya.
Sah-sah saja memang, karena untuk sampai pada tingakatan
keseimbangan bukanlah hal yang mudah. Perlu kedewasaan dan pengalaman
yang cukup panjang. Tetapi tidak selesai sampai disitu, perlu pula sisi
kerohanian yang ikhlas serta tulus. Perjalananya tidak sederhana,
panjang dan berliku-liku. Memang terletak pada satu ujung, yaitu apa
yang kita kenal dan sebut sebagai kebijaksanaan.
Dalam Ihya Ulum Al-Din Al Ghazali menggunakan perumpaan sebutir
kacang untuk menggambarkan tingkatan itu. Pertama: kulit luar kacang,
kedua, kulit dalam, ketiga, biji, dan keempat minyak yang di hasilkan
dari biji. Mungkin, kulit luarlah yang memang tidak pantas untuk di
makan dan harus di buang jauh-jauh. Begitu menipu dan tidak mewakili isi
di dalamnya yang sungguh mengandung nikmat yang besar.
Kulit dalam mewakili hati dan raga. Kulit dalam berguna sebagai
penjaga biji dan menjaganya dari segala kerusakan. Biji melambangkan apa
yang sesungguhnya ada dalam hati, sekalipun kulit dalam menjaganya,
tetapi biji tidaklah dapat lepas dari campuran-campuran yang tidak
murni. Dan minyak adalah ujung pangkal serta kualitas nyata dari
segala-galanya, dari campuran-campuran yang terurai lemah.
Begitu panjang, dan tentunya dalam penulisan yang singkat tak akan
habislah pembahasan ini. Sekurangnya, serapan inti yang terkandung bisa
mewakilinya. Berjalan kembali menuju pemuliaan yang mulia, kita
mengenalnya dengan sebutan filsafat. Ilmu tentang cinta terhadap
kebijaksanaan. Tidak sedikit yang meyakininya sebagai ilmu menuju
keseimbangan yang real dan sejati-sejatinya mantiq. Filsafat pulalah
yang di anggap sebagai rajanya ilmu.
Mungkin kita pernah melihat sebuah berita tentang pencurian.
Sebagian orang pastilah menilai, si A mengambil apa yang bukan hak nya
dari tangan si B. Itu adalah pandangan wajar dan umum manusia secara
keseluruhan. Tetapi dengan ilmu yang dikenal dengan ilmu hukum pastilah
kita menyebutnya, si A melanggar pasal 362 tentang pencurian. Ada
penilaian yang lebih dalam dari sebelumnya.
Seorang pria berjalan menatap seorang wanita dari kejauhan, memakai
gaun dengan senyum menawan. Dalam hati pria itu berbisik "wanita itu
cantik" dan menggumam kemungkinan-kemungkinan tentang wanita itu secara
pasif, itu pasti. Lalu langkah kakinya semakin jelas mendekati, wajah
wanita pun semakin terlihat "oh dia memakai bedak". Kakinya pun telah
sampai dan obrolan kecil di mulai, di tariklah kesimpulan "hmm, ternyata
wanita itu seorang kupu-kupu malam".
Terciptanya gelap adalah sebagian cara, untuk kita mengenal terang
dengan kebaikan, kelembutan dan keharmonisa. Gelap itu adalah romantisme
dari siang dengan cara yang berbeda. Pelukan dari segala pelukan yang
memaknai haru dan lelah dengan cara yang dalam. Sebisa mungkin untuk
terus menggali dan mencari esesnsi ketenangan dalam gelap. "Tugas kita
bukan menciptakan terang saja tetapi yang terpenting adalah memaknai
gelap sebelum terang"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar