Rabu, 21 Maret 2012

Tan Malaka

Hidungnya pesek, sorot matanya tajam, perawakanya sedang. Ia berpakaian kemeja hitam dan celana bahan khaki, dan taktala ia tiba dia memakai topi helm tropis berwaena hijau muda. Ia berbicara dan suaranya agak parau.

Setidaknya itulah gambaran mengenai 'sosok kesepian' ketika umurnya menginjak 52 tahun. Tidak terlalu istimewa dan terkesan sangat sederhana namun rapih. Dia tidak lain adalah Tan Malaka, deskripsi itu di buat ketika ia menghadiri pertemuan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia. Secarik kertas gambaran sosok Tan Malaka itu di tulis rapih oleh Rosihan Anwar.

Tan Malaka atau dikenal pula dengan nama Ibrahim lahir di Nagari Pandan Gadang pada tahun 1897. Dia di lahirkan dari keluarga terpandang, sebagian keluarganya termasukk ayahnya bekerja sebagai pegawai pertanian Hindia Belanda.

Tan Malaka dalam hidupnya seperti banyak di kisahkan orang memiliki pemikiran kiri. Pemikiran yang menurut definisi singkat di artikan sebagai Revolusioner. Sebutan 'kiri' ini muncul berawal dari revolusi prancis dimana kala itu pemikir moderat duduk di sebelah kanan dewan dan revolusioner di sebelah kirinya. Atas dasar pemikiran revolusionernya maka Tan Malaka masuklah ke kardus bagian kiri 'Revolusioner'.

Kisah hidupnya bisa di bilang cukup heroic dan menegangkan, penuh cerita, penuh makna, keikhlasan berjuang dan keberanian. Belanda, Jerman, China, Soviet, Singapura, Thailand, Filipina, Hongkong pernah di lalui dan di letakan kisah-kisah indah di dalamnya. Di Belanda dia begitu di agungkan sebagai pemikir muda yang handal, di China dia mendirikan beberapa sekolah, di Malaya dia menjadi penggerak perjuangan 'kekirian' dan masih berjuta kisah panjang lainya di miliki Tan di berbagai negara.

Masa kecilnya tidak begitu berbeda dengan masa kecil anak 'desa' pada umumnya. Dia handal berkelahi, dia pemimpin pergulatan antar kampung, diapun cerdas mengelabui guru ngaji. Dia tidak terlalu suka bermewah-mewahan sekalipun hidup dalam lingkungan berkucupan. Di balik ketangkasanya meramu kenakalan, diapun tidak lupa mencintai buku dan menorehkan hal 'gila' dalam program pendidikanya masa itu.

Selang waktu berlalu, Tan tumbuh menjadi manusia remaja yang kian matang. Keuletanya dan keberanianya sudahlah teruji dan mentalnya bisa di bilang 'sekuat baja'. Penolakan gelar datuk menjadi salah satu prinsip hidup kesederhanaanya sekalipun mau tidak mau ia harus menerima karena pilihan dinikahkan. Dia akhirnya pergi, pergi memulai kariernya menuju Belanda.

G.H. Horensma, gurunya di Kwekkschool mungkin adalah orang yang paling berjasa dalam proses perantaunya. Horensma yang begitu tertarik dengan kecerdasan Tan Malaka ikut pula membiayai sekolah Tan Malaka. Di Belanda, kehidupan Tan Malaka tidak serta merta bahagia dan mudah, diapun seperti sewajarnya perantau, mengalami apa yang di namakan 'kekurangan dana'. Tidak itupula, dia pun mengalami masalah adaptasi dengan Bahasa Belandanya yang kala itu masih kacau.

Tan muda hidup dengan serba kecukupan, dengan semangat belajar dan keinginan yang luhur diapun mencoba bertahan hidup. Di pilihlah Guru Bahasa Melayu menjadi menjadi pekerjaan sampinganya kala itu. Dia mengajar bahasa Melayu kepada kaum pirang Belanda yang hendak bekerja di Hindia-Belanda. Sembari mengajar, diapun tak pernah lupa meneruskan hobinya, yaitu membaca buku. Kesempatan panjangnya di Eropa ia gunakan untuk melahap habis buku karya Rosa Luxemburg, Nietzsche, Rousseau hingga Marx-Engels.

Ibarat cerobong api yang di bawa berestafet, sampailah Tan Malaka pada pertemuan penting. Dia bertemu dengan tokoh sosialis Belanda, Sneevliet. Pertemuan itu pula yang mengantarkan kedekatanya dengan Partai Komunis Belanda dan kaum Sosialis Eropa. Tan Malaka muda, Tan Malaka memulai niat dan Tan Malaka mulai menemukan jati dirinya sedikit demi sedikit.

Revolusi Rusia bisa di bilang sebagai penguat kesadaranya akan hubungan antara imperialsme, kapitalisme dan kelas sosial. Keyakinan akan paham dan idealis yang ia bawa dipertebal dengan pengalamanya ketika bekerja di perusahaan Belanda-Swiss yang terletak di Deli. Dari situ ia menyadari betapa tidak adilnya perlakuan pemilik modal terhadap pencipta uang yang sesungguhnya. Dalam kesempatanya di Deli dia menulis sebuah brosur Parlemen atau Soviet...

Akhirnya sampailah ia di Pulau Jawa. Gagasan yang pertama ia bawa adalah membangun kecerdasan rakyat. Dalam prosesnya perjuanganya dia tak lupa mengibarkan bendera komunis 'ala'k Tan Malaka. Diapun tidak gegabah dan terus membangun perjuangan bersama Kaum Muslim. Kemaunya hanya satu saat itu, menyelamatkan rakyat dari penjajahan dan paham Feodalisme.

Tepat dan cepat, mungkkin kata-kata itu layak di berikan padanya. Tanpa menghitung waktu yang lama akhirnya sekolah rakyat di bangun (di Semarang). Sekolah rakyat ini ia bangun bukan dengan niatan nantinya para lulusan menjadi juru tulis pemerintah. Tetapi sekolah rakyat ini ia bangun dari rakyat untuk kecerdasan rakyat. Untuk mencerdaskan rakyat dan berani dalam bersikap, karena dia sadar bagaimanapun pendidikan itu penting.

Perjalananya dalam mencerdaskan rakyat tidaklah mudah. Setelah beberapa sekolahnya di bangun di Semarang, Kaliwungu, Salatiga, Sukabumi, Pekalongan, Jakarta hingga Bandung, Tan Malaka justru di tanggkap. 13 Februari 1922, ya itu adalah tanggal dimana terjadinya perpisahan batin antara Tan Malaka dan Semarang, kesedihan mendalam menyelimutinya hingga diapun tak kuasa menahan tangis.

Tan Malaka pun di bawa kembali ke Belanda, sambutan dan lambaian tangan menyambut kepergianya. Wajah-wajah serta ratapan kesedihan tak bisa di sangsikan secara jelas. Kesempatan yang begitu sempit membuatnya memilih jalan lain, bak seorang kekasih sedang jatuh cinta tetapi tak dapat bertemu dan bertukar cerita, Tan Malaka menulis catatanya untuk negeri Minangkabau. Sebuah negeri yang telah lama ia tinggalkan.

Bukan Tan Malaka namanya jika kalah oleh keadaan. Dalam pengasinganya dia justru lebih 'garang', berani dan semakin matang. Dia secara berani mencalonkin diri sebagai anggota parlemen Belanda dari Partai Komunis Belanda. Usahanya kala itu sederhana, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan melalui tangan orang Belanda sendiri yaitu Partai Komunis Belanda. Dia cerdik, dia pandai namun dia tidak berisik. ("Padi tumbuh tak berisik" Naar De Republik Indonesia)

Tan Malaka pun akhirnya secara resmi dikenalkan oleh Partai Komunis Belanda secara luas. Tanpa diduga, ternyata sambutan Warga Belanda begitu antusias, begitu ingin tahu dan begitu setuju dengan Tan Malaka. Seluruh hadirin yang hadir di Diamantbeurs berebut cepat menjabat tanganya. Tepuk tangan serta teriakan kegembiraan begitu keras di dengarkan kala Tan Malaka berpidato.

"Kami bersatu dengan Tan Malaka dan musuh daripada musuhnya! Kami memberi hormat yang tinggi kepada Tan Malaka dan kami membenci kalian kaum munafik kapitalis (Poeze hal 261-263)"

Perjalananya berlanjut menuju Moskow. Tak kenal lelah dan terus berjuang adalah motto hidupnya. Sikap keras 'ala' Minangkabau pun dia bawa hingga Moskow. Dimana dia katakan "aku akan tunduk pada prinsip kita bersama, tetapi aku tidak akan pernah bisa menundukan kepalaku kepada Stalin".

Cukup muda, bahkan bisa di bilang sangatlah muda. Di usianya yang ke 26 Tan Malaka telah di angkat menjadi seorang Agen Komunis untuk wilayah sebesar Asia Tenggara. Tan Malaka pun menuliskan secara gamblang tentang politik dan ekonomi bangsanya untuk Comitern. Tak perlu waktu lama, setahun kemudian buku itu di terbitkan di Russia.

Di tahun 1923 atas persetujuan Comitern Tan Malaka akhirnya pindah menuju Kanton, China. Perjalanan yang panjang sedang ia tempuh kembali. Hidup baru dan ekosistem baru tanpa latin kala itu ia jalanin. Di China ia di beri tugas menuliskan surat kabar berbahasa Inggris. Putar otak, bingung dan galaupun ia rasakan manakala ia merasa kesulitan mencari percetakan dengan bahasa latin. Di China pula ia semakin memperkuat jaringanya, dia kenal dan begitu akrab dengan Sun Yat Sen.

Tan Malaka memang sangatlah cerdas, dimanapun ia tinggal ia selalu mendapatkan tempat terbaik. Di China dia diangkat menjadi Kepala Biro Buruh Angkutan lewat Konfrensi Pan Pacific. Di sana pula ia menuliskan Pamflet Semangat Muda atau yang lebih di kenal dengan Naar Dee Republik Indonesia, Menuju Republik Indonesia. Karya itu akhirnya baru bisa di terbitkan ketika ia berada di Manila. Karya untuk Indonesia, yang dia tulis 20 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dia mendahului Soekarno dan Hatta dalam soal Indonesia.....

Dalam petualanganya yang di iringi dengan beberapa persembunyian, Tan Malaka memiliki beberapa nama. Di China dia dikenal Ong Soong Lee atau Howard Law, sedangkan di Philipina, orang menyebutnya dengan Ellias Fuentes. Semua itu di lakukan untuk menghindari diri dari kejaran intelijen Inggris.

Jauh dari pantaunya, di Indonesia ternyata sedang terjadi gejolak. PKI yang ia sanjung ternyata bergerak di luar kemauanya, PKI berencana melakukan pembrontakan besar-besaran. Sebagai wail Comitern Asia Tenggara, Tan Malaka segera bergerak cepat. Dia mengeluarkan surat larangan dan penarikan rencana. Tetapi miris, ternyata pandanganya di tolak keras oleh Muso dan Alimin. PKI pun beringas dan melakukan pembrontakan diman-mana.

Secara singkat, perjuanganya di lanjutkan dengan mendirikan Sekolah Bahasa Asing di Amoy sebelum akhirnya pulang ke Indonesia. Dalam masa kepulanganya dia terus berjuang dan menginginkan kemerdekaan seratus persen tanp kompromi (Gerpolek). Niat suci terhadap bangsanya tak berbuah manis, di justru mati di tangan pribumi. Ajaranya kini hanya bersisa dalam buku fenomenalnya Madilog. Buku yang memandang segala penjuru menggunakan matter.

"Bung, perjuanganmu begitu ikhlas. Kau tidak berisik namun kau banyak bekerja. Kau tunjukan keikhlasan serta tanggung jawab yang tinggi. Pundaku mungkin begitu berat memikul persoalan tapi palingan wajah orang yang kaui perjuangankan justru membuatmu semakin semangat. Dimana kini sekolah-sekolahmu yang dulu kau bangun?. Aku ikut caramu bung, aku ikut wajahmu yang tanpa kemunafikan. Kau diakui Bung!! Kau Presiden bung!! Walau hanya sebatas bayangan. Namamu terpatri dalam setiap jengkal perjuangan yang tulus. Hidupmu sungguh menginspirasi bung!!!"

Bakhrul Amal

5 komentar:

  1. Pemikir kiri yang tak pernah mati semangatnya (y)

    BalasHapus
  2. Artikelnya Bagus. Sudah Lama saya mencari tahu tentang Tan Malaka dan Artikel ini menurut saya yang Pemaparannya cukup bagus dan mudah dipahami.
    Terima Kasih.
    - Padi Tumbuh tak Berisik - "Tan Malaka"
    Salam Kenal. (^_^)V

    BalasHapus