Rabu, 21 Maret 2012

Makna

Malam masih begitu panjang, kita masuk dalam sebuah ruangan dimana harga-harga miring di tampilkan. Saat itu aku datang bersama dua temanku, kebetulan kita telah lama tak bertemu. Pertemuan itu terasa mengalir dan berjalan begitu menarik, kita tidak terlalu dekat, tidak terlalu sering berbincang tetapi kita di pertemukan dalam satu tema 'perantauan'.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam sebuah komunikasi. Diantaranya adalah ucapan, makna, dan perbedaan. Bila di gabungkan ketiganya memang bisa bersatu menjadi sebuah kesimpulan. Hal yang terpenting adalah bagaimana memulainya. Suatu ucapan itu menimbulkan makna dan makna itu bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita memulai dan menyikapinya.

Mobil sangatlah berguna untuk perjalanan jauh tetapi bila memasuki gang sempit itu namanya gila. Lampu sungguh di butuhkan ketika malam tiba tetapi ketika terik datang apalah artinya pula. Begitupun kata-kata, asu mungkin terlalu kasar bila kita mengucapnya dengan mimik kekesalan dan kemarahan. Tetapi asu bisa di terima dalam suasan canda dan tawa sebagai hal yang biasa.

Menarik memang malam itu, satu persatu mengeluarkan ceritanya yang mengundang tawa. Tak peduli akan keramaian, orang di sekitar atau bapak-bapak dan ibu-ibu yang serius rapat, sepertinya. Hingga akhirnya kita harus menutup pertemuan karena waktu sudah terlarut malam. Suasana gaduh berangsur hening, sembari kaki melangkah meninggalkan tempat kerinduan.

Masing-masing kuyakin membawa cerita sendiri dalam mimpinya. Tiga jam bukanlah waktu yang singkat untuk menanggapi obrolan yang bisa di bilang 'kosong'. Satu yang tidak bisa aku bayangkan adalah bagaimana 'asu' dan 'astaghfirullah' bertemu dalam satu meja?. Bila hal ini dalam suasana yang khusus mungkin menjadi masalah. Tetapi dalam hal yang tidak ada kerancuan itu malah terkesan biasa.

Disatu sisi pandangan itu buruk, karena tidak pantas sama sekali meskipun dalam balutan canda. Namun sisi yang lain memandangnya wajar, karena manusia di ciptakan berbeda-beda, sekalipun bisa di paksakan tetapi butuhlah proses. Bukan masalah 'bagaimana' tetapi persoalanya adalah 'mengapa'. Bagaimana tidak bisa di paksakan? Melainkan mengapa harus memaksa bila bisa dengan cara yang baik.

Kesanya memang sederhana, ya tetapi itulah sebuah keharmonisan. Tidak ada ketegangan, tidak ada kekhususan dan tempat yang seakan lebih tinggi. Semua sama, tergantung kita menyakipanya. Balutlah hati dengan segala perasaan yang membuat kita tentram. Santun tidak mesti "aduh mohon maaf atau permisi boleh saya anu?" Tetapi santun dengan keceriaan yang tak memaksa dan membuat semua nyaman mengekspresikan dirinya di hadapan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar