Rabu, 21 Maret 2012

Tan Malaka

Hidungnya pesek, sorot matanya tajam, perawakanya sedang. Ia berpakaian kemeja hitam dan celana bahan khaki, dan taktala ia tiba dia memakai topi helm tropis berwaena hijau muda. Ia berbicara dan suaranya agak parau.

Setidaknya itulah gambaran mengenai 'sosok kesepian' ketika umurnya menginjak 52 tahun. Tidak terlalu istimewa dan terkesan sangat sederhana namun rapih. Dia tidak lain adalah Tan Malaka, deskripsi itu di buat ketika ia menghadiri pertemuan pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia. Secarik kertas gambaran sosok Tan Malaka itu di tulis rapih oleh Rosihan Anwar.

Tan Malaka atau dikenal pula dengan nama Ibrahim lahir di Nagari Pandan Gadang pada tahun 1897. Dia di lahirkan dari keluarga terpandang, sebagian keluarganya termasukk ayahnya bekerja sebagai pegawai pertanian Hindia Belanda.

Tan Malaka dalam hidupnya seperti banyak di kisahkan orang memiliki pemikiran kiri. Pemikiran yang menurut definisi singkat di artikan sebagai Revolusioner. Sebutan 'kiri' ini muncul berawal dari revolusi prancis dimana kala itu pemikir moderat duduk di sebelah kanan dewan dan revolusioner di sebelah kirinya. Atas dasar pemikiran revolusionernya maka Tan Malaka masuklah ke kardus bagian kiri 'Revolusioner'.

Kisah hidupnya bisa di bilang cukup heroic dan menegangkan, penuh cerita, penuh makna, keikhlasan berjuang dan keberanian. Belanda, Jerman, China, Soviet, Singapura, Thailand, Filipina, Hongkong pernah di lalui dan di letakan kisah-kisah indah di dalamnya. Di Belanda dia begitu di agungkan sebagai pemikir muda yang handal, di China dia mendirikan beberapa sekolah, di Malaya dia menjadi penggerak perjuangan 'kekirian' dan masih berjuta kisah panjang lainya di miliki Tan di berbagai negara.

Masa kecilnya tidak begitu berbeda dengan masa kecil anak 'desa' pada umumnya. Dia handal berkelahi, dia pemimpin pergulatan antar kampung, diapun cerdas mengelabui guru ngaji. Dia tidak terlalu suka bermewah-mewahan sekalipun hidup dalam lingkungan berkucupan. Di balik ketangkasanya meramu kenakalan, diapun tidak lupa mencintai buku dan menorehkan hal 'gila' dalam program pendidikanya masa itu.

Selang waktu berlalu, Tan tumbuh menjadi manusia remaja yang kian matang. Keuletanya dan keberanianya sudahlah teruji dan mentalnya bisa di bilang 'sekuat baja'. Penolakan gelar datuk menjadi salah satu prinsip hidup kesederhanaanya sekalipun mau tidak mau ia harus menerima karena pilihan dinikahkan. Dia akhirnya pergi, pergi memulai kariernya menuju Belanda.

G.H. Horensma, gurunya di Kwekkschool mungkin adalah orang yang paling berjasa dalam proses perantaunya. Horensma yang begitu tertarik dengan kecerdasan Tan Malaka ikut pula membiayai sekolah Tan Malaka. Di Belanda, kehidupan Tan Malaka tidak serta merta bahagia dan mudah, diapun seperti sewajarnya perantau, mengalami apa yang di namakan 'kekurangan dana'. Tidak itupula, dia pun mengalami masalah adaptasi dengan Bahasa Belandanya yang kala itu masih kacau.

Tan muda hidup dengan serba kecukupan, dengan semangat belajar dan keinginan yang luhur diapun mencoba bertahan hidup. Di pilihlah Guru Bahasa Melayu menjadi menjadi pekerjaan sampinganya kala itu. Dia mengajar bahasa Melayu kepada kaum pirang Belanda yang hendak bekerja di Hindia-Belanda. Sembari mengajar, diapun tak pernah lupa meneruskan hobinya, yaitu membaca buku. Kesempatan panjangnya di Eropa ia gunakan untuk melahap habis buku karya Rosa Luxemburg, Nietzsche, Rousseau hingga Marx-Engels.

Ibarat cerobong api yang di bawa berestafet, sampailah Tan Malaka pada pertemuan penting. Dia bertemu dengan tokoh sosialis Belanda, Sneevliet. Pertemuan itu pula yang mengantarkan kedekatanya dengan Partai Komunis Belanda dan kaum Sosialis Eropa. Tan Malaka muda, Tan Malaka memulai niat dan Tan Malaka mulai menemukan jati dirinya sedikit demi sedikit.

Revolusi Rusia bisa di bilang sebagai penguat kesadaranya akan hubungan antara imperialsme, kapitalisme dan kelas sosial. Keyakinan akan paham dan idealis yang ia bawa dipertebal dengan pengalamanya ketika bekerja di perusahaan Belanda-Swiss yang terletak di Deli. Dari situ ia menyadari betapa tidak adilnya perlakuan pemilik modal terhadap pencipta uang yang sesungguhnya. Dalam kesempatanya di Deli dia menulis sebuah brosur Parlemen atau Soviet...

Akhirnya sampailah ia di Pulau Jawa. Gagasan yang pertama ia bawa adalah membangun kecerdasan rakyat. Dalam prosesnya perjuanganya dia tak lupa mengibarkan bendera komunis 'ala'k Tan Malaka. Diapun tidak gegabah dan terus membangun perjuangan bersama Kaum Muslim. Kemaunya hanya satu saat itu, menyelamatkan rakyat dari penjajahan dan paham Feodalisme.

Tepat dan cepat, mungkkin kata-kata itu layak di berikan padanya. Tanpa menghitung waktu yang lama akhirnya sekolah rakyat di bangun (di Semarang). Sekolah rakyat ini ia bangun bukan dengan niatan nantinya para lulusan menjadi juru tulis pemerintah. Tetapi sekolah rakyat ini ia bangun dari rakyat untuk kecerdasan rakyat. Untuk mencerdaskan rakyat dan berani dalam bersikap, karena dia sadar bagaimanapun pendidikan itu penting.

Perjalananya dalam mencerdaskan rakyat tidaklah mudah. Setelah beberapa sekolahnya di bangun di Semarang, Kaliwungu, Salatiga, Sukabumi, Pekalongan, Jakarta hingga Bandung, Tan Malaka justru di tanggkap. 13 Februari 1922, ya itu adalah tanggal dimana terjadinya perpisahan batin antara Tan Malaka dan Semarang, kesedihan mendalam menyelimutinya hingga diapun tak kuasa menahan tangis.

Tan Malaka pun di bawa kembali ke Belanda, sambutan dan lambaian tangan menyambut kepergianya. Wajah-wajah serta ratapan kesedihan tak bisa di sangsikan secara jelas. Kesempatan yang begitu sempit membuatnya memilih jalan lain, bak seorang kekasih sedang jatuh cinta tetapi tak dapat bertemu dan bertukar cerita, Tan Malaka menulis catatanya untuk negeri Minangkabau. Sebuah negeri yang telah lama ia tinggalkan.

Bukan Tan Malaka namanya jika kalah oleh keadaan. Dalam pengasinganya dia justru lebih 'garang', berani dan semakin matang. Dia secara berani mencalonkin diri sebagai anggota parlemen Belanda dari Partai Komunis Belanda. Usahanya kala itu sederhana, membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan melalui tangan orang Belanda sendiri yaitu Partai Komunis Belanda. Dia cerdik, dia pandai namun dia tidak berisik. ("Padi tumbuh tak berisik" Naar De Republik Indonesia)

Tan Malaka pun akhirnya secara resmi dikenalkan oleh Partai Komunis Belanda secara luas. Tanpa diduga, ternyata sambutan Warga Belanda begitu antusias, begitu ingin tahu dan begitu setuju dengan Tan Malaka. Seluruh hadirin yang hadir di Diamantbeurs berebut cepat menjabat tanganya. Tepuk tangan serta teriakan kegembiraan begitu keras di dengarkan kala Tan Malaka berpidato.

"Kami bersatu dengan Tan Malaka dan musuh daripada musuhnya! Kami memberi hormat yang tinggi kepada Tan Malaka dan kami membenci kalian kaum munafik kapitalis (Poeze hal 261-263)"

Perjalananya berlanjut menuju Moskow. Tak kenal lelah dan terus berjuang adalah motto hidupnya. Sikap keras 'ala' Minangkabau pun dia bawa hingga Moskow. Dimana dia katakan "aku akan tunduk pada prinsip kita bersama, tetapi aku tidak akan pernah bisa menundukan kepalaku kepada Stalin".

Cukup muda, bahkan bisa di bilang sangatlah muda. Di usianya yang ke 26 Tan Malaka telah di angkat menjadi seorang Agen Komunis untuk wilayah sebesar Asia Tenggara. Tan Malaka pun menuliskan secara gamblang tentang politik dan ekonomi bangsanya untuk Comitern. Tak perlu waktu lama, setahun kemudian buku itu di terbitkan di Russia.

Di tahun 1923 atas persetujuan Comitern Tan Malaka akhirnya pindah menuju Kanton, China. Perjalanan yang panjang sedang ia tempuh kembali. Hidup baru dan ekosistem baru tanpa latin kala itu ia jalanin. Di China ia di beri tugas menuliskan surat kabar berbahasa Inggris. Putar otak, bingung dan galaupun ia rasakan manakala ia merasa kesulitan mencari percetakan dengan bahasa latin. Di China pula ia semakin memperkuat jaringanya, dia kenal dan begitu akrab dengan Sun Yat Sen.

Tan Malaka memang sangatlah cerdas, dimanapun ia tinggal ia selalu mendapatkan tempat terbaik. Di China dia diangkat menjadi Kepala Biro Buruh Angkutan lewat Konfrensi Pan Pacific. Di sana pula ia menuliskan Pamflet Semangat Muda atau yang lebih di kenal dengan Naar Dee Republik Indonesia, Menuju Republik Indonesia. Karya itu akhirnya baru bisa di terbitkan ketika ia berada di Manila. Karya untuk Indonesia, yang dia tulis 20 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dia mendahului Soekarno dan Hatta dalam soal Indonesia.....

Dalam petualanganya yang di iringi dengan beberapa persembunyian, Tan Malaka memiliki beberapa nama. Di China dia dikenal Ong Soong Lee atau Howard Law, sedangkan di Philipina, orang menyebutnya dengan Ellias Fuentes. Semua itu di lakukan untuk menghindari diri dari kejaran intelijen Inggris.

Jauh dari pantaunya, di Indonesia ternyata sedang terjadi gejolak. PKI yang ia sanjung ternyata bergerak di luar kemauanya, PKI berencana melakukan pembrontakan besar-besaran. Sebagai wail Comitern Asia Tenggara, Tan Malaka segera bergerak cepat. Dia mengeluarkan surat larangan dan penarikan rencana. Tetapi miris, ternyata pandanganya di tolak keras oleh Muso dan Alimin. PKI pun beringas dan melakukan pembrontakan diman-mana.

Secara singkat, perjuanganya di lanjutkan dengan mendirikan Sekolah Bahasa Asing di Amoy sebelum akhirnya pulang ke Indonesia. Dalam masa kepulanganya dia terus berjuang dan menginginkan kemerdekaan seratus persen tanp kompromi (Gerpolek). Niat suci terhadap bangsanya tak berbuah manis, di justru mati di tangan pribumi. Ajaranya kini hanya bersisa dalam buku fenomenalnya Madilog. Buku yang memandang segala penjuru menggunakan matter.

"Bung, perjuanganmu begitu ikhlas. Kau tidak berisik namun kau banyak bekerja. Kau tunjukan keikhlasan serta tanggung jawab yang tinggi. Pundaku mungkin begitu berat memikul persoalan tapi palingan wajah orang yang kaui perjuangankan justru membuatmu semakin semangat. Dimana kini sekolah-sekolahmu yang dulu kau bangun?. Aku ikut caramu bung, aku ikut wajahmu yang tanpa kemunafikan. Kau diakui Bung!! Kau Presiden bung!! Walau hanya sebatas bayangan. Namamu terpatri dalam setiap jengkal perjuangan yang tulus. Hidupmu sungguh menginspirasi bung!!!"

Bakhrul Amal

Syekh Siti Jenar

Dia duduk sila di atas sejadah di ruang tengahnya. Tanganya terlihat memutar tasbih dan terus membaca asma Allah. Tamu yang datang tak ia hiraukan sebelum tugasnya menghadap sang kuasa dia selesaikan dengan tuntas. Kepala menggeleng ke kanan dan kiri, bibirnya tak pernah diam dan selalu berirama. Suasana yang indah dan penuh dengan keharmonisan.

Dia Jenar, Syekh Siti Jenar. Sebagian pengikutnya menganggapnya wali tanpa mengurangi rasa hormat pada kesembilan wali lainya. Ucapan Syekh Siti Jenar memang terkenal lugas dan jujur (konon) bahkan dia lebih dapat di terima dari sembilan wali lainya. Dia cerdas, dia ahli dalam berbagai ilmu termasuk ilmu yang orang mengenalnya dengan 'manunggaling kawula gusti' atau 'bersatu raga bersama tuhan'.

Pernah suatu waktu ajudan dari dewan wali menghadapnya memberi surat. Surat itu mungkin teguran, mungkin pula ajakan diskusi yang kala itu Syekh Siti Jenar adalah bintangnya. Belum terbaca surat itu, Syek Siti Jenar sudah membuat dua ajudan dewan wali itu marah. Ketika baru di ketuk pintu rumahnya lalu ajudan dewan wali menyaut namanya, dia menjawab "disini tidak ada Siti Jenar yang ada adalah Tuhan".

Dua ajudan itupun pergi meringis dengan pendaman luka yang teramat. Syekh Siti Jenar kembali menjadi sorotan di antara permasalahan yang muncul kala itu. Runtuhnya tiang-tiang agama menjadi alasan mengapa Syekh Siti Jenar dimusuhi, dia dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan membahayakan. Luapan hatinya akan cinta terhadap Tuhan, memasukan dia kedalam kelompok 'khawas' (khusus) yaitu kelompok Sufi atau dalam jawa di sebut kebatinan.

Argumenya di nilai ngawur kala itu, dia memanggap semua itu tak ada dan yang ada hanya Tuhan. "Kamu tuhan, aku tuhan dan semua tuhan". Namun keyakinyanya tak pudar seiring kecaman yang kian menggema. Dia tetap santai dalam pondoknya yang agung mengajar murid-muridnya. Merumuskan ide-ide serta tulisan yang menarik pun tak pernah ia tinggal.

Akhirnya kesempatan itu tiba juga, dimana ketika dia memenuhi panggilan sembilan Wali (Wali Songo). Dia diadili, dia dicecar, dia bersalah dan dia harus dihukum. Dewan Walipun tak bergerak lambat. Berbagai opsi serta persetujuanpun dilakukan. Akhirnya terpilihlah hukuman paling menakutkan. Yaitu apa yang kita kenal saat ini pancung atau hukuman mati dengan memotong kepalanya.

Syekh Siti Jenar yang memiliki ilmu tinggi pun akhirnya menghargai. Dengan kepasrahan dan kesadaran hatinya dia serahkan kepalanya. Akhirnya, tamatlah riwayat sang Sufi besar dari jawa itu. Tetapi belum, belum selesai sampai di situh. Dari kabar dan potongan transkrip yang tersisa, ketika Syekh Siti Jenar diakhiri hidupnya ternyata bau wangi semerbak muncul dari jasadnya. Jasadnya memunculkan cahaya terang benderang melebihi penerang lampu kala itu. Syekh Siti Jenar pun didudukan sembari tanpa pimpinan Sembilan Wali langsung meminta maaf. Wallahu a'lam bi sh-shawab!

Kisahnya begitu haru, mengundang tanya dan menuai sejuta rasa ingin tahu, ingin tahu dan terus ingin tahu. Mungkin Rummi lah yang mampu menjawabnya dengan penjelasanya...

"Ungkapan "Aku adalah Tuhan" bukanlah timbu dari sifat sombong yang teramat sangat. Melainkan kerendahan hati yang paling dasar. Seseorang yang berkata "Aku adalah hamba Tuhan" menyebutkan dua keberadaan, dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan "Aku adalah Tuhan" berarti penidaan diri, dia menyerahkan seluruhnya yang ada padanya sebagai kekosongan"

Jadi, bisakah bila kita menganggap Syekh Siti Jenar sebagai wali kesepuluh.

Kawan

Bro

oleh Bakhrul Amal BA pada 14 Maret 2012 pukul 21:27 ·
Kendalanya satu, hidupnya belum berjalan sesuai dengan apa yang dia inginkan. Kemajemukan, kelurusan dan kesetaraan adalah tema yang terpatri dalam dadanya. Rasionalitas dan imajinasinya masih belum bisa bersatu taktala waktu yang salah menyelimuti harinya. Dia adalah Gigih Yafitri, anak pertama dari tiga bersaudara yang di lahirkan dari keluarga yang amat sederhana dan rendah diri.

Entah dari mana memulainya, terlalu lama banyak yang hal kita lalui bersama. Kisahnya mungkin hampir sama dengan kata-kata Derida "sejak Aristoteles hingga Heidegger, mereka mencoba melihat kehidupan tak ubahnya sesuatu yang remeh atau kebetulan". Ya itulah makna dari segala perjalanan panjangnya sampai saat ini. Dalam ketidaktahuan, dia tetap maju untuk mencoba survivre "mengatasi" (sur) "hidup" (vivre), melewati.

Pernah satu malam aku menatap matanya yang kosong, harapanya sedikit melambung tinggi. Dalam rinai hujan dan gelap-gelap kerlap-kerlip lampu kota dia bercerita. "Aku harus maju bung, aku anak pertama" katanya tegas dan saat itu akupun sepakat. "Anda bisa melakukanya, asal semuanya tulus" jawabku memegang pundaknya yang kala itu melemah lesu.

Malam itu terasa begitu panjang dengan cerita-ceritanya yang rumit. Berulang kali dia berlaku layaknya "Merasakan nikmat dan menangis di hadapan kematian sama saja". Padahal dia sudah membuka gerbangnya, tetapi kesadaranya sulit untuk masuk. Hingga malam semakin larut dan kita berpisah, saat itu dia masih pongah dengan pandanganya yang kaku.

Kebuntuan adalah kata yang sudah tidak asing di telingaku ketika mengingatnya. Entah sedikit sadar atau tidak, dia selaku pemegang komando akan hidupnya terkadang lupa. Permasalahan memajukan kaki kanan terlebih dulu saja menjadi masalah baginya. Padahal tujuanya masih begitu terbentang bak padang pasir di sahara. Dia memutar dirinya dan kadang hampir saja lupa caranya menyalakan api yang hampir padam.

Saat ini, setelah pertemuanku yang terakhir rasanya dia begitu banyak berubah. Semangatnya tak lagi seperti delman melainkan layaknya kuda pacu yang bebas. Dua buah tanganya pun semakin besar dan siap memanggul beban keraguanya yang terbuang sia-sia. "Aku sudah siap sekarang, maju dan tidak menatap kebelakang adalah hal terbaik" katanya di suatu kesempatan.

Sebuah penilaian ganjil yang dulu ia paparkan kini mulai sirna secara perlahan. Mottonya yang menolak usulpun tak lagi tampak dalam sela-sela pembicaraan yang panjang kala itu. Namun sifatnya yang kadang salah persepsi masih saja melekat dan berbahaya jika ia tidak kikis dari sekarang. Majukan langkahmu sekarang, kamu sudah ada didepan mereka yang terlanjur kembali ke belakang. Ruas-ruas rusukmu satukan layaknya satria, Bravo Gigih Yafitri (Semangat Suci)

BBM

Lupa, mungkin itu adalah kata yang paling ringan di ucapkan ketika janji tak unjung di tepati. Romlah menangis lagi dengan penuh kesedihan. Lima orang anaknya terancam melepas seragam dengan sukarela tanpa perlawanan dan pengakuan ijazah. Dia berlari mencari kawan, menutup mata, meraih apapun yang ada di dekatnya untuk ia lemparkan.

Apa gerangan yang membuat Romlah sebegitu ganasnya?. Belum lagi pertanyaan itu terjawab, Romlah memeluk kelima anaknya, empat kali dia ucapkan kata itu "maafkan ibu nak, maafkan ibu nak, maafkan ibuuu". Kelima anaknya termangu, tak habis pikir dan merasa bingung dengan tingkah ibunya yang daritadi terlihat kebingungan.

Sementara di bagian lain, cheos mulai merajelela. Puluhan tukang beca, pedagang dan sopir angkot yang di bantu ratusan mahasiswa mulai adu fisik dengan beberapa polisi. "Kita mau keadilan" teriak pria bertopi dengan urat menekan di bagian lehernya. "Apa mereka sudah tuli" mahasiswa yang memiliki perawakan tegap berkata lantang dengan speakernya.

Jawaban itu belum juga muncul, potongan berita yang kusaksikan lirih di tambah aksi yang ricuh belum juga memberi titik terang. Akhirnya akupun merebahkan tubuhku di sofa panjang di ruang tamu rumahku. "Hleeeh" hela nafas lelah keluar dari rongga mulut yang semenjak pagi belum dialiri air. Aku masih bingung dan terus membayangkan, kejadian apa yang barusan aku saksikan.

Seperti biasa, setelah merasa nyaman dengan posisi duduku, akupun mencari koran yang tersimpan rapih di bawah meja. Koran olahraga ku pilih paling awal, beritanya luar biasa, Lionen Messi mencatatkan rekor baru pencetak gol terbanyak dalam satu pertandingan. Putar-putar, bolak-balik dan ternyata makin menumpuk tanya dalam benak yang tak terjawab.

Hingga akhirnya, Jreeeeeeeng, seperti iringan musik suasana terkejut. Baru halaman pertama ternyata jawaban itu mulai menemukan pasanganya. Bingung, heran dan kaku akhirnya terbungkus dalam satu suasana terkejut. "BBM Naik Terhitung Awal April" tulisan besar terpajang di muka halaman, menampilkan pula wajah beberapa Mentri dan Presiden yang tertawa sumringah.

Tangisan Romlah menjadi logis dan bukan keanehan lagi ketika halaman pertama itu memuat kejutan yang tak terduga. Tangisanya bukan putus asa, bukan pula percobaan bunuh diri yang di awali permohonan maaf. Tetapi tangisanya tidak lebih kekhawatiran peminat nasi bungkusnya yang semakin berkurang. Dengan naiknya BBM, seperti sesuai pengalaman yang sudah turun-menurun, mestilah di ikuti pula dengan kenaikan bahan makanan pokok yang secara otomatis menambah pula harga nasi bungkusnya.

Romlah resah, Romlah penuh gelisan dan Romlah bertanya dalam hati. "Apakah masih mungkin, seorang membeli nasi dengan harga yang tinggi?", "lalu jika peminatku berurang, bagaimana anak2ku?", "tolong hamba tuhan". Mahasiswa serta tukang beca dan supir angkotpun ikut ambil bicara. Mungkin di luar sanah masih banyak Romlah-Romlah lain yang berselimut dalam keraguan. Di luar sana pula, akan banyak muncul peng halalan cara demi tujuan. Apalagi, bagamaina, bila sudah begini, Pemerintahlah yang harus menjawabnya, jawablah dengan hati nurani....

Makna

Malam masih begitu panjang, kita masuk dalam sebuah ruangan dimana harga-harga miring di tampilkan. Saat itu aku datang bersama dua temanku, kebetulan kita telah lama tak bertemu. Pertemuan itu terasa mengalir dan berjalan begitu menarik, kita tidak terlalu dekat, tidak terlalu sering berbincang tetapi kita di pertemukan dalam satu tema 'perantauan'.

Ada beberapa hal yang perlu dicatat dalam sebuah komunikasi. Diantaranya adalah ucapan, makna, dan perbedaan. Bila di gabungkan ketiganya memang bisa bersatu menjadi sebuah kesimpulan. Hal yang terpenting adalah bagaimana memulainya. Suatu ucapan itu menimbulkan makna dan makna itu bisa berbeda-beda tergantung bagaimana kita memulai dan menyikapinya.

Mobil sangatlah berguna untuk perjalanan jauh tetapi bila memasuki gang sempit itu namanya gila. Lampu sungguh di butuhkan ketika malam tiba tetapi ketika terik datang apalah artinya pula. Begitupun kata-kata, asu mungkin terlalu kasar bila kita mengucapnya dengan mimik kekesalan dan kemarahan. Tetapi asu bisa di terima dalam suasan canda dan tawa sebagai hal yang biasa.

Menarik memang malam itu, satu persatu mengeluarkan ceritanya yang mengundang tawa. Tak peduli akan keramaian, orang di sekitar atau bapak-bapak dan ibu-ibu yang serius rapat, sepertinya. Hingga akhirnya kita harus menutup pertemuan karena waktu sudah terlarut malam. Suasana gaduh berangsur hening, sembari kaki melangkah meninggalkan tempat kerinduan.

Masing-masing kuyakin membawa cerita sendiri dalam mimpinya. Tiga jam bukanlah waktu yang singkat untuk menanggapi obrolan yang bisa di bilang 'kosong'. Satu yang tidak bisa aku bayangkan adalah bagaimana 'asu' dan 'astaghfirullah' bertemu dalam satu meja?. Bila hal ini dalam suasana yang khusus mungkin menjadi masalah. Tetapi dalam hal yang tidak ada kerancuan itu malah terkesan biasa.

Disatu sisi pandangan itu buruk, karena tidak pantas sama sekali meskipun dalam balutan canda. Namun sisi yang lain memandangnya wajar, karena manusia di ciptakan berbeda-beda, sekalipun bisa di paksakan tetapi butuhlah proses. Bukan masalah 'bagaimana' tetapi persoalanya adalah 'mengapa'. Bagaimana tidak bisa di paksakan? Melainkan mengapa harus memaksa bila bisa dengan cara yang baik.

Kesanya memang sederhana, ya tetapi itulah sebuah keharmonisan. Tidak ada ketegangan, tidak ada kekhususan dan tempat yang seakan lebih tinggi. Semua sama, tergantung kita menyakipanya. Balutlah hati dengan segala perasaan yang membuat kita tentram. Santun tidak mesti "aduh mohon maaf atau permisi boleh saya anu?" Tetapi santun dengan keceriaan yang tak memaksa dan membuat semua nyaman mengekspresikan dirinya di hadapan kita.