Rabu, 29 Februari 2012

Yanto dan Gitarnya

Alunan gitarnya menyisir malam, mendayu bersama angin dan menawarkan kerinduan. Sebut saja Yanto, pengamen jalanan yang tak pernah ku kenal baik namanya. Yanto tau betul bagaimana menghangatkan malam, dia petik gitarnya perlahan dan semakin keras 'slow but sure'. Tak menghiraukan tubuhnya yang tak terbungkus dia bahkan terus bernyanyi lepas membakar malam.

Hari itu aku menemuinya di warung bubur dekat stasiun. Dia begitu lusuh dan lelah kala itu tapi semangatnya ternyata lebih besar dari keringatnya.

"Luar biasa" sapanya, yang mungkin menjadi ciri khasnya bila menatap wajah-wajah yang tak asing. "Lanjutkan" kataku sembari meninggalkanya masuk menuju warung. Kedatanganku disambutnya dengan sebuah lagu rindu ciptaan Ebiet G Ade, "kupu-kupu kertas". Aku pun terhanyut, menikmati alunan sambil memesan Indomie goreng telur dan telur setengah matang.

Khayalanku muncul, mengkinkah Yanto tetapi menyapa "Luar biasa" bila dia jadi bintang?. Bagi sebagian pihak, belajar, bekerja, berusaha dan berdoa adalah pola hidup demi satu tujuan, yaitu kesenangan. Yanto ternyata berbeda, bukan sekedar menghibur atau mendapat sawer tetapi dengan diam dan mendengarnya bernyanyi itu sudah suatu kebahagiaan yang tak ternilai baginya.

Kebahagiaan menurutnya adalah merubah nada menjadi indah dan di dengar. Di dengar baginya suatu penghargaan yang sangat istimewa. "Saat ini kita memiliki orang-orang yang pandai bicara, tapi sayang mereka 'ga' mau denger" nadanya marah ketika ku tanya alasan 'di dengar'. Masuk akal dan sangat wajar mengingat dia adalah termasuk manusia yang kepala di injak dan kakinya pun terasa di ikat.

Alah, itu kan hanya khayalan dan kisah obrolanan lalu. Aku berhenti berkhayal lalu tegas menyantap pesananku dengan lahap. "Berapa mas" tanyaku, "delapan ribu" jawab pedagang sembari bernyayi mendengar alunan gitar Yanto. "Luar biasa" ya memang luar biasa si Yanto, malam ini dia jadi bintang karena beberapa pengunjung tak sungkan memesan lagu-lagu klasik untuk bernostalgia bersama.

Setelah selesai urusan perutku dan uangpun telah ku bayarkan aku pun keluar dari dalam tempat makan. "Mantap sekali bung" sahutku menatap wajahnya yang mengayun. "Hahah Luar biasa" lagi-lagi dia berkata luar biasa. Dalam hati ketika menuju rumah aku berbisik, aku bukan "Luar biasa" tapi "biasa di luar toh" hehe. Good job Yanto, be ready to stand up and reach the succes Mr Guitar......

Yanto (Nama samaran) bubur Moh Toha...

Bushido

Robert N. Bellah, Rambutnya putih tipis tersipu angin taktala dia berjalan untuk memberikan materi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Setiap kali di tanya, dia pasti menyertakan senyum khasnya begitupun sebaliknya. Namanya mungkin belum dikenal saat itu tetapi auranya mulai sedikit muncul. Religi Tokugawa, ya, mungkin itulah awal dimana penulis itu merajut ketenaranya.

Dia adalah "Max Weber saat ini", julukan itu muncul mengalir berkat bukunya yang berjudul Religi Tokugawa. Dalam bukunya, Profesor lulusan Harvard University itu mencoba menjelaskan bahwa agama berperan dalam rasionalisasi politik dan ekonomi. Bukan hanya kompas yang mewancarai dan menerbitkanya pada edisi Jum'at, 4 Desember 1992 tetapi sayapun terglitik untuk membaca karyanya.

Setiap kata-kata dan penjelasanya memang menarik, menginspirasi dan membakar semangat. Setelah memutar balik, akhirnya saya terhenti di halaman 121. Di situ di jelaskan mengenai 'Bushido', 'Bushido' dalam masanya dikenal sebagai bentuk kelas sosial bagi kaum samurai atau jalan prajurit. Istilah ini berkembang pada masa Tokugawa dan sebagian besar telah menganggapnya sebagi etika nasional.

Tokugawa Mitsukuni (1628-1700) adalah pangeran ketiga dari Mito. Tokugawa menganggap bila kelas samurai adalah perwujudan dan penjagaan moralitas. "Jika tidak ada samurai, kebenaran (giri) akan musnah dari masyarakat manusia, rasa malu akan hilang, dan kesalahan serta ketidakadilan akan merajalela" tulisnya dalam pemerintah untuk para pengikutnya.

Ketika semua orang lari dan berusaha untuk tidak memikirkan kematian, 'Bushido' justru sebaliknya. Mengingat kematian dari pagi, siang, sore hingga hendak tidur bagi 'Bushido' adalah suatu kewajiban. Kematian bukanlah tombak menaktukan tetapi justru inspirasi dan sumber motivasi bagi sebuah kesetiaan dan tanggung jawab (Hagekure).

Dalam buku peganganya Budho Shoshinshu yang disusun pada abad 17, pandangan akan kematian sebagai samurai sejati sungguh terasa melekat. Budhisme Zen mungkin adalah sumbangsih terbesar dalam buku itu, dijelaskan bahwa "selalu merindukan kematian akan membuatnya (Bushido) memberi jarak dari benda dan tidak akan bersifat tamak, dan akan menjadi, seperti yang telah saya katakan, pribadi yang baik!".

Tapi rasanya itu menjadi berarti, dimana saat ini jepang berubah menjadi kuat dan disiplin. Paradigma terhadap kematian membangkitkan rasa untuk melakukan yang terbaik semasa hidup. Dalam kemasan modern munculah istilah baru yang menjadi manifestasi 'Budisho' yaitu mungkin 'Harakiri'. Ketika tidak berguna maka mati adalah jalan satu-satunya untuk menjadi terhormat. Kematian yang agung, kematian yang di hormati......

Kepercayaan mistis akan cinta terhadap budaya 'Bushido' tidak hanya di aplikasikan dengan Harakiri tetapi pun jadwal-jadwal kerja yang baik. Konfusian terkenal Muro Kyuso adalah salah satunya, dia menjadwal bangun (06.00) dan tidur (00.00) bahkan dalam khayalnya ketika roh malas muncul dia akan memanggil roh baik yang bisa membuatnya rajin kembali. Mungkin ada ribuan Kyuso-kyuso lain di Jepang yang membuat Jepang tetap kokoh meski Hiroshima dan Nagasaki hancur.

Apakah 'Bushido' pun menjadi perlu ketika rasa rindu akan kematian tidaklah menjadi barang mewah lagi di Indonesia?. Pemikiran akan kehidupan yang panjang sudah tidak lagi relevan dimana leha-leha, ktamakan yang lupa akan kewajiban bahkan justru saling menghancurkan. Yusidho Shoin berkata "Istirahat itu setelah mati. Ini suatu motto, pendek tetapi sarat dengan arti. Ketekunan, kemauan keras. Tidak ada jalan lain".

Haik Bushido.

Noer

"Kemanapun kau hadapkan wajahmu kau akan melihatku"

Pria itu dengan lugas mengatakan apa yang menurutnya di kutip dalam Qur'an. Kata-katanya memang manis dan sudah pasti karena itu adalah kata-kata Tuhan. Ke kiri Tuhan, ke tumbuhan Tuhan, ke depan Tuhan dan kemanapun Tuhan. Tetapi mengapa dunia ini tak seindah nama-namanya yang dalam Qur'an sampai berjumlah 99?.

Kemajuan zaman membuat orang begitu mudah berinteraksi. Tak hanya mengirim surat tetapi juga bertelepon menggunakan suara hingga chatting secara visual bertatap muka. Begitu cepat berlalu hingga jarakpun tak terlalu memisahkan waktu. Wajah-wajah Tuhan terlihat dalam sebuah senyuman audio dalam sumringahnya visual.

Tetapi apakah itu?, ternyata tidak lantas pula seperti itu. "Lalu bila begitu kita adalah jelmaan Tuhan" "Bukan, tetapi kita adalah bentuk eksistensi dari Tuhan" jawabnya. Hubunganya bukan seperti mix dengan kabelnya yang apabila di colokan lalu menyala. Tetapi seperti cahaya lampu yang apabila lampu itu kita tutup maka gelaplah yang kita temukan.

Bagian-bagian itu menunjuk pada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya tentang mengapa?. "Jika memang kita ini adalah bagianya yang tentunya sifat baik terkumpul kepadanya, mengapa masih banyak penjahat, apakah penjata itu adalah bentuk eksistensi dari sifat-sifatnya juga?". Rumit memang pertanyaanya, tetapi sungguh mengglitik dan nyaris merobohkan argumentasi Mohammad Nor, sahabat saya.

Ada satu contoh lagi, air itu bersih (dalam konteks air putih yang biasa kita kenal). Kita dan Tuhan adalah ibarat air dengan ombaknya. Ombak bukan lautan dan lautanpun bukan ombak. Ombak dan lautan adalah contoh relasi sekunder, ombak itu adalah bagian dari lautan yang notabene air dan air itu putih, bersih.

Jika kita adalah bagianya tentunya kita seharunya menjadi baik. "Air memang selalu bersih, selalu bening tetapi yang kotor adalah gelasnya". Wuiih, mantapnya argument itu mengingatkan kita pada argumen Ibn Aribi. "Bukan tuhan yang memiliki keburukan tetapi wadah kitalah yang buruk sehingga beningnya air itu tak terlihat" paparnya.

Tuhan selalu berada di dalam jiwa kita, Tuhan pemaaf, bersih dan segala kebaikan lainya. Pikiran dan sifat adalah wadah dari sebuah jiwa. Manusia adalah manifestasi dari Tuhan dan karena itu manusia satu dalam jiwa. "Mahuw al insan?, Al insan Hayawanun nathiq", manusia adalah makhluk yang berpikir. Pernahkah kita memikirkan ini?

Dalam buku Niels Murdet tentang kebatinan jawa dia menjelaskan bilamana di jawa dikenal istilah "Sepi ing pamrih, rame ing gawe, Mamayu hayuning buwono" yang artinya "Tidak mementingkan diri sendiri, selalu giat bekerja, Menjaga keindahan dunia". Setidaknya kata-kata ini menjadi etika kebatinan yang di rumuskan bersama-sama oleh BKKI (Badan Kongres Kebatinan seluruh Indonesia) di Semarang pada tahun 1955.

Djojodigoeno seorang penafsir dan mistikawan menjelaskan jika kebaikan itu tidak lain akibat dari sikap 'sepi ing pamrih'. Kondisi di dunia bisa menjadi baik karena sikap ini karena manusia mempunyai sikap yang benar menurutnya. Dengan tidak mementingkan diri, manusia akan mampu mengamalkan Ar-rahman dan Ar-rohim "pengasih dan penyayang".

Setelahnya adalah "rame ing gawe", menurut Sosrosudigdo "rame ing gawe" berarti "bekerja sepenuh hati untuk kepentingan umum". Implikasinya sama dengan tidak mementingkan diri sendiri tetapi dalam konteks yang luas. Setelah semuanya barulah "Mamayu Hanung buwono" atau yang menurut De Jong "menghiasi dunia"

Bukan manusia bila tak lelah bertanya, bukan manusia pula bila iya tak penasaran. Muncul kembali di benaknya sebuah ayat "Kebaikan itu adalah aku sedangkan keburukan itu adalah kamu". Menurutnya ini tidak sesuai dengan Mohammad Nor bila Kita ada manifestasi dari Tuhan. Dengan santainya "Aku memberikanmu cahaya (ilmu adalah cahaya) tetapi mengapa engkau menutup pintumu" balasnya, memang luar biasa sekali Dr lulusan Iran ini.

Semangat Kaum Muda (Will)

Oleh : Bakhrul Amal MS

Kaum muda adalah senjata amunisi yang paling ampuh dalam membangun suatu negara atau daerah menuju perubahan yang lebih baik. Tetapi akhir-akhir ini peranan pemuda itu mulai hilang dengan hadirnya era yang di sebut globalisasi dan cenderung kapitalis. Namun artian  hilang dalam arti bukan tidak ada tetapi dalam artian “zero but not empty”, ada tetapi tidak bisa menempatkan posisinya dengan baik.

Pemuda dalam masa kemerdekaan tentunya memiliki tempat yang begitu istimewa bagi seorang Soekarno dimana Soekarno berkata “berikan aku sepuluh anak muda maka akan ku taklukan dunia”. Jargon yang di lontarkan Sokarno pada saat itu bukanlah tidak beralasan tetapi sangatlah memiliki arti filosofi tersendiri. Dimana anak muda masih memiliki tenaga, otak yang fresh dan kekuatan yang dalam harapanya bisa ia bawa untuk merubah dunia.

Kata ‘berikanlah’ itu adalah sebuah kata harapan, keinginan atau kasarnya berharap di beri. Anak muda yang Soekarno harapkan adalah anak muda yang siap ‘menaklukan dunia’, dia memerlukan seribu orang tua untuk mencabut gunung semeru tetapi hanya perlu sepuluh anak muda untuk menaklukan dunia. Kata-kata ini agaknya kurang di perhatikan bahkan di renungkan filosofinya oleh anak-anak muda sekarang.

Pergaulan anak muda kita dari dulu hingga sekarang, terdiri oleh klassen atau strata sosial, yakni strata sosial dari tinggi, tengah dan rendah atau yang biasa kita kenal dengan istilah proletar dan borjuis.  Di dalam bukunya Das Kapital Karl Marx berpandangan, adanya kasta-kasta itulah yang pada akhirnya menimbulkan politik, Agama dan adat. Selain itu Marx beranggapan bahwa sejarah dari semua bangsa adalah perebutan eksistensi antara kasta rendah dan tinggi yang saling ‘membunuh’ antara yang menginjak dan terinjak.

Dalam sejarah bangsa Indonesia perbandingan klassen itu banyak menimbulkan cerita perjuangan mendobrak strata sosial, seperti kisah keberanian Ken Arok, ketulusan Jaka Tingkir hingga kedermawanan Sunan Kalijaga. Mereka adalah tokoh yang mencoba untuk meratakan kebahagiaan bagi orang-orang sekitarnya yang akhirnya menjadi rakyatnya. Pembagian kebahagiaan  itu di lakukan dengan cara mencuri hartawan yang lalu menempatkan mereka menjadi dermawan bagi kaum kelas bawah karena harta yang mereka dapatkan akhirnya di bagi-bagikan bagi mereka yang tidak mampu pada masanya.

Jika kita perhatikan Ken Arok, Jaka Tingkir dan Sunan Kalijaga melakukan tindakan ‘Zorro’nya ketika mereka menginjak masa muda atau sebelum menjadi orang yang benar-benar bijaksana dalam memahami kehidupan. Mereka pada saat itu melakukanya tanpa rasa bersalah kecewa ataupun menyesal.  Tetapi itulah semangat kaum muda, kaum yang menjunjung tinggi idealism dimana kebaikan dan kejahatan masih menjadi sorotan yang penting di dalam hatinya. Apapun yang mereka lakukan adalah untuk kepuasan dan kebenaran tanpa memikirkan esensi kebaikan. Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa “amar ma’ruf nahi munkar dalam pengaplikasianya untuk mengajak ma’ruf haruslah dengan cara yang ma’ruf juga, bukan dengan munkar”.

Masalah klassen pula yang membawa rakyat Indonesia terbawa oleh budaya suatu bangsa yang menyiksa Indonesia selama 350 tahun, tidak lain adalah  Belanda. Budaya yang mereka bawa yaitu budaya yang bersifat demogogisch, ialah sifat berdalih, sifat yang suka mempertentangkan permasalahan-permasalahan kecil dan cenderung melupakan pokok permasalahan yang besar. Fakta itu bisa di lihat pada tahun 1940 negara sekecil Belanda memiliki partai politik sebanyak lima puluh dua. Coba perhatikan dan bandingkan dengan Indonesia dewasa ini tentunya tidak berbeda bukan.

Memang sangatlah sulit untuk membawa perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi kepada satu cita-cita yang sama yang saling membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat ini di harapkan dapat membawa kaum muda seluruh Indonesia pada umumnya dan Cirebon pada khususnya kepada garis-garis perjuangan yang sesuai dan selaras. Perjuangan  kaum muda jangalah mudah terpropaganda menjadi tindakan untuk mencari keuntungan, kerusuhan dan mempercayai hal-hal yang bersifat ilusi. 

WILL

Dalam bahasa inggris kita mengenal kata ‘will’ yang berarti kamauan, will bila kita kembangkan dapat menjadikan tekun dan bekerja dengan sepenuh hati. Saya mencoba mengambil ‘will’ dalam arti bekerja dengan sepenuh hati karena kemauan.

Kita bisa ambil kisah masa lalu, dahulu rakyat majapahit bercocok tanam, berternak, memahat batu dan membangun daerah siang malam tanpa rasa lelah bahkan tidak memikirkan gaji atau  dalam istilah majapahit di sebut genduk. Mungkin bila itu terjadi pada masa-masa ini, orang lain akan menganggapnya sebagai suatu penyiksaan raja terhadap rakyatnya. Tetapi bagi rakyat majapahit itulah yang di sebut dengan semangat ‘will’. Mereka melakukanya dengan ikhlas dan penuh semangat demi kemajuan bangsanya.

Kita juga bisa contohkan ‘will’ itu seperti seorang anak yang hobi bermain game online, siang malam di depan komputer. Mungkin orang lain memandang “orang itu membuang waktu, melakukan hal percuma dan menyiksa diri”. Padahal anak itu melakukanya dengan ‘will’,  dengan senang hati dan penuh kebahagiaan tanpa kesengsaraan sedikitpun.

Tony Buzan dalam bukunya Gunakan Kepala Anda pernah mengabadikan seorang bernama Edward Hughes. Seorang siswa dengan prestasi minim, tidak memiliki kelebihan dalam pelajaran apapun pada tahun 1982 dan pemegang tetap nilai C dan B. Hughes seperti anak muda pada umumnya yang memiliki keinginan untuk melanjutkan kuliah di tempat terbaik dan dia bermipi dapat melanjutkan study ke Cambridge University.

Dia mencoba dan terus berusaha melakukan yang terbaik karena dia sadar apabila nilainya tetap seperti ini, dia tidak mempunyai peluang menuju Cambridge University. Akhirnya semangat itu menuntunya kepada buku Gunakan Kepala Anda yang di berikan ayahnya kepadanya. Buku itu telah memberikan semangat ‘will’ kedalam hidupnya dan membangkitkan kembali keinginanya. Tanpa lelah dia membaca dan belajar siang dan malam.

Kebangkitan Hughes ini awalnya di ragukan oleh guru-gurunya, apalagi dia tidak hanya ingin mengikuti ujian menuju
Cambridge tetapi dia juga ingin menulis makalah untuk mendapatkan beasiswa. Hughes terus berjanji dan meyakinkan keraguan guru-gurunya yang bahkan mengatakan padanya “Jangan maca-macam! Kamu mungkin dapat memperoleh nilai B, tetapi peluangmu lebih besar kea rah nilai C”.

Akhirnya Hughes pada waktu yang telah di tentukan Hughes mengikuti empat macam ujian: Geografi, makalah Beasiswa Geografi, Studi Bisnis dan Sejarah. Secara mengejutkan seorang siswa yang memiliki predikat buruk dan sangat di ragukan guru-gurunya justru mendapatkan nilai terbaik. Hughes lulus tes beasiswa dengan mengantongi keseluruhan nilai A, peringkat siswa top dan berhak mendapat beasiswa menuju Cambridge University.

Kisah Edward Hughes ini setidaknya memiliki dua hikmah yang dapat kita ambil. Pertama optimis, sikap optimis akan sebuah keberhasilan akan membawa kita kepada hasil yang memuaskan. Kedua kemauan atau ‘will’, dengan kemauan Hughes dapat merubah hal yang tidak mungkin (siswa dengan predikat nilai C dan B mengikuti tes beasiswa) menjadi mungkin (lulus dengan pringkat siswa terbaik dan nilai A).

Bayangkan bila semangat ‘will’ dan kisah Edward Hughes ini kita transfers ke zaman globalisasi yang menghamba kapitalis saat ini untuk membangun bangsa. Bukan tidak mungkin pada akhirnya anak muda mampu bangkit, berjuang dan berkarya tanpa lagi berpikir pada uang. Berjuang secara ‘will’ demi kebaikan bersama dan kemajuan bangsa atau dalam lingkup kecil daerah yang selalu di inginkan foundingfathers bangsa ini.

Dan saya berpikir sudah saatnya anak muda saat ini mengambil peranya dalam membangun daerahnya masing-masing, berjuang itu tidak hanya dengan melakukan tuntutan. Tetapi ada banyak cara untuk berjuang contohnya dengan disiplin kerja atau arbeid­discipline, karya dan perjuangan yang lebih nyata.

Dengan semangat ‘will’ tentunya kita berharap supaya mendapat kepercayaan dari manapun, bahwa kita betul-betul memiliki semangat perjuangan. Itulah cara yang harus kita lakukan agat kita dapat berkomonukasi dengan baik dengan siapapun dan bisa mengajak siapapun kepada aksi yang teratur sesuai ide kita.

Kita harus cerdas membaca situasi seperti apa yang di lakukan Sunan Gunung Djati, kita tidak bisa mengadakan atau memaksakan kehendak untuk menentukan sikap sebelum semua tanda-tanda itu keluar. Kita perlu ketenangan, ‘will’ dan pengetahuan luas tentang ekonomi, politik serta pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat masyarakat kita. Agar peranan pemuda ini dapat terasa kembali secara positif dan  menyeluruh di masyarakat maupun birokrasi

Brutal

Brutal, mungkin kata itulah yang paling pantas melukiskan bagaimana kejadian malam itu. Segrombolan pemuda yang umurnya tidak lebih tua dari perang teluk satu di Irak, berkumpul. Mereka kala itu menghabiskan malam layaknya koboi Amerika. Senang memang, tidak ada beban dan pikiran, tidak ada tanggung jawab ataupun kesedihan dan semua di lalui dengan santai.

Kemana? Bagaimana? Dua kata tanya yang memiliki konotasi berkaitan. Kemana itu seolah melukiskan tujuan dan bagaimana menunjukan apa yang harus kita lakukan. Ya, hidup ini adalah tentang kemana lalu bagaimana, selebihnya adalah ulasan tentang kapan, apa, mengapa dan dimana. Dik Doang, pria berkacamata bundar yang dulu sering tampil di layar kaca kini menjadi duta pendidikan. Dia saat ini gencar mengampanyekan wajib belajar 9 tahun, dalam sebuah kesempatan dia pernah berujar "masa SMA adalah masa 'apa kata teman'.

Masa-masa 'apa kata teman' tentulah masa-masa sulit bagi sebagian orang tua untuk memasukan wejanganya. Tetapi tidak begitu sulit juga bagi sebagian lainya yang sudah mengantisipasi. Dimana dalam periode itu orang tua menjadi prioritas kedua setelah teman. Fase 'Apa kata teman' menuntun kelinci-kelinci kecil menuju jawaban dari pertanyaan 'kemana?'. Atau dalam bahasa sosiologinya adalah proses pembentukan karater.

Ternyata rombongan si boy-si boy tadi memilih memutari kota setelah merasa badanya ringan. John Kei adalah panutan yang mungkin bagi sebagian lainya bahkan di anggap tokoh. John Kei adalah ketua perkumpulan pemuda asal pulai kei, maluku. Tapi bukan itu, John Kei lebih di kenal sebagai kepala Gang Ster. Track Record nya sebagai raja kriminal tidak di ragukan, bahkan yang terbaru adalah nyawa bos sanex konon lenyap oleh kesadisanya.

Boy-boy muda belum juga menemukan makananya malam itu. Mereka melaju motornya berirama hingga akhirnya gerombolan pemuda yang entah tidak di kenal melintas di hadapanya. "Ini bang kita habisi" teriak remaja yang seharusnya besok masuk sekolah. "Putar-putar" seorang pemimpin paling depan memberi komando dan berbalik arah mengejar makananya yang tadi melintas. Laju motor di percepat di ikuti boy-boy muda di belakangnya.

Bukanlah kebetulan, bukan pula sesuatu yang di rencanakan tetapi sudah menjadi suatu kewajiban, manakala melakukan perjalanan malam haruslah berhati-hati. Mungkin itulah yang di rasakan kumpulan pemuda yang tidak lebih banyak dari boy-boy muda tadi. Mereka merasa terancam dan pilihanya sederhana, melaju motornya dengan kencang atau menepi. Akhirnya mereka memilih melaju motornya dengan harapan bisa lari dari boy-boy muda. "Kirik (anjing), berhenti" teriak pemuda di barisan ketiga sambil mengacungkan senjata khas negeri sakura.

Ternyata boy-boy muda lebih tangguh, dengan kecepatan super akhirnya jarakpun menipis hingga sekitar 10 meter dari motor pemuda-pemuda lugu di depanya. Kalang kabut, khawatir dan merasa nyawanya tidak lagi tertolong pemuda-pemuda 'lugu' memilih menepi menghindari keganasan boy-boy muda. Tetapi apa mau dikata, tempat yang menjadi pilihan untuk menepi salah. Mereka memilih berhenti di toserba yang tak bersalah, memilih berhenti di toserba yang perizinanya mulai sulit saat ini.

Boy-boy muda yang kecewa karena kehilangan makananya kesal. Mereka murka dan memecahkan jendala kaca yang menjadi tameng toserba itu. "Prang, prang, prang" terdengar suara kaca-kaca pecah oleh hantaman batu. Warga sekitar sontak berlarian menuju suara pecahanan kaca yang terdengar nyaring. Melihat hal itu boy-boy muda akhirnya memilih berpisah di kegelapan malam dengan perasaan puas.

Malam itu begitu indah bagi boy-boy muda tetapi begitu mencekam bagi pemuda-pemuda tanggung lainya yang memilih aman. Tetapi pilu', kisah boy-boy muda itupun ternyata tidaklah jauh beda dari tokoh panutanya. Mereka akhirnya harus berususan dengan Polisi yang dengan cepat mengumpulkan informasi. Tanpa diduga, siang harinya boy-boy muda di giring menuju pengasingan dan dunia bebas. (Cirebon 23 Januari 2012, 00.30)

Agresi

Sebundel peluru melingkar di tubuhnya, tapi tidak menyurutkanya untuk tetap berjalan dengan baju yang robek hingga terlihat dadanya. Menyusuri hutan Vietnam sama halnya dengan memberi makan singa yang lapar. Tetapi itulah yang harus dilakukanya, karena pilihanya hanya satu saat itu mati dalam keadaan yang luar biasa. Matanya tak bisa diam, setiap desiran anginpun dia pasti menoleh. Menyiksa dan sungguh menaruh seribu kekhawatiran.

Kawan seperjuanganya telah tumbang di medan perang, terpaksa misi berat itu harus di laluinya sendiri. Dalam perjalananya, ratusan bahkan mungkin ribuan geriliyawan anti penjajahan telah dia bunuh. Musuhnya begitu lemah tetapi ia begitu kuat, tida adil, ya, tetapi itulah namanya skenario. Laga aksi itu di beri judul 'Rambo', dengan Silvestre Stallone sebagai aktor utamanya.

Menegangkan, mengucurkan keringat, umpatan bahkan decak kagum akan perjuangan. Mungkin hanya sedikit sekali yang membayangkan bila sesungguhnya itu benar-benar terjadi. Sejarawan mungkin merealitakan kisah 'Rambo' dengan seorang Tan Malaka, meskipun kisahnya tak begitu mirip tetapi keteganya tak kalah menarik. Atau mungkin Che Guevara dalam kisah peperanganya di Bolivia.

Tetapi berbeda lagi dari agamawan. Agamawan memiliki cara pandang yang sedikit kekuning-kuningan. Dalam kaidah arti warna mungkin kuning adalah yang paling tepat. Kuning mengartikan filosofi, pendalaman dan perenungan yang serius. Agamawan berpendapat seharusnya seperti itulah kita hidup, berjuang, berusaha, syukur akan takdir dan janganlah lepas dari doa. Toh 'Rambo' akhirnya pulang dengan kesenangan dan menjadi tokoh kepahlawanan sehabis cobaan.

Aku pernah bertemu dengan seorang pemain musik yang hebat di sebuah acara pengajian. Dia bertutur 'Jalanilah hidup ini apa adanya, semuanya sudah ada yang merencanakan'. Kata-katanya mungkin sederhana, bagi sebagian orang jalanilah hidup apa adanya mungkin di kiaskan dengan leha-leha. Tak terkecuali aku, 'Apa adanya dengan segenap tenaga dan kemampuan yang tuhan berikan' dia menambahkan dengan sedikit penekanan.

Dari situ aku mulai bisa sedikit menangkap maksud 'apa adanya'. Apa adanya yang dia getarkan adalah segenap kemampuan, kekuatan dan pikiran yang kita miliki. Itulah apa adanya kita, 'Bekerjalah sampai engkau benar-benar merasa lelah, bahagialah sampai engkau benar-benar merasa gembira dan berjuanglah sampai engkau benar-benar merasa hidupmu berarti'.

'Ketika Lenin menciptakan Soviet, adakah masyrarakat Sovyet yang sudah cerdas' cetus pedas patriot kecil bernama Bung Karno. Kata-kata mengglegar menggema dunia dan kata-kata itulah yang harus menjadi pecutan bagi kita. Untuk menjadi berarti berjuanglah dan bertarunglah seperti satria yang gagah. Cerdas, pintar dan berhasil bahkan stempel buruk hanyalah julukan bukan sebuah tujuan, tujuan kita adalah 'apa adanya', 'apa adanya' tanpa pangkal ujung.

Jumat, 24 Februari 2012

Kemana Pancasila?

Tanggal 4 Maret 1933 mungkin akan selalu di kenang oleh Franklim D. Roosevelt, puluhan manusia menunggu pidato pelantikanya. Dalam kesempatan itu FDR mengatakan 'bangsa yang tidak punya visi akan musnah'. Visi menjadi suatu bagian penting bagi eksistensi suatu bangsa bagi roosevelt. Diapun melanjutkan 'Tugas utama kita adalah membuat warga bekerja. Ini bukanlah yang tak teratasi kalau kita mau menghadapinya dengan bijaksana dan berani'.

Untuk menciptakan suatu bangsa yang kuat dan tetap eksis tentulah di perlukan satu kesamaan visi, ideologi dan kepercayaan pada pemimpin. Roosevelt menekankan bilamana cara mengatasinya adalah dengan bijaksana dan berani. Bijaksana dalam hal tenggang rasa dan membentuk keharmonisan dan berani dalam bertindak, tidak temprament tidak pula 'mlempem'.

Pada dasarnya semua negara di dunia pasti memiliki satu ideologi yang menjadi dasar negaranya. Tak terkecuali di Indonesia yang memilih Pancasila sebagai sebuah pandangan hidup. Menurut bahasa sendiri Pancasila itu terdiri dari dua kata. Yang pertama itu Panca yang berarti lima dan yang kedua itu sila yang artinya adalah prinsip. Dua bahasa itu di ambil dari bahasa sansekerta atau bahasa nenek moyang Indonesia dahulu.

Secara arti telah kita temukan bahwa Pancasila itu adalah Lima Prinsip Negara. Ketika kita berbicara prinsip berati kita telah mengamini bahwa kelima atau lima isi itu adalah kebenaran yang menjadi pokok berfikir, bertindak dsb. Secara garis besar berarti tindakan, kebijakan bahkan peraturan serta keinganan negara haruslah sesuai dengan Pancasila. Mengingat kelima itu adalah sebuah prinsip atau kebenaran yang menjadi pokok berfikir.

Pancasila sendiri berisi 1.Ketuhanan yang maha esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3.Persatuan Indonesia 4.Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan 5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari kelima sila tersebut tidak dapat di pungkiri bahwa Pancasila sangat memiliki prinsip-prinsip yang begitu istimewa.

Dilihat dari kemunculanya, sejarah tentunya memberikan pengaruh yang besar terhadap lahirnya Pancasila. Seperti apa yang dikatakan Soekarno bahwa Pancasila di ambil bukan hanya dari sejarah masa kini tetapi juga dari sejarah terdahulu Indonesia (pada saat zaman kerajaan dan atau sebelumnya). Artinya Pancasila benar-benar digali dengan harapan sesuai untuk menstabilisasikan kehidupan berbangsa Indonesia.

Dengan alasan itu tentunya kematangan dan tujuanya sudahlah jelas untuk menjadi tiang atau weltenschaung bangsa Indonesia. Tetapi ternyata pengaplikasian dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini Pancasila jarang sekali di gunakan. Aksi lempar batu, dominasi mayoritas, kemiskinan serta diskriminasi jelaslah pencerminan Pancasila yang tidak efektif.

Permasalahan penerapan dan efektifitas aura Pancasila tentulah tergantung bagaimana pemimpin menjalankanya. Pancasila tak akan di rasakan tanpa keberanian dan keseriusan penerepan. Lunturnya spirit Pancasila dalam masa sulit saat ini adalah tidak adanya konsistensi dan keberanian yang sedikit demi sedikit akan menimbulkan seperti apa yang Roosevelt katakan 'Bangsa yang akan musnah'. Kemusnahan itu setidaknya telah di tandi dengan munculnya syariatisasi yang notabene arabisasi serta kekacauan demokrasi yang condong westernisasi.

Sosialis Hal Kecil

Dengan langkah tegak dan penuh percaya diri pria itu berjalan di hadapan tentara yang berbaris dengan rapi. Helm hitam dan celana mengembang seolah menjadi ciri khas pada masa itu. Kejadian itu tertanggal 5 juni 1944 atau dimana ketegangan perang dunia ke dua sedang begitu memuncak. Hitler yang menjadi tokoh utama menolak menyerah dan berikrar untuk berjuang sampai akhir.

Suasana begitu tegang dan terlihat semakin sepi, pria itu ternyata memiliki hak di hormati oleh tentara-tentara yang berbaris di depanya. Ketika kondisi semakin kondusif, dia akhirnya mulai berbicara panjang membakar semangat. Dia katakan "Pahlawan sejati adalah orang yang bertempur sekalipun ia takut", kata-kata itu membuat wajah-wajah tentara di hadapanya semakin bersemangat.

Ya, pria tua itu tidak lain adalah Jendran Goerge S.Patton, Jr dan suasana itu terjadi ketika dia Berpidato di depan Pasukan Ketiga Amerika menjelang Hari Peperangan besar. Dengan kebulatan tekadnya untuk berperang diapun menambahkan "Lelaki sejati tidak akan membiarkan rasa takutnya terhadap kematian akan mengalahkan kehormatanya, kewajibanya kepada negara dan sesama manusia".

Pidato itu terkenal begitu fantastis dan bahkan diabadikan sebagai suatu pidato yang berpengaruh. Betapa tidak, kata-kata magis Patton ternyata mampu membuat pasukan Amerika berperang dengan gagah berani membantai musuh-musuhnya. Meski Jepang bahkan Hitlerpun takluk, tetapi kemangan itu ternyata haruslah di bayar mahal dengan kerusakan dan jutaan tangisan korban perang tak berdosa.

Hitler tewas dalam bunker yang terpojok dan tanpa sempat meninggal pesan penting. Sementara Kaisar Hirohito menyerah di Agustus 1945, dalam kesempatanya dia berkata bahwa "Musuh telah mulai menggunakan bom baru yang sangatlah kejam". Dia pun berpesan damai bahwasanya "jika perang di teruskan, maka tidak hanya bangsa Jepang yang hancur tetapi seluruh peradaban manusia akan musnah".

Fakta sejarah ini, cukuplah menjadi pelajaran jikalau peperangan tidak akan menimbulkan kebaikan melaikan hanyalah kerusakan-kerusakan baru. Apapun bentuknya baik dalam bentuk gencatan senjata ataupun tidak. Jika perjuangan itu di tunggani niat busuk dan perasaan benci, justru yang timbul adalah kerusakan. Tahrir Square di Mesir menjadi bukti, niatnya berperang demi revolusi justru menimbulkan kerusakan baru. Ribuan nyawa melayang percuma hanya demi perubahan yang semu.

Lebih parah lagi di Lapangan Benghazi Libya, lapangan yang seolah menjadi saksi bisu awal pergerakan kudeta Khadafi. Terlalu banyaknya aktifis yang 'sangtlah pintar' membuat akhirnya Libya menuju revolusi. Revolusi dari bangsa yang independen dan menghargai hak-haknya menjadi bangsa yang minyaknya di blok-blok oleh Amerika dan Prancis serta bangsa barat yang berkepentingan lainya. Aktifis yang 'sangatlah pintar' itu bahagiakah dengan perjuanganya yang katanya mencetak sejarah baru?

Kembali lagi kebelakang, anak dari pasangan Nikola dan Drane Bojaxhiu yang lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 ternyata mampu memberikan solusi terbaik. Tak lain di adalah Bunda Taresa, seorang Kristen terkenal yang memberikan hatinya kepada rakyat miskin India. Perjuangannya demi kemanusian tidak di ragukan lagi, dia selalu berpandangan bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan manusia untuk berjuang sendirian.

Karena konsistensinya terhadap kemanusiaan, kesejahteraan dan perdamaian akhirnya dia di anugrahi Nobel Perdamain dunia di Oslo, Norwegia, 11 Desember 1979. Dalam kesempatan itu dia berpesan bahwa perubahan atau kasih di mulai dari hal kecil seperti rumah. Jika kita berniat melakukan perubahan, menurutnya adalah seperti apa yang di kutip dari pidatonya

"Dengan hadiah perdamaian yang baru saya terima ini, saya akan membuat rumah untuk orang yang tidak memiliki rumah. Karena saya percaya kasih itu di mulai dari rumah. Dan jika kita bisa membangun rumah untuk kaum miskin, saya rasa akan semakin banyak kasih yang tersebar. Kita akan mampu menjadi kabar baik bagi kaum miskin dengan adanya cinta yang memahami ini untuk membawa perdamaian. Orang miskin di dalam keluarga kita dulu, lalu di negara kita dan setelah itu seluruh dunia"

Apa yang di lakukan oleh Bunda Taresa adalah cerminan seorang sosialis sejati. Sosialis yang berjuang dengan jiwa dan raganya bahkan hartanya demi membahagiakan orang lain. Sosialisnya bukan sosialis yang sempat memikirkan hanya untuk demontrasi lalu selesai. Demontrasi tanpa aksi membantu rakyat miskin di sekitarnya. Sosialis itu bukan perkara membela, bukan perkara bicara, tapi aksi nyata membantu, memberikan sumbangsih, ronda bersama, kerja bakti desa, membantu mengangkat pasir warga lain yang ingin membangun rumah.

Mari aktifis yang mengaku sosialis sejati, berjuanglah dari hal-hal kecil dulu. Tidak mungkin anda melakukan hal-hal yang besar jika anda tidak melakukan hal-hal kecil. Keinginan untuk langsung melakukan hal-hal besar hanyalah omong kosong, jika ingin berjuang, berjuanglah dari lingkup keluarga, teman rumah, RT bahkan RW saja dulu, baru anda memikirkan kota setelah itu terserahlah kemana kaki anda akan melangkah.

Homo Sapiens

Itulah kita, itulah insan dan itulah manusia. Makhluk yang selalu berfikir dan karena berpikirlah manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Hampir tak ada satupun permasalahan yang luput dari pikiranya. Dari hal-hal kecil tentang makanan kesukaan hingga mencoba mencari tuhanpun di renununginya.

Jantung dalam proses berfikir adalah otak, tiap jam hingga detik nyaris otak tak pernah berhenti beroperasi. Beratnya yang tidak lebih dari satu kilogram ternyata mampu mencatat berbilyun-bilyun data yang berisikan rencana pribadi tuanya. Seni, sains, sosial, agama, kebiasaan, nama bahkan harumnya setangkai bungapun tersimpan di dalamnya.

Dalam perkembanganya, pemikiran ternyata terbukti mampu membuat nyata hal-hal yang dianggap menjadi imajinasi semata. Dengan air manusia mampu menyalakan sebuah lampu, tanah di pola menjadi sebuah patung yang indah dan emas menjadi barang yang mewah. Begitupun kekuatan motor, menjadikan mobil, pembangkit listrik dan sebagainya yang berkaitan.

Bila kita hendak melongok sedikit ke sejarah daratan eropa, tentunya kita akan takjub dengan Yunani. Sementara bangsa-bangsa lain termasuk Indonesi hanya berkutit pada ketuhanan dan 'sungkem saking raja', Yunani ternyata sedkit lebih maju. Yunani adalah bangsa yang percaya pada sugesti bahwa kemajuan serta bangkitnya peradaban manusia adalah dengan memperkaya khazanah pemikiran.

Cara yang di lakukanya dalam upaya memperkaya khazanah pemikiran adalah dengan tulisan. Penyair Yunani mengubah sajak, sementara ahli pemikiran dan kesejarah membuat buku serta ahli orasinya tampil dalam setiap kesempatan. Contoh sederhana adalah kekuatan sistem ideologi dunia yang kita sebut dengan 'demokrasi' di rumuskan pertama kali oleh orang Yunani.

Terlepas dari bangsa apapun rasanya kita sepakat bahwa ilmu adalah salah satu dari buah pemikiran manusia. Karena semua manusia pada dasarnya adalah pemikir. Maka kita harus mengharga 'Ilmu', dan untuk menghargai, kita tentu harus mengenal dulu hakekat ilmu. Dalam pribahasa Pancis di sebutkkan "mengerti berarti memaafkan segalanya", maka dari itu hakekat ilmu adalah menerima dengan segala kekuranganya.

Berfikir tentulah tidak lengkap tanpa sebuah logika. Seorang penulis Principia Mathematicha Bertrand Russel mengatakan bahwa "Logika adalah masa kecil dari matematikka dan matematika adalah masa dewasa dari logika". Matematika adalah sebuah metode yang semua operasinya bisa di reduksikan menjadi kaidah matematika. Sebagai contoh adalah dua buah penyataan menganai x dan y :

(1) 2x = 3y - 5
(2) 4x = 2y - 2

Kelihatanya memang sulit untuk mengetahui harga x dan y, tetapi dengan operasi matematika sederhana itu tentunya kita bisa tentukan jika harga x adalah 2 dan y itu 3. Contoh dari Bertrand Russel ini memang sederhana tetapi luar biasa karena segala rumus dalam ilmu di turunkan dari pengetahuan sebelumnya.

Bagaimanapun bentuknya tentulah ilmu adalah bagian dari pemikiran. Diatasa adalah sedikit contoh dan faktanya apa yang di artikan homo sapiens ternyata begitu benar, manusia selalu berpikir dan maju. Bahkan descrates mengatakan jika tidak berpikir manusia itu tidak ada (tidak bisa di anggap sebagai manusia). Jargonya yang cukup terkenal seolah menekankan eksistensi manusia adalah pemikir, dia bergata "cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada"

"Bakhrul Amal Ms"

Keadilan

Kita bayangkan Indonesia dulu, dimana saat manusia masih menggunakan batu untuk memasak dan mengerjakan segalanya bergantung batu. Ribuan tahun lalu di Mojokerto sana tepatnya di desa Trinil. Hiduplah manusia setengah kera yang kemudian di beri nama Pythecantropus Erectus.

Sebagaimana di daerah lain di seluruh belahan dunia 'manusia kera' inipun di temukan jua di negeri ramayana ini. Adalah Darwin, seorang profesor kenamaan Amerika yang mengabadikan fenomena ini. Darwin menganggap bahwa 'manusi kera' itu adalah wajah manusia ribuan tahun yang lalu.

Asumsi Darwin mengenai 'Pythecantropus Erectus' adalah manusia dalam masa zaman batu ternyata tidak mendogma begitu larut. Teori Darwin ini pada perjalananya menimbulkan banyak penolakan dan sejauh ini agama adalah garda terdepan dari seluruh penolakan-penolakan terhadap teori ini. Contohnya dalam Islam, disitu di jelaskan jikalau nenek moyang kita di mahkotakan kepada Adam, begitupun Kristen dan Yahudi.

Semakin cerah, Indonesia mulai menemukan jalanya. Muncul satu persatu kerajaan dari Majapahit, Sriwijaya hingga kerajaan Islam Mataram. Kehidupan manusia saat ini tentulah tidak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia sebelumnya. Satu tujuan yang bahkan menimbulkan peperangan itu pada dasarnya adalah keinginan menegakan keadilan. Dimana satu dengan yang lainya memiliki hak yang sama dan sesuai.

Kekuasaan serta wacana tentang perubahan bahkan agama semua terpusat pada keadilan yang merata. Dimana hukum dan ekonomi menjadi palang pintu pertama menuju keselarasan itu. Lalu apakah itu keadilan?. Diawali dari agama, dalam teori Kristen seperti apa yang di kemukakan Harvey, keadilan adalah suatu bentuk peraturan untuk alam bahkan tuhan, untuk hak manusia dapat hilang mengingat dosa yang manusia itu lakukan, dan pada hubungan social. Hampir sama dengan Kristen, Budhapun berpendapat jika keadilan haruslah di berlakukan kepada semua makhluk hidup, budha mengajarkan tentang kesabaran dan haram menyakiti makhluk lain.

Dalam Islam keadilan menjadi suatu pokok yang sangat di junjung tinggi. Seperti salah satunya yang terdapat dalam surat Q.S.al-Maidah:8. Di jelaskan jika keadilan adalah tentang menyampingkan kebencian, menyama ratakan hak dan mencintai sesama. Satu petikanya yaitu "janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum sehingga kamu berbuat tidak adil". Hematnya dalam prespektif Islam keadilan adalah sesuatu yang membawa kedamaian dan ketenteraman dalam masyarakat.

Selain itu adapula beberapa tokoh, salah satunya yang paling giat mengoreksi keadilan adalah Plato. Plato mengungkapkan bahwa keadilan adalah salah satu dari empat pilar kebaikan pokok yang harus dimiliki oleh setiap individu yang bertujuan untuk negara ideal. Plato menolak jika keadilan itu di hubungkan dengan hukum. Plato tidak sependapat dengan Polemarchos yang mengatakan bahwa keadilan ialah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Plato pun tidak setuju dengan definisi Cephalos tentang keadilan ialah kejujuran, tidak menipu dan membayar hutang kepada dewa yang di sebut persembahan.

Plato sang juru bicara Socrates menganggap bahwa keadilan itu debadakan menjadi dua. Ada keadilan individual adapula keadilan dalam negara. Dalam memahami keadilan individual, Plato menganggap haruslah ditemukan dulu kesepakan keadilan menurut definisi negara. Karena negara dan manusia memiliki persamaan tetapi ukuran negara lebih besar dari manusia. Dalam ukuran yang besar itu segalanya lebih mudah terlihat dan dipahami.

Untuk menentukan keadilan negara Plato atau si lebar ini membahas terbentuknya negara terlebih dahulu. Dalam membahas ini Plato terlihat tidak menggunakan teori historis melainkan dengan analitikal ekonomis. Plato memulai itu dengan melihat keinginan serta kebutuhan masyrakat pada umumnya dengan kemampuan yang dimilikinya. Sehingga munculah teori kedilan Plato yang ber asumsi pada pembagian kerja yang sesuai dengan bekat, keahlian serta ketrampilan masing-masing.

Dalam konsep keIndonesian, corak menuju bangsa yang barupun tidak lepas dari keinginan keadilan. Dengan gagah Tan Malaka berpendapat jika keadilan sosial sejatinya dapat tercapai dengan cara membangkitkan kesadaran melalui ilmu pengetahuan dan membebaskan diri dari cara berpikir onservatif yang justru memupuk sikap mental yang kacau. Berbeda dengan Tan Malaka, Soekarno justru berpendapat cara tradisionalah yang seharusnya dipakai, karena segi historis sangatlah penting guna membentuk peradaban yang seimbang.

Tetapi memang keadilan adalah sesuatu yang abstrak dan tidak dapat di aplikasikan melalui kesepakatan. Menurut saya keadilan adalah suatu teori mengenai kesepakatan, konsistensi serta kesadaran. Dimana semua setuju tentang haknya masing-masing dan saling menghargai. Sepakat dengan apa yang menjadi miliknya dan menerapkan keadilan itu dengan tulus. Dan kesadaran tentang dirinya guna menyadari kapasitasnya untuk dapat menghargai dan saling mencintai sesama manusia.

Pendapat saya mengenai keadilan bukanlah suatu hipotesis atau paham yang sementara dipakai dalam belum teruji kebenaranya. Tetapi pendapat mengenai suatu teori, Teori yang dalam bahasa Inggris di artikan satu hipotesis yang sudah di uji. Artinya kebenaran itu dilihat dari tinjuan filsafatis, historis dan sosiologis yang benar-benar terjadi di kehidupan. Kebenaran berdasarkan pengalaman, dimana ada kesepakatan di situ ada keadilan, kesepakatan adalah suatu bentuk yang mengharuskan konsistensi memulai suatu persetujuan.

Dimana Tuhan

Ghazali seorang pemikir, Ghazali pria penyair, Ghazali seorang sufi. Abu Hamid al-Ghazali, nama penjang yang memgemparkan dunia pemikiran Islam. Dia hidup diantara tahun 1058-1111 M, tepat ketika dunia Islam sedang berkembang dan memiliki keragaman. Dia menempuh perjalanan panjang, mempelajari hampir seluruh sistem pemahaman keagamaan pada masanya, demi sebuah kebenaran yang diyakininya.

Kecerdasanya dan kerendahatianya membuatnya begitu cerdas dan cemerlang dalam bersikap. Dia menyerang filsafat tetapi dia sangat mengenal dekat seluk-beluk filsafat. Bahkan dia menghasilkan buku pemahaman dalam filsafat yang diberi judul Maqashid al-Falasifat. Dalam buku itu dia berpendapat, untuk mengenal tuhan pada hakikatnya kita harus mengenal diri kita sendiri.

Jauh sebelum itu, Imam Ali pun pernah berkata "kenalilah dirimu maka kamu akan mengenal tuhanmu". Diri adalah kita yang tidak hanya bernafas, meraba, merasa, mendengar dll. Tetapi kita yang berfikir dan merasakan, karena perkenalan berawal dari berpikir lalu merasakan. Pikiran dan perasaan inilah yang menjadikan kita pada kata yang kita sebut Tuhan.

Mengutip pernyataan Ghazali "Tidak mungkin membuat sesuatu yang lebih baik daripada apa yang sudah ada". Ungkapan itu menunjukan kita pada penerimaan bahwa Tuhan adalah satu dan Tuhan maha besar. Qodrat dan Iradatnya adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mungkin pikiran saja tidak akan cukup menangkapnya, maka dari itulah diciptakan perasaan.

Macam-macam cara di lakukan untuk mencari Tuhan tak terkecuali di Jawa. Jawa konon memiliki ilmu yang di sebut dengan kebatinan. Bahkan eksistensinya sampai berani menuntut Soekarno untuk mengakuinya sebagai agama resmi di tahun 1957, yang tentu saja di tolak.

Niels Munder menjelaskan bahwa penganut kebatinan sangat jarang mencari kekurangan agama lain. Tetapi mereka agak muak dengan tingkah laku religius tertentu. Bagi mereka, "Tuhan" ada di dalam hati manusia dan hidup manusia haruslah terus menjadi doa bagi Sang Khalik. Mereka tidak mengerti dengan ritual keagamaan lain, seperti sholat lima kali sehari, ataupun di dalam gereja. Mereka juga mempertanyakan mengapa doa-doa haruslah di teriakan dengan pengeras suara masjid.

Menurut kaum "abangan" jawa, Tuhan bukanlah sesuatu hakim yang jauh dan tidak dapat di dekati. Tuhan begitu dekat dari apapun juga, bahkan manusia sendiri pada dasarnya adalah bagian Hakikat Ilahi. Mereka mengakui ibadah timur tengah sebagai langkah pertama menuju Tuhan, namun mereka tidak dapat menerima Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir ataupun Jesus sebagai juru selamat. Kebatinan tidak banyak menjanjikan surga, melainkan tertuju pada penafsiran duniawi dalam prespektif kosmologis.

Mungkin bila dikata kritik, Al-Ghazali pernah menyampaikan statmentnya untuk sejenis kaum abangan yang belum jelas Tuhanya itu, "Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para atheis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian." (Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ)

Sementara Al Ghazali memiliki pendapat bahwa Tuhan adalah hakikat. Tanpa mengetahui hakikat yang lainya selain hakikat diri, manusia tidak akan pernah tahu Tuhan. Menurutnya ada lima pengahalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat, yaitu: karena belum sempurnanya jiwa, dikotori maksiat, menurutkan keinginan badan, adanya penutup yang menghalangi hakikat masuk ke jiwa (Taqlid) dan tidak dapat berpikir logis.

Dalam edisi tassawufnya Al-Ghazali menjelaskan hubungan jiwa dan badan adalah seperti hubangan kuda dan penunggangnya. Jiwa adalah manusia interistik, sumber pengetahuan dan gerak bagi Al-jism (badan). Yang bergerak menuju Tuhan adalah Jiwa (Al-Nafs), bukan badan.

Bagaimanapun caranya, nyatanya Tuhan tak dapat bertemu dan menyapa kita dalam keadaan. Ghazali mampu berteori, Ghazali mampu menuhankan hatinya, begitupun kebatinan mampu menuhankan pikiran.

Makna Hidup

Duhai mahkota surya
Ajarilah daku makna kehidupan
Rahasia fajar terharu
Dari isyiq kerinduan lama
Agar kusenandungkan cita....


Sebuah kutipan sajak dari seorang bernama Nurhayat Alhadar dalam bukunya Cita dan Impian Penyair. Makna kehidupan memang sulit dijelaskan karena hanya dapat dirasakan, tetapi khaidahnya sedikit-sedikit mulai bisa di pelajari.

Cerita ini mengenai Goerge W Burns yang saat itu sedang mengadakan konfrensi di kota tempat tinggalnya. Dia di selimuti ketegangan karena keinginan untuk memastikan semua berjalan dengan benar. Tentulah kegiatan seperti itu membuatnya merasa memikul beban yang berat dan melelahkan.

Sebelum saya melanjutkan kisah metafora karya Goerge W. Burns. Saya ingin kenalkan kalau Goerge W. Burns adalah seorang Psikolog klinis dan dikenal sebagai Direktur Milton H. Erickson Institute, Australia Barat. Dia juga seorang pelatih para ahli terapi dan penulis buku Nature-Guided Therapy: Brief, Intergrative Strategies for Health and Well-Being.

Sebagian temanya menganggap dia adalah petualang. Dia membaca buku tentang kota-kota yang menjadi rencana kedatanganya. Menyusuri jalan-jalan pedesaan dengan menggendong ransel, melewati bukit dan bahkan berenangpun dia kerjakan. Tetapi satu hal, dia selalu menjadwal dan mempersiapkan perjalananya dengan matang.

Begitupun dengan rencana konfrensinya, dia terlihat sibuk mempersiapkan idenya selama dua tahun. Dia mendekati dan memastikan pembicara untuk hadir. Bahkan berbulan-bulan sebelumnya dia telah di pusingkan untuk mempersiapkan lokasi selama berbulan-bulan.Mungkin acara itu adalah acara yang paling medongkolkan baginya.

Seminggu sebelum konfrensi dia diminta untuk menyiapkan proyektor audio visual. Derita itu di tambah dengan pemberitahuan dari pembicara utama yang tidak dapat hadir, sementara pembicara lainya memaksa Burns untuk mengganti kursi kaku dengan Sofa karena alasan kenyamanan.Dia merasa semua itu seharusnya tidak terjadi, karena selama satu tahun lalu dia telah berusaha untuk memastikan semuanya dengan rapi.

Burns hampir saja larut dalam kekacauan pikiranya. Dia hampir menyerah dan tidak habis pikir dengan apa yang di alaminya. Segala sesuatu yang sudah di persiapkanya dengan matang ternyata hancur oleh hal-hal kecil di luar kapasitasnya. Burns tidak mungkin lari dari kenyataan karena sesuatu yang di luar kehendaknya tetapi krikil-krikil itu telah menggoyahkan mentalnya.

Hingga akhirnya dia harus berjalan dari lokasi konfrensi untuk kembali ke ruanganya. Di salah satu ujung jalan dia melewati begitu banyak perkantoran dan pertokoan dengan tema dagangnya masing-masing. Ada salah satu toko alat kantor yang selalu memajang sebuah papan tulis di depan toko. Dan pada saat itu, tulisan itu berbunyi "Hidup bukanlah' seharusnya..... Hidup adalah kenyataan yang ada".

Persis seperti iklan sebuah produk makanan coklat di televisi. Dimana coklat yang terkenal mahal itu di ambil sedikit demi sedikit oleh seorang wanita dari seorang pria di kasir. Hingga akhirnya wanita itu pergi meninggalkan toko dengan hanya menyisakan satu potongan kecil coklat. Kehidupan itu "gede sih, tapi rela di bagi-bagi"