"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah"
Dalam buku Minke halaman 352 karya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya
adalah penulis handal yang hampir seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk
menulis. Tidak heran apabila beberapa karyanya dijadikan buku wajib
bagi Mahasiswa di Amerika. Diapun pejuang tetapi dia tidak di
perjuangkan bangsanya pada saat itu. Dia menjadi bagian di antara
beberapa anggota PKI yang di asingkan di pulau buru.
Setiap orang memiliki pandanganya masing-masing tentang apa yang
disukainya. Pemain bola beranggapan bahwa sepak bola adalah ajang
terbaik bagi seorang laki-laki untuk membuktikan kekuatanya. Pengusaha
menganggap pekerjaanya adalah yang paling relevan untuk dapat selalu
berbuat baik. Tak terkecuali penulis, penulis memiliki penilaian bahwa
sejarah adalah mencatat dan diabadikan lalu kembali lagi dicatat, maka
menulislah.
Bahasan menarik bukan pada anggapan yang masing-masing itu. Tetapi
pada anggapan yang mencoba mengeneralisir sesuatu dan seolah mengecilkan
yang lainya. Pramoedya boleh bersuara tentang kebanggan dan sukanya
sebagai penulis tetapi tidak pula harus berkata "akan hilang dari
sejarah dan masyrakat" bagi yang tidak menulis. Ya, sekalipun sebagian
besar mengamininya sebagai sebuah kebenaran.
Banyak sejarah yang memang di ungkap kembali melalui
transkip-transkip kuno yang diartikan dengan baik. Dan tulisan adalah
penyumbang terbesar dari ribuan sejarah-sejarah yang berhasil di
buktikan kembali. Tetapi tidak sedikit pula yang mencoba mengemasnya
dengan simbol, relief dan kode-kode lainya yang bukan tulisan. Tidak
berbeda jauh, kode-kode, dan relief-relief itupun memberikan impact
terhadap sejarah yang sama dengan tulisan.
Penulis mungkin secara singkat diartikan menjadi seseorang yang
menulis. Berawal dari kata nulis lalu di beri imbuhan pe sehingga
memilikki arti seseorang yang.... dalam hal.....
Memang tidak sedikit yang menilai benar dan sepakat dengan Pramoedya
tetapi ada pula yang menanggap menulis adalah hal yang rendah. Tidak
tanggung-tanggung, penolakan itu hadir dari Plato. Plato beranggapan
bahwa jiwa dan ingatan manusia itu abadi, seabadi aetipe-arketipe yang
menjadi sumber pengetahuanya. Oleh sebab itu, ia menganggap tulisan
hanya membuat ingatan itu menjadi ephemeral (sementara). Dengan merekam
pengetahuan kedalam tulisan, ingatan kehilangan sebagian besar
fungsinya.
"Tulisan mematerialkan pengetahuan arketipal yang transenden dan
abadi. Adanya tulisan akan membuat manusia enggan mengingat dan
menggunakan memorinya"
Di dalam Phaerdus, Plato mencoba memaparkan dialog sang penemu
tulisan Hermes dengan raja Thamus. Tapi sependapat dengan Plato,
Thamuspun menolak ajakan Hermes untuk menulis dengan alasan yang sama
dengan Plato yaitu "Tulisan adalah aktualisasi dari mereka yang malas
menghafal". Plato merinci apabila sejatinya kebenaran itu hanya dapat
diperolah melalui verbalisasi dan kehadiran absolut.
Lambat laun Platopun ternyata menerima tulisan sebagai fungsi.
Sekalipun dia tetap kekal pada pendapatnya bahwa tulisan hanya membuat
orang malas. Menurut Plato, tulisan hanya direduksi menjadi sekedar
tekhnik tetapi fungsinya tetap sebagai natural writing yang primordial
dan merupakan origin tuturan. Logosentrisme terkesan tidak konsisten dan
berada diantara tengah-tengah yang sebenarnya tidak menolak kehadiran
tulisan tetapi hanya menundanya.
Bayangkan, Pramodya dan Plato memiliki pandangan yang berbeda.
Keduanya sama-sama penulis dan penghasil karya yang konsisten. Pramoedya
menulis karena mungkin hobby dan tekanan yang membuat imajinasinya
terpenuhi. Sedangkan Plato, sekalipun dia menolak tetapi sesungguhnya
dia menerima namun dengan bahasa yang tegas "natural writing" atau
tuturan yang di tuliskan. Apapun itu, pilihan dan masing-masing memiliki
alasan yang Good and Rasional, Plato tidak ingin fungsi otak melemah
sedangkan Pramoedya mencetak sejarah. Sama baik, sama masuk akal !!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar