Hukum adalah
suatu peraturan yang mengikat yang apabila di langgar maka akan mendapaatkan
sanksi. Setidaknya itulah pendapat sederhana yang umum dan mudah di mengerti.
Sekalipun hukum sesungguhnya memiliki perumusan yang menilai berbagai macam
aspek. Aspek yang lalu kemudian di bagi menjadi tiga yaitu kepastian, keadilan
dan kepatutan.
Sebagian besar masyarakat percaya dan yakin bahwa
hukum adalah satu-satunya jalan menuju keadilan. Keadilan yang kemudian
berkembang luas menjadi kesetaraan, kesejahteraan dan rasa aman. Meskipun pada
mulanya hukum berasal dari sabda Nabi dan kemudian di lanjutkan menjadi aturan
karena pengaruh persona raja, nyatanya kini hukum pun harus menjadi luwes berupa keinginan masyarkat.
Hal itu bukanlah
kesalahan karena sejatinya hukum itu tidak di ciptakan tetapi lahir dan
berkembang menurut kemauan masyrakat. Artinya hukum haruslah berdasarkan
keinginan rakyat. Kenyataan ini kemudian menjadi aplikasi lahirnya civil law
system yang mengenal istilah trias politica. Dalam trias politica kita
mendapati apa yang di sebut dengan legislatif,
legisltif umumnya di isi oleh wakil rakyat dan dalam kewenangan konstitusi
memiliki andil sebagai pembuat peraturan.
Dari susunan di
atas terlihat bagaimana hukum sesungguhnya memiliki peran penting dalam
memajukan suatu bangsa, disamping politik, sains dan ekonomi. Hukum juga secara
tidak langsung menjadi tameng atau tembok besar pelindung rakyat. Pelindung
dari kesewenangan dan kemungkinan pengkhinatan. Selain itu hukum pun mulai
menjadi suatu kebutuhan demi membentuk masyarakat yang madani.
Di Indonesia
sendiri, hukum di agungkan dan memiliki tempat yang cukup tinggi dimana segala
permasalahan dapat diatasi lewat hukum. Sebagai penguat legitimasi maka di bagilah
hukum menjadi dua yaitu Hukum Privat (sifatny perorangan atau warga negara,
dimana negara memfasilitasi aturan dan lembaga penyelesaian) dan Hukum Publik
(negara turut campur dan merumuskan serta ikut hadir dalam penyelesainya). Itulah
mengapa pada akhirnya Indonesia di sebut negara hukum.
Pada intinya,
sejauh perjalanan hukum, negara selalu memiliki peran. Peran itu di tentukan
dalam bentuk suatu keputusan. Keputusan yang dari rakyat untuk rakyat demi
kebaikan bersama. Yang dengan hal itu suatu negara di harapkan menjadi negara
yang maju, jujur, bersih dan memiliki wibawa. Kunci dari tujuan itu tentu tidak
lepas dari apa yang di sebutkan tadi yaitu keputusan.
Lalu yang
menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana efektifitas keputusan yang diberikan
negara saat ini?. Bila kita mau jujur dan berkaca dari apa yang terjadi
akhir-akhir ini, keputusan yang di ambil sering kali tidak tepat. Tidak
mewakili atau mewakili namun keputusan itu sifatnya hanya omong kosong. Keputusan yang membawa angin segar sesaat tetapi
dalam realisasinya ternyata nihil.
Semoga saja ini
hanya karena ketidak mengertian saya saja. Sewajarnya saya masih selalu
bingung, bukankah DPR itu di ciptakan untuk mewakili rakyat, benar toh. Lalu,
segala keputusanya haruslah melalui musyarawah mufakat dengan rakyat, toh.
Namun mengapa, pada faktanya DPR selalu membuat aturan yang kadang kala rakyat
sendiri tidak tahu.
Keputusan yang
seringkali di keluarkan Pemimpin negara atau DPR yang notabene mewakili rakyat
tidak jarang malah membuat kecewa rakyat. Seharusnya, apabila benar ini negara
hukum dan rakyat menjadi mahkotanya, setiap keputusan tentunya di setujui oleh
rakyat. Logikanya sederhana saja, dari kata Perwakilan
yang menjadi arti dari P di antara D dan R sejatinya keputusan itu valid
dan final untuk bersama dengan apa yang di wakilinya yaitu rakyat.
Dengan kasat
mata kita pun menilai bahwa keputusan itu bukanlah mewakili apa yang sehrusnya
di wakili. Keputusan itu adalah hasil kebimbangan dan keinginan sebagian
kelompok. Atau bila masih ingin positif, keputusan itu sebenarnya tidak begitu
tetapi karena bingung menjadi seperti itu. Keputusan itu hasil dari kebingungan
yang kemudian mempengaruhi pengambil keputusan.
PENELITIAN ANTONIO
DAMASIO
Saya jadi
teringat akan penelitian yang di lakukan Antonio Damasio. Menurut Damasio di
dalam otak itu terdapat bagian yang namanya korteks ventromedialis
prefrontalis. Bagian itu adalah bagian kritis dari otak. Ventromedial adalah
bagian yang memiliki peran penting dalam suatu pengambilan keputusan. Bagian
ini mengolah hal-hal yang bisa terjadi di masa mendatang, yang dengan itu
kemudian menyusun prioritas dan berbagai keadaan yang menjadi perhatian segera.
Orang-orang yang
memiliki cedera ventromedial sangat rasional bahkan bisa begitu pintar dan
terampil tetapi tidak pandai mengambil keputusan. Contohnya seperti apa yang di
lakukan Damasio dengan eksperimenya. Hanya dengan dua pilihan tanggal yang di
berikan Damasio untuk pertemuan mendatang, para audience kebingungan, padahal
dua tanggal itu berada di bulan yang sama. Alasanya bervariasi dari tanggal
yang begitu dekat hingga lelucon kemungkinan turun hujan.1)
Penelitian
Damasio ini secara sadar mengingatkan saya akan berbagai kejadian di negeri
ini. Mungkin para pengambil keputusan yang di tanganya hukum di tegakan, mereka
(sedang) mengalami cedera ventromedial. Kita pun tentu tau, mereka begitu
pandai, terampil dan intelek tetapi begitu di hadapkan pada keputusan,
rasionalitas mereka mengalahkan intuisinya.
Itu catatan yang
pertama.
Yang kedua
adalah, apabila kemudian telah menemukan sosok yang mampu memberikan keputusan
yang baik maka akan tercipta suatu suasana taat hukum? Jawabanya tentu belum
pasti. Dari dulu hingga sekarang kehidupan tidak dapat di pisahkan dari sistem
klas yang menuntut kecemburuan sosial. Kemudian sudah menjadi sifat dasar
manusia tidak pernah puas, sudah menjadi sifat dasar manusia pula yang pada
akhirnya akan menggunakan persepsinya masing-masing untuk menentukan kebenaran.
Dari beberapa
simpulan di atas di temukan sebuah kata yang kita kenal dengan tempo. Dimana
dulu (hingga kini) di kenal pencurian adalah suatu perbuatan tindak pidana yang
harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya. Maka dibuatlah pasal 362 KUHP
untuk mengatur hal itu. Namun nyatanya keinginan itu bergeser mankala seorang
nenek yang kita kenal dengan nama Mbok Minah mencuri buah kakao. Pencurian itu
bukan justru mengundang makian melainkan suasana simpati karena alasan
kemanusiaan.
1. Malcolm Gladwell
Blink ,Halaman 69
Sangat jelas
disini bahwa tempo mengubah pandangan pencurian dengan beberapa alasan dianggap
sebagai suatu yang mampu menembus sisi kemanusiaan dan masuk ke ranah kewajaran.
Kita diajar di sekolah menengah, bahwa “titik” jika ditarik terus maka akan
menjadi garis dan garis ditarik terus akan menjadi bidang lalu bidang yang
ditarik terus akan menjadi badan. Semua pekerjaan ini memakai tempo. Kita perlu
memakai tempo buat mengubah titik menjadi garis atau garis menjadi bidang dan
akhirnya bidang jadi badan. Kalau sudah cukup memakai tempo, kita bisa menjawab
mana titik mana garis, mana garis dan mana bidang, mana bidang dan mana banda.
Tetapi pada saat dimana titik belum menjadi garis, garis belum menjadi bidang dan
sebagainya, kita tidak bisa jawab apakah ini titik atau garis dan seterusnya.
garis atau bidang.2)
Sekedar analogi
Dalam ilmu alam
kita mengetahui bahwa, air kalau didinginkan sesudah beberapa lamanya, hilang
menjadi es. Dalam hal ini kita tahu benar, mana yang air, mana yang es. Tetapi
ada saatnya, dimana kita tak bisa menjawab apakah ia itu masih air atau sudah
menjadi es.
Dalam kehidupan
sehari-haripun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tiada bisa
diputuskan dengan ya dan tidak saja, kalau Tempo campur. Mudah
mengatakan orang itu muda, kalau memang masih sehat atau sekitar dua puluh
sampai tiga puluh tahun umurnya, memiliki mata yang jelas, berambut hitam dan
tidak tuli, atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi
jawablah dengan ya atau tidak muda kalau seseorang matanya
rabun, telingny tuli, sakit-sakitan dan rambutnya memutih walaupun misalkan umurnya
masih 20 tahun.
2. Tan Malaka, Madilog, Halaman 68
Kemanusiaan
Artinya memiliki
keberanian untuk membuat keputusan saja itu tidaklah cukup. Tetapi perlunya
memiliki sifat kepekaaan prikemanusiaan dalam membuat putusan jugalah dinilai
penting. Putusan itu sejatinya tidak perkara ya dia salah atau tidak, dia itu benar tetapi sisi kemanusiaan pun di
kedepankan. Ketika Mao Zedong mengalahkan Ching Khaisek tahun 1949 dri beijing,
ia segera memerintahkan pasukanya untuk membuat pengdiln rakyat. Di pengadilan
rakyat ini dibunuhlah dua belas juta jiwa kaum borjuis. Keputusan ini di nilai
tepat dan merkayat demi kaum proletar tetapi apakah kemudian bisa di nilai
berprikemanusiaan?.
Inilah yang di
sebut alur kebijakan, yang progresif dan saling memahami satu sama lain. Tidak
serta merta membut putusan yang sesuai dengan apa yang sedang tren di
masyarakat. Pentingnya masyarakat memahami itu lebih penting di bandingkan
dengan putusan itu sendiri. Pemahaman itulah yang kemudian membentuk kedewasaan
dalam bersikap. Dengan tempo yang susunanya lugas terbukti bahwa hal yang di
anggap melanggar moralpun kemudian bisa di pahami dan di lihat sebagai
kemanusiaan. Kemudian di temukanlah tempo dalam membuat putusan itu yang
pertama permasalahan, dasar hukum dan yang terakhir adalah alasan dari
kejahatan dilihat dari sisi kemanusiaan lalu di buatlah suatu putusan.
Dengan begini
maka hukum di tempatkan seperti seharusnyaa yaitu menjadi pembela rakyat. Hukum
harus bebas dan terbang tinggi untuk rakyat, untuk seluruh manusia (al musaawa bainanas amamal hukmi, equality
before the law). Negara yang menjadi pengambil keputusan pada saatnya harus
menempatkan dirinya pada porsi yang tepat. Porsi yang membela rakyat dan
keputusanya sesuai, tidak ke kanan atau ke kiri, tidak mencla-mencle bahkan
arogan demi kepentingan sebagian golongan dan lalu kemudian memberikan
pemahaman kepada masyarakat. Tidak ada lagi cedera pada bagian otak
ventromedial dan ketertutupan hati agar hukum pure untuk mensejahterakan dan memberi keadilan pada rakyat.