Kamis, 29 Desember 2011
Keadilan
Diskursus mengenai keadilan yang hakiki memang sulit sekali menemui titik temu. Terlalu banyaknya kepentingan membuat keadilan seolah di kesampingkan. Imbasnya adalah kemiskinan dan ketidakmerataan pembangunan yang menimbulkan pencurian, penipuan, kekerasan serta tindak kriminal serampangan lainya dimana-mana.
Jika kita berbicara keadilan hampir pasti kita mengaitkan dengan hukum. Tidak akan tercapai suatu keadilan tanpa adanya hukum. Dan dengan hukum keadilan itu bisa ditentukan dengan pas. Sedangkan dalam lima tahun terakhir hukum kita mengalami kekacauan yang luar biasa dan menjadi sesuatu pecutan yang tragis bagi kaum proletar.
Kalau kita perhatikan kaum borjuis memang memiliki pengaruh besar terhadap birokrat terlihat dari mereka yang terus-terusan meng intervensi pemerintah untuk meneruti kemauanya (seperti: jual beli hukum yang sekarang marak di bicarakan). Sementara itu kaum proletar hanya bisa diam dan dogmatis karena memang tak berdaya. Tidak salah jika saya mengatakan hukum yang notabene sebagai tiang keadilan, saat ini seakan mati suri dan memunculkan anggapan hukum hanya milik kaum borjuis.
Kasus-kasus hukum yang telah usang seperti Century hingga kasus-kasus baru (fuqoha) tentang remisi terhadap koruptor perumusan serta tata cara penegakan hukumnya hanya berakhir dalam sebuah perbincangan dan dialog di seminar ataupun televisi. Karena faktanya apa yang di perbincangkan dan seolah menemui titik terang itu tidak pernah terjadi atau sampai di kenyataanya. Sementara itu penegakan hukum jauh berbanding terbalik dengan kasus pencuri ayam, sendal dll. di berbagai daerah yang secara cepat hukumanya di jatuhkan dan terkadang mengabaikan alasan sosiologis. Why?
Padahal jika kita tarik pada hakikatnya sesungguhnya keadilan dalam hukum adalah suatu kewajiban. Artinya tidak ada perbedaan antar Kaum Proletar dan Kaum Borjuis apabila melanggar hukum berarti mereka berada pada posisi dan perlakuan yang sama. Selama dia mencuri entah pejabat ataupun pengemis di posisikan, di perlakukan dan di tempatkan dalam ruang hukum yang sama. Bahkan seharusnya ada tanggung jawab moral yang lebih untuk pejabat yang mencuri mengingat perbedaan strata sosial (bukan hanya dalam ekonomi tetapi jabatan) antara pejabat dan pengemis.
Untuk mengatasi semua ini memang perlu eine umgstaltung von grundauf atau perubahan dari bawah sekali. Yaitu dengan membenahi seluruh sistem (tidak hanya hukum) dengan mengolah kembali untuk mencapai suatu kesepakatan demi keadilan. Dan orientasi dari eine umgstaltung von grundauf ini adalah untuk membentuk manusia yang satyagraha(setia pada kebenaran).
Searang tibalah kita pada pertanyaan-pertanyaan mengenai, Sesungguhnya apa sih keadilan itu? Mengapa setiap manusia menuntut keadilan? Apakah dengan tidak adanya keadilan kehidupan akan berakhir hingga setiap manusia menuntut keadilan?. Pertanyaan seperti ini sering sekali muncul dan di cari jawabanya.
Tetapi membicarakan keadilan adalah membicarakan sesuatu yang abstrak. Dalam memandang suatu keadilan pun bisa di lihat dari berbagai sisi sebagai contoh apa yang menurutku adil belum tentu menurutmu adil. Bahkan ada kata mutiara yang mengatakan "Tidak ada keadilan yang absolut, yang ada hanyalah keadilan menurut siapa yang berbicara".
Dan ternyata ternyata keadilan itu tidak melulu di kaitkan dengan hukum. Keadilan itu sifatnya lebih luas dan universal. Sedikit mengutip ucapan Fritz Adler "men kan de hongrer van een bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen". Orang tidak bisa menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikanya UUD.
Sekian dan terima kasih!! (Pembahasan mengenai arti keadilan di lanjutkan di tulisan selanjutnya)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar