Lupa, mungkin itu adalah kata yang paling ringan di ucapkan ketika janji
tak unjung di tepati. Romlah menangis lagi dengan penuh kesedihan. Lima
orang anaknya terancam melepas seragam dengan sukarela tanpa perlawanan
dan pengakuan ijazah. Dia berlari mencari kawan, menutup mata, meraih
apapun yang ada di dekatnya untuk ia lemparkan.
Apa gerangan yang membuat Romlah sebegitu ganasnya?. Belum lagi
pertanyaan itu terjawab, Romlah memeluk kelima anaknya, empat kali dia
ucapkan kata itu "maafkan ibu nak, maafkan ibu nak, maafkan ibuuu".
Kelima anaknya termangu, tak habis pikir dan merasa bingung dengan
tingkah ibunya yang daritadi terlihat kebingungan.
Sementara di bagian lain, cheos mulai merajelela. Puluhan tukang
beca, pedagang dan sopir angkot yang di bantu ratusan mahasiswa mulai
adu fisik dengan beberapa polisi. "Kita mau keadilan" teriak pria
bertopi dengan urat menekan di bagian lehernya. "Apa mereka sudah tuli"
mahasiswa yang memiliki perawakan tegap berkata lantang dengan
speakernya.
Jawaban itu belum juga muncul, potongan berita yang kusaksikan lirih
di tambah aksi yang ricuh belum juga memberi titik terang. Akhirnya
akupun merebahkan tubuhku di sofa panjang di ruang tamu rumahku.
"Hleeeh" hela nafas lelah keluar dari rongga mulut yang semenjak pagi
belum dialiri air. Aku masih bingung dan terus membayangkan, kejadian
apa yang barusan aku saksikan.
Seperti biasa, setelah merasa nyaman dengan posisi duduku, akupun
mencari koran yang tersimpan rapih di bawah meja. Koran olahraga ku
pilih paling awal, beritanya luar biasa, Lionen Messi mencatatkan rekor
baru pencetak gol terbanyak dalam satu pertandingan. Putar-putar,
bolak-balik dan ternyata makin menumpuk tanya dalam benak yang tak
terjawab.
Hingga akhirnya, Jreeeeeeeng, seperti iringan musik suasana
terkejut. Baru halaman pertama ternyata jawaban itu mulai menemukan
pasanganya. Bingung, heran dan kaku akhirnya terbungkus dalam satu
suasana terkejut. "BBM Naik Terhitung Awal April" tulisan besar
terpajang di muka halaman, menampilkan pula wajah beberapa Mentri dan
Presiden yang tertawa sumringah.
Tangisan Romlah menjadi logis dan bukan keanehan lagi ketika halaman
pertama itu memuat kejutan yang tak terduga. Tangisanya bukan putus
asa, bukan pula percobaan bunuh diri yang di awali permohonan maaf.
Tetapi tangisanya tidak lebih kekhawatiran peminat nasi bungkusnya yang
semakin berkurang. Dengan naiknya BBM, seperti sesuai pengalaman yang
sudah turun-menurun, mestilah di ikuti pula dengan kenaikan bahan
makanan pokok yang secara otomatis menambah pula harga nasi bungkusnya.
Romlah resah, Romlah penuh gelisan dan Romlah bertanya dalam hati.
"Apakah masih mungkin, seorang membeli nasi dengan harga yang tinggi?",
"lalu jika peminatku berurang, bagaimana anak2ku?", "tolong hamba
tuhan". Mahasiswa serta tukang beca dan supir angkotpun ikut ambil
bicara. Mungkin di luar sanah masih banyak Romlah-Romlah lain yang
berselimut dalam keraguan. Di luar sana pula, akan banyak muncul peng
halalan cara demi tujuan. Apalagi, bagamaina, bila sudah begini,
Pemerintahlah yang harus menjawabnya, jawablah dengan hati nurani....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar