Senin, 16 April 2012

Tulisan

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah"

Dalam buku Minke halaman 352 karya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya adalah penulis handal yang hampir seluruh hidupnya dia dedikasikan untuk menulis. Tidak heran apabila beberapa karyanya dijadikan buku wajib bagi Mahasiswa di Amerika. Diapun pejuang tetapi dia tidak di perjuangkan bangsanya pada saat itu. Dia menjadi bagian di antara beberapa anggota PKI yang di asingkan di pulau buru.

Setiap orang memiliki pandanganya masing-masing tentang apa yang disukainya. Pemain bola beranggapan bahwa sepak bola adalah ajang terbaik bagi seorang laki-laki untuk membuktikan kekuatanya. Pengusaha menganggap pekerjaanya adalah yang paling relevan untuk dapat selalu berbuat baik. Tak terkecuali penulis, penulis memiliki penilaian bahwa sejarah adalah mencatat dan diabadikan lalu kembali lagi dicatat, maka menulislah.

Bahasan menarik bukan pada anggapan yang masing-masing itu. Tetapi pada anggapan yang mencoba mengeneralisir sesuatu dan seolah mengecilkan yang lainya. Pramoedya boleh bersuara tentang kebanggan dan sukanya sebagai penulis tetapi tidak pula harus berkata "akan hilang dari sejarah dan masyrakat" bagi yang tidak menulis. Ya, sekalipun sebagian besar mengamininya sebagai sebuah kebenaran.

Banyak sejarah yang memang di ungkap kembali melalui transkip-transkip kuno yang diartikan dengan baik. Dan tulisan adalah penyumbang terbesar dari ribuan sejarah-sejarah yang berhasil di buktikan kembali. Tetapi tidak sedikit pula yang mencoba mengemasnya dengan simbol, relief dan kode-kode lainya yang bukan tulisan. Tidak berbeda jauh, kode-kode, dan relief-relief itupun memberikan impact terhadap sejarah yang sama dengan tulisan.

Penulis mungkin secara singkat diartikan menjadi seseorang yang menulis. Berawal dari kata nulis lalu di beri imbuhan pe sehingga memilikki arti seseorang yang.... dalam hal.....

Memang tidak sedikit yang menilai benar dan sepakat dengan Pramoedya tetapi ada pula yang menanggap menulis adalah hal yang rendah. Tidak tanggung-tanggung, penolakan itu hadir dari Plato. Plato beranggapan bahwa jiwa dan ingatan manusia itu abadi, seabadi aetipe-arketipe yang menjadi sumber pengetahuanya. Oleh sebab itu, ia menganggap tulisan hanya membuat ingatan itu menjadi ephemeral (sementara). Dengan merekam pengetahuan kedalam tulisan, ingatan kehilangan sebagian besar fungsinya.

"Tulisan mematerialkan pengetahuan arketipal yang transenden dan abadi. Adanya tulisan akan membuat manusia enggan mengingat dan menggunakan memorinya"

Di dalam Phaerdus, Plato mencoba memaparkan dialog sang penemu tulisan Hermes dengan raja Thamus. Tapi sependapat dengan Plato, Thamuspun menolak ajakan Hermes untuk menulis dengan alasan yang sama dengan Plato yaitu "Tulisan adalah aktualisasi dari mereka yang malas menghafal". Plato merinci apabila sejatinya kebenaran itu hanya dapat diperolah melalui verbalisasi dan kehadiran absolut.

Lambat laun Platopun ternyata menerima tulisan sebagai fungsi. Sekalipun dia tetap kekal pada pendapatnya bahwa tulisan hanya membuat orang malas. Menurut Plato, tulisan hanya direduksi menjadi sekedar tekhnik tetapi fungsinya tetap sebagai natural writing yang primordial dan merupakan origin tuturan. Logosentrisme terkesan tidak konsisten dan berada diantara tengah-tengah yang sebenarnya tidak menolak kehadiran tulisan tetapi hanya menundanya.

Bayangkan, Pramodya dan Plato memiliki pandangan yang berbeda. Keduanya sama-sama penulis dan penghasil karya yang konsisten. Pramoedya menulis karena mungkin hobby dan tekanan yang membuat imajinasinya terpenuhi. Sedangkan Plato, sekalipun dia menolak tetapi sesungguhnya dia menerima namun dengan bahasa yang tegas "natural writing" atau tuturan yang di tuliskan. Apapun itu, pilihan dan masing-masing memiliki alasan yang Good and Rasional, Plato tidak ingin fungsi otak melemah sedangkan Pramoedya mencetak sejarah. Sama baik, sama masuk akal !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar