Dia duduk sila di atas sejadah di ruang tengahnya. Tanganya terlihat
memutar tasbih dan terus membaca asma Allah. Tamu yang datang tak ia
hiraukan sebelum tugasnya menghadap sang kuasa dia selesaikan dengan
tuntas. Kepala menggeleng ke kanan dan kiri, bibirnya tak pernah diam
dan selalu berirama. Suasana yang indah dan penuh dengan keharmonisan.
Dia Jenar, Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikutnya menganggapnya wali
tanpa mengurangi rasa hormat pada kesembilan wali lainya. Ucapan Syekh
Siti Jenar memang terkenal lugas dan jujur (konon) bahkan dia lebih
dapat di terima dari sembilan wali lainya. Dia cerdas, dia ahli dalam
berbagai ilmu termasuk ilmu yang orang mengenalnya dengan 'manunggaling
kawula gusti' atau 'bersatu raga bersama tuhan'.
Pernah suatu waktu ajudan dari dewan wali menghadapnya memberi
surat. Surat itu mungkin teguran, mungkin pula ajakan diskusi yang kala
itu Syekh Siti Jenar adalah bintangnya. Belum terbaca surat itu, Syek
Siti Jenar sudah membuat dua ajudan dewan wali itu marah. Ketika baru di
ketuk pintu rumahnya lalu ajudan dewan wali menyaut namanya, dia
menjawab "disini tidak ada Siti Jenar yang ada adalah Tuhan".
Dua ajudan itupun pergi meringis dengan pendaman luka yang teramat.
Syekh Siti Jenar kembali menjadi sorotan di antara permasalahan yang
muncul kala itu. Runtuhnya tiang-tiang agama menjadi alasan mengapa
Syekh Siti Jenar dimusuhi, dia dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan
dan membahayakan. Luapan hatinya akan cinta terhadap Tuhan, memasukan
dia kedalam kelompok 'khawas' (khusus) yaitu kelompok Sufi atau dalam
jawa di sebut kebatinan.
Argumenya di nilai ngawur kala itu, dia memanggap semua itu tak ada
dan yang ada hanya Tuhan. "Kamu tuhan, aku tuhan dan semua tuhan". Namun
keyakinyanya tak pudar seiring kecaman yang kian menggema. Dia tetap
santai dalam pondoknya yang agung mengajar murid-muridnya. Merumuskan
ide-ide serta tulisan yang menarik pun tak pernah ia tinggal.
Akhirnya kesempatan itu tiba juga, dimana ketika dia memenuhi
panggilan sembilan Wali (Wali Songo). Dia diadili, dia dicecar, dia
bersalah dan dia harus dihukum. Dewan Walipun tak bergerak lambat.
Berbagai opsi serta persetujuanpun dilakukan. Akhirnya terpilihlah
hukuman paling menakutkan. Yaitu apa yang kita kenal saat ini pancung
atau hukuman mati dengan memotong kepalanya.
Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu tinggi pun akhirnya menghargai.
Dengan kepasrahan dan kesadaran hatinya dia serahkan kepalanya.
Akhirnya, tamatlah riwayat sang Sufi besar dari jawa itu. Tetapi belum,
belum selesai sampai di situh. Dari kabar dan potongan transkrip yang
tersisa, ketika Syekh Siti Jenar diakhiri hidupnya ternyata bau wangi
semerbak muncul dari jasadnya. Jasadnya memunculkan cahaya terang
benderang melebihi penerang lampu kala itu. Syekh Siti Jenar pun
didudukan sembari tanpa pimpinan Sembilan Wali langsung meminta maaf.
Wallahu a'lam bi sh-shawab!
Kisahnya begitu haru, mengundang tanya dan menuai sejuta rasa ingin
tahu, ingin tahu dan terus ingin tahu. Mungkin Rummi lah yang mampu
menjawabnya dengan penjelasanya...
"Ungkapan "Aku adalah Tuhan" bukanlah timbu dari sifat sombong yang
teramat sangat. Melainkan kerendahan hati yang paling dasar. Seseorang
yang berkata "Aku adalah hamba Tuhan" menyebutkan dua keberadaan,
dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan "Aku adalah Tuhan" berarti
penidaan diri, dia menyerahkan seluruhnya yang ada padanya sebagai
kekosongan"
Jadi, bisakah bila kita menganggap Syekh Siti Jenar sebagai wali kesepuluh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar