Rabu, 21 Maret 2012

Kawan

Bro

oleh Bakhrul Amal BA pada 14 Maret 2012 pukul 21:27 ·
Kendalanya satu, hidupnya belum berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Kemajemukan, kelurusan dan kesetaraan adalah tema yang terpatri dalam dadanya. Rasionalitas dan imajinasinya masih belum bisa bersatu taktala waktu yang salah menyelimuti harinya. Dia adalah Gigih Yafitri, anak pertama dari tiga bersaudara yang di lahirkan dari keluarga yang amat sederhana dan rendah diri.

Entah dari mana memulainya, terlalu lama banyak yang hal kita lalui bersama. Kisahnya mungkin hampir sama dengan kata-kata Derida "sejak Aristoteles hingga Heidegger, mereka mencoba melihat kehidupan tak ubahnya sesuatu yang remeh atau kebetulan". Ya itulah makna dari segala perjalanan panjangnya sampai saat ini. Dalam ketidaktahuan, dia tetap maju untuk mencoba survivre "mengatasi" (sur) "hidup" (vivre), melewati.

Pernah satu malam aku menatap matanya yang kosong, harapanya sedikit melambung tinggi. Dalam rinai hujan dan gelap-gelap kerlap-kerlip lampu kota dia bercerita. "Aku harus maju bung, aku anak pertama" katanya tegas dan saat itu akupun sepakat. "Anda bisa melakukanya, asal semuanya tulus" jawabku memegang pundaknya yang kala itu melemah lesu.

Malam itu terasa begitu panjang dengan cerita-ceritanya yang rumit. Berulang kali dia berlaku layaknya "Merasakan nikmat dan menangis di hadapan kematian sama saja". Padahal dia sudah membuka gerbangnya, tetapi kesadaranya sulit untuk masuk. Hingga malam semakin larut dan kita berpisah, saat itu dia masih pongah dengan pandanganya yang kaku.

Kebuntuan adalah kata yang sudah tidak asing di telingaku ketika mengingatnya. Entah sedikit sadar atau tidak, dia selaku pemegang komando akan hidupnya terkadang lupa. Permasalahan memajukan kaki kanan terlebih dulu saja menjadi masalah baginya. Padahal tujuanya masih begitu terbentang bak padang pasir di sahara. Dia memutar dirinya dan kadang hampir saja lupa caranya menyalakan api yang hampir padam.

Saat ini, setelah pertemuanku yang terakhir rasanya dia begitu banyak berubah. Semangatnya tak lagi seperti delman melainkan layaknya kuda pacu yang bebas. Dua buah tanganya pun semakin besar dan siap memanggul beban keraguanya yang terbuang sia-sia. "Aku sudah siap sekarang, maju dan tidak menatap kebelakang adalah hal terbaik" katanya di suatu kesempatan.

Sebuah penilaian ganjil yang dulu ia paparkan kini mulai sirna secara perlahan. Mottonya yang menolak usulpun tak lagi tampak dalam sela-sela pembicaraan yang panjang kala itu. Namun sifatnya yang kadang salah persepsi masih saja melekat dan berbahaya jika ia tidak kikis dari sekarang. Majukan langkahmu sekarang, kamu sudah ada didepan mereka yang terlanjur kembali ke belakang. Ruas-ruas rusukmu satukan layaknya satria, Bravo Gigih Yafitri (Semangat Suci)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar