Rabu, 21 Maret 2012

Syekh Siti Jenar

Dia duduk sila di atas sejadah di ruang tengahnya. Tanganya terlihat memutar tasbih dan terus membaca asma Allah. Tamu yang datang tak ia hiraukan sebelum tugasnya menghadap sang kuasa dia selesaikan dengan tuntas. Kepala menggeleng ke kanan dan kiri, bibirnya tak pernah diam dan selalu berirama. Suasana yang indah dan penuh dengan keharmonisan.

Dia Jenar, Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikutnya menganggapnya wali tanpa mengurangi rasa hormat pada kesembilan wali lainya. Ucapan Syekh Siti Jenar memang terkenal lugas dan jujur (konon) bahkan dia lebih dapat di terima dari sembilan wali lainya. Dia cerdas, dia ahli dalam berbagai ilmu termasuk ilmu yang orang mengenalnya dengan 'manunggaling kawula gusti' atau 'bersatu raga bersama tuhan'.

Pernah suatu waktu ajudan dari dewan wali menghadapnya memberi surat. Surat itu mungkin teguran, mungkin pula ajakan diskusi yang kala itu Syekh Siti Jenar adalah bintangnya. Belum terbaca surat itu, Syek Siti Jenar sudah membuat dua ajudan dewan wali itu marah. Ketika baru di ketuk pintu rumahnya lalu ajudan dewan wali menyaut namanya, dia menjawab "disini tidak ada Siti Jenar yang ada adalah Tuhan".

Dua ajudan itupun pergi meringis dengan pendaman luka yang teramat. Syekh Siti Jenar kembali menjadi sorotan di antara permasalahan yang muncul kala itu. Runtuhnya tiang-tiang agama menjadi alasan mengapa Syekh Siti Jenar dimusuhi, dia dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan membahayakan. Luapan hatinya akan cinta terhadap Tuhan, memasukan dia kedalam kelompok 'khawas' (khusus) yaitu kelompok Sufi atau dalam jawa di sebut kebatinan.

Argumenya di nilai ngawur kala itu, dia memanggap semua itu tak ada dan yang ada hanya Tuhan. "Kamu tuhan, aku tuhan dan semua tuhan". Namun keyakinyanya tak pudar seiring kecaman yang kian menggema. Dia tetap santai dalam pondoknya yang agung mengajar murid-muridnya. Merumuskan ide-ide serta tulisan yang menarik pun tak pernah ia tinggal.

Akhirnya kesempatan itu tiba juga, dimana ketika dia memenuhi panggilan sembilan Wali (Wali Songo). Dia diadili, dia dicecar, dia bersalah dan dia harus dihukum. Dewan Walipun tak bergerak lambat. Berbagai opsi serta persetujuanpun dilakukan. Akhirnya terpilihlah hukuman paling menakutkan. Yaitu apa yang kita kenal saat ini pancung atau hukuman mati dengan memotong kepalanya.

Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu tinggi pun akhirnya menghargai. Dengan kepasrahan dan kesadaran hatinya dia serahkan kepalanya. Akhirnya, tamatlah riwayat sang Sufi besar dari jawa itu. Tetapi belum, belum selesai sampai di situh. Dari kabar dan potongan transkrip yang tersisa, ketika Syekh Siti Jenar diakhiri hidupnya ternyata bau wangi semerbak muncul dari jasadnya. Jasadnya memunculkan cahaya terang benderang melebihi penerang lampu kala itu. Syekh Siti Jenar pun didudukan sembari tanpa pimpinan Sembilan Wali langsung meminta maaf. Wallahu a'lam bi sh-shawab!

Kisahnya begitu haru, mengundang tanya dan menuai sejuta rasa ingin tahu, ingin tahu dan terus ingin tahu. Mungkin Rummi lah yang mampu menjawabnya dengan penjelasanya...

"Ungkapan "Aku adalah Tuhan" bukanlah timbu dari sifat sombong yang teramat sangat. Melainkan kerendahan hati yang paling dasar. Seseorang yang berkata "Aku adalah hamba Tuhan" menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan "Aku adalah Tuhan" berarti penidaan diri, dia menyerahkan seluruhnya yang ada padanya sebagai kekosongan"

Jadi, bisakah bila kita menganggap Syekh Siti Jenar sebagai wali kesepuluh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar