Senin, 21 Mei 2012

Pante rei, ouden menei

"Pante rei, ouden menei"

Jargon manis nan apik yang dikenal milik seorang filosof yang berasal dari Ioni dia adalah Heraklitus. Arti dari kata di atas kurang lebih adalah "semuanya mengalir, tida ada yang diam". Yap, semua memang terus mengalir dan tidak hanya diam. Ungkapan yang sangat sederhana namun memiliki makna yang begitu dalam.

Kadang memang kegairahan akan hidup hanyalah sebatas mencapai kesenangan semata. Ketika kita meminum kopi sambil mebaca koran, khayalan kita diam. Tetapi dalam kegaulauan masalah, khayalan kita justru tumbuh dan mengalir. Optimis, yakin dan menganggap hal-hal tidak mungkin menjadi mungkin adalah tipe sejati penakluk masalah. Spirit Heraklitus secara tidak langsung jika dikhayati akan membawa kita kepada ataraxia (kedamaian pikiran).

Secara langsung ataupun tidak kehidupan Heraklitus banyaklah di pengaruhi oleh ajaran Tao Yunani. Dia sangat percaya apabila dunia ini selalu memuat dualitas. Dualitas dalam artian dimana setiap ujungnya terdapat eksistensi yang berlawan, baik dan buruk, positif dan negatif, hitam dan putih, atas dan bawah serta lainya. Diapun berkeyakinan bahwa cara terbaik dalam hidup adalah menyatu dengan alam.

Ya mungkin benar, karena pada kenyataanya pun seperti itu. Dalam setiap keburukan mestilah ada pembanding yang baik yang membuat itu menjadi buruk. Putih yang tak akan pernah bermakna apabila tak ada hitam. Karena hanya dengan adanya hal itulah kita mampu menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Terus belajar dan belajar agar kehidupan nyata sebagai seorang manusia benarlah terlaksana sebagaimana mestinya.

Mungkin Adam Khoo hanyalah tinggal cerita buruk apabila di terus menerus larut dalam masa lalunya. Mungkin Steve Jobs mati dalam rintihan murung tentang kedua orang tuanya. Tetapi mereka mampu meminjam spirit "Panta rei, ouden menei" dan mengembalikanya dalam bentuk yang lebih baik. Adam Khoo sukses setelah hancur di masa SMP dan SMA nya dan Steve Jobs, seperti kita ketahui, sukses lepas dari belenggu kenyaatan sebagai anak tiri.

Memang bukanlah perkara mudah, membalikan keadaan dan memukulnya dengan keras. Perlu tetesan-tetesan air yang terus menerus untuk melubangi batu. Memajukan langkah yang telanjur berat seringkali malah membuat jalan mundur atau diam di tempat teduh adalah pilihan yang baik. Itu adalah tanda, mengalirnya hidup senantiasa selaras dengan apa yang ada di sekitar pula. Lingkungan, teman dan keluarga adalah pendorong nyata perubahan itu.

Dorongan-dorongan menuju hidup yang ideal menurut Alfred Adler, adalah dengan mempostulatkan "nafsu" yang bermain di balik segala bentuk perilaku dan pengalaman kita. Dia menyebut daya motivasi itu dengan striving for perfection atau dorongan menuju kesempurnaan. Adalah hal yang menarik memang, tetapi tetap bukanlah menjadi hal yang sepele, apalagi bila kita tidak dapat seperti apa yang Smuth katakan "memahami diri sendiri dalam satu kesatuan yang utuh". Atau yang lebih di kenal dengan Holisme.

Gelap

Kegelapan malam mengajarkan sesuatu pada kita, bahwa hidup haruslah seimbang. Keseimbangan hidup nantinya membawa kita pada kebahagiaan. Teramat sangat, memandang terang adalah satu-satunya jalan untuk lebih dapat jelas melihat. Tetapi sesungguhnya dalam kegelapanlah, kesunyianlah, segala yang tak dapat di pahami secara kasat mata dapat di renungkan.

Manusia terkadang enggan, atau bahkan acuh tak acuh terhadap niatan perenungan. Mereka lebih suka dimanja oleh kenyataan yang sebenarnya amat teramat semu. Dari satu tindakan lemah disumpulkan jutaan kelemahan. Dari satu tindakan hebat, di agungkanlah kehebatan itu. Cenderung lebih memaknai apa yang terjadi sekarang, dan tak menerima di hari-hari selanjutnya.

Sah-sah saja memang, karena untuk sampai pada tingakatan keseimbangan bukanlah hal yang mudah. Perlu kedewasaan dan pengalaman yang cukup panjang. Tetapi tidak selesai sampai disitu, perlu pula sisi kerohanian yang ikhlas serta tulus. Perjalananya tidak sederhana, panjang dan berliku-liku. Memang terletak pada satu ujung, yaitu apa yang kita kenal dan sebut sebagai kebijaksanaan.

Dalam Ihya Ulum Al-Din Al Ghazali menggunakan perumpaan sebutir kacang untuk menggambarkan tingkatan itu. Pertama: kulit luar kacang, kedua, kulit dalam, ketiga, biji, dan keempat minyak yang di hasilkan dari biji. Mungkin, kulit luarlah yang memang tidak pantas untuk di makan dan harus di buang jauh-jauh. Begitu menipu dan tidak mewakili isi di dalamnya yang sungguh mengandung nikmat yang besar.

Kulit dalam mewakili hati dan raga. Kulit dalam berguna sebagai penjaga biji dan menjaganya dari segala kerusakan. Biji melambangkan apa yang sesungguhnya ada dalam hati, sekalipun kulit dalam menjaganya, tetapi biji tidaklah dapat lepas dari campuran-campuran yang tidak murni. Dan minyak adalah ujung pangkal serta kualitas nyata dari segala-galanya, dari campuran-campuran yang terurai lemah.

Begitu panjang, dan tentunya dalam penulisan yang singkat tak akan habislah pembahasan ini. Sekurangnya, serapan inti yang terkandung bisa mewakilinya. Berjalan kembali menuju pemuliaan yang mulia, kita mengenalnya dengan sebutan filsafat. Ilmu tentang cinta terhadap kebijaksanaan. Tidak sedikit yang meyakininya sebagai ilmu menuju keseimbangan yang real dan sejati-sejatinya mantiq. Filsafat pulalah yang di anggap sebagai rajanya ilmu.

Mungkin kita pernah melihat sebuah berita tentang pencurian. Sebagian orang pastilah menilai, si A mengambil apa yang bukan hak nya dari tangan si B. Itu adalah pandangan wajar dan umum manusia secara keseluruhan. Tetapi dengan ilmu yang dikenal dengan ilmu hukum pastilah kita menyebutnya, si A melanggar pasal 362 tentang pencurian. Ada penilaian yang lebih dalam dari sebelumnya.

Seorang pria berjalan menatap seorang wanita dari kejauhan, memakai gaun dengan senyum menawan. Dalam hati pria itu berbisik "wanita itu cantik" dan menggumam kemungkinan-kemungkinan tentang wanita itu secara pasif, itu pasti. Lalu langkah kakinya semakin jelas mendekati, wajah wanita pun semakin terlihat "oh dia memakai bedak". Kakinya pun telah sampai dan obrolan kecil di mulai, di tariklah kesimpulan "hmm, ternyata wanita itu seorang kupu-kupu malam".

Terciptanya gelap adalah sebagian cara, untuk kita mengenal terang dengan kebaikan, kelembutan dan keharmonisa. Gelap itu adalah romantisme dari siang dengan cara yang berbeda. Pelukan dari segala pelukan yang memaknai haru dan lelah dengan cara yang dalam. Sebisa mungkin untuk terus menggali dan mencari esesnsi ketenangan dalam gelap. "Tugas kita bukan menciptakan terang saja tetapi yang terpenting adalah memaknai gelap sebelum terang"

Perjalanan

Perjalanan panjang itu membawa dalam sebuah perenungan baru, akan hal-hal baru dan mimpi-mimpi baru. Benar, bila pada saatnya nanti kelurgalah tempat dari segalanya kembali. Kepakan sayap dan lekukan layar yang mengembang membawa pelukan manis. Formulasi dari apa yang di sebut "man jadda wa jadda" tidak lebih untuk pada akhirnya entreprenurial yang disumbangkan.

Pernah, dalam suatu kesempatan, saya mengunjungi desa yang menurut orang kebanyakan adalah desa bar-bar. Disitu di kisahkan, hasil laut melimpah tak kunjung membawa penghuninya untuk ber asketik. Sebut saja desa Taro, desa pinggir laut yang unik dan penuh jawara-jawara kejam. "Disini dulunya, tetangga saling makan" kata seorang tukang bangunan, makan dalam artian istri tetangga bisa di tiduri ketika suami pergi berlayar.

Jahiliyah memang, lebih lagi anak-anaknya yang katanya jauh dari pendidikan. Pencurian, perkelahian berujung pembunuhan dan segala macam khamar disajikan dengan bebas. Aturanya singkat, siapa yang kuat dia yang akan bertahan hidup. Harus memang, habis meng habisi, tikam menikam, "serunya hidup ya seperti itu" kata salah seorang teman yang kebetulan tinggal disana. Mental memang sudah menjadi karakter yang akhirnya menjadi jati diri.

Pernah lagi, dalam suatu kesempatan perjalan saya temui suasana berbeda. Desanya tidaklah lebih besar dari Taro, tidak juga lebih melimpah dari Taro tetapi masyarakatnya justru 'survive. Saya biasa menyebutnya desa "bunga". Memang tidak semua yang 'survive' karena ada pula yang 'bar-bar' tetapi secara keseluruhan memang lebih baik. Bapak-bapaknya datang memakai sarung di pagi buta, menuju masjid memadu kasih bersama tuhan. Anaknya mudanya pun begitu, bangun begitu pagi dan membuka-buka buku.

"Semua tak sama tak pernah sama"

Lirik lagu padi mengiringi waktu penulisan cerita perjalanan sinkat ini. Sebagai ingatan kita, dunia ini diciptakan Allah sesungguhnya sangat komplementasi, simbang dan teratur. Allah menciptakan segalanya sebagai "pelajaran bagi manusia yang mau berpikir". Mungkin terlalu berlebihan apabila saya mengibaratkan perjalanan itu dengan mengembangkan layar. Karena sampai saat ini, untuk hal-hal yang lebih jauh masih belum terjangkau.

Ada hal yang hendak di ceritakan, bahwa tuntutan untuk selalu sama itu baik dalam penilian yang baik. Maksudnya untuk menyatukan tujuan dan tekad supaya berada dalam 'one track'. Penting, tetapi tidak lebih penting lagi memahami perbedaan itu sebagai kemasan yang menarik. Desa Taro dan Bunga mungkin memiliki kerinduan yang berbeda pada tujuanya tetapi semuanya sama, yaitu mencari kedamaian.

Yang satu caranya dengan semakin kuat dan khamar sedangkan satunya lagi dengan mendekatkan diri pada ilahi. Jika salah satunya saja merasa memiliki hak maka terbenturlah sudah segalanya. Dalam tradisi pesantren kita mengenalnya dengan 'musakalah', apabila Taro keras, Bunga pun lebih keras. Apabila Taro kejam, Bunga pun lebih kejam. Tetapi hidup tidaklah seperti itu, "Api tidak bisa di padamkan oleh Api" "Luka tidak bisa disembuhkan dengan Luka".

Penting memahami, mengapa ada yang melotot, mengapa ada yang terpejam. Mengapa ada yang menangis, mengapa pula ada yang tersenyum. Mengapa ada menjerit, mengapa pula ada yang berbisik. Itulah cara-cara Tuhan untuk menjadikan kita kreatif, untuk menjadikan kita menari dalam kehidupan. Mungkin pada saatnya kita akan berpikir bahwa jalan lurus sudah terlalu penuh sehingga macet, maka kita ambil jalur lain? Apakah heteremoni?