Malam masih begitu panjang, kita masuk dalam sebuah ruangan dimana
harga-harga miring di tampilkan. Saat itu aku datang bersama dua
temanku, kebetulan kita telah lama tak bertemu. Pertemuan itu terasa
mengalir dan berjalan begitu menarik, kita tidak terlalu dekat, tidak
terlalu sering berbincang tetapi kita di pertemukan dalam satu tema
'perantauan'.
Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam sebuah komunikasi.
Diantaranya adalah ucapan, makna, dan perbedaan. Bila di gabungkan
ketiganya memang bisa bersatu menjadi sebuah kesimpulan. Hal yang
terpenting adalah bagaimana memulainya. Suatu ucapan itu menimbulkan
makna dan makna itu bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita memulai
dan menyikapinya.
Mobil sangatlah berguna untuk perjalanan jauh tetapi bila memasuki
gang sempit itu namanya gila. Lampu sungguh di butuhkan ketika malam
tiba tetapi ketika terik datang apalah artinya pula. Begitupun
kata-kata, asu mungkin terlalu kasar bila kita mengucapnya dengan mimik
kekesalan dan kemarahan. Tetapi asu bisa di terima dalam suasan canda
dan tawa sebagai hal yang biasa.
Menarik memang malam itu, satu persatu mengeluarkan ceritanya yang
mengundang tawa. Tak peduli akan keramaian, orang di sekitar atau
bapak-bapak dan ibu-ibu yang serius rapat, sepertinya. Hingga akhirnya
kita harus menutup pertemuan karena waktu sudah terlarut malam. Suasana
gaduh berangsur hening, sembari kaki melangkah meninggalkan tempat
kerinduan.
Masing-masing kuyakin membawa cerita sendiri dalam mimpinya. Tiga
jam bukanlah waktu yang singkat untuk menanggapi obrolan yang bisa di
bilang 'kosong'. Satu yang tidak bisa aku bayangkan adalah bagaimana
'asu' dan 'astaghfirullah' bertemu dalam satu meja?. Bila hal ini dalam
suasana yang khusus mungkin menjadi masalah. Tetapi dalam hal yang tidak
ada kerancuan itu malah terkesan biasa.
Disatu sisi pandangan itu buruk, karena tidak pantas sama sekali
meskipun dalam balutan canda. Namun sisi yang lain memandangnya wajar,
karena manusia di ciptakan berbeda-beda, sekalipun bisa di paksakan
tetapi butuhlah proses. Bukan masalah 'bagaimana' tetapi persoalanya
adalah 'mengapa'. Bagaimana tidak bisa di paksakan? Melainkan mengapa
harus memaksa bila bisa dengan cara yang baik.
Kesanya memang sederhana, ya tetapi itulah sebuah keharmonisan.
Tidak ada ketegangan, tidak ada kekhususan dan tempat yang seakan lebih
tinggi. Semua sama, tergantung kita menyakipanya. Balutlah hati dengan
segala perasaan yang membuat kita tentram. Santun tidak mesti "aduh
mohon maaf atau permisi boleh saya anu?" Tetapi santun dengan keceriaan
yang tak memaksa dan membuat semua nyaman mengekspresikan dirinya di
hadapan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar