Jumat, 26 Agustus 2011

Resourcefulness

Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).

Indonesia dewasa ini terasa semakin mengiris hati mengingat rendahnya atau lunturnya rasa percaya diri yang menjadi identitas bangsa ini. Dari dulu hingga sekarang semua tau bahwa bangsa kita adalah bangsa yang paling mudah di pecah belah. Karakter kuat yang sering memfanatikan suatu gerakan, kelompok atau organisasi tanpa disadari membawa kita kedalam permainan "Politik Adu Domba" kaum kapitalis. Keterbukaan atau Demokrasi yang mereka bawa hanyalah omong kosong, Konsep Sosialis hanya di ujung lidah sedangkan sosialisme sesungguhnya dapat ditemukan dalam kerohanian yang tinggi sehingga mampu menghayatinya di dalam hati dan menuangkanya dalam civilization.

Bayangkan dari milion act yang pernah di lakukan di negeri ini, paling hanya seperempat atau bahkan tidak sampai segitu yang berhasil. Kemauan untuk belajar anak muda kita yang begitu tinggi terpaksa di tutupi atau bahkan di batasi hingga menjadi pemerhati karena hanya menyerap setengahnya. Padahal ilmu yang setengah-setengah itu sungguh berbahaya ketika fanatisme mulai meracuni. Sosialis dan kapitalis seolah menjadi tidak ada bedanya ketika lidah dan hati tidak bersatu dan hanya menghasil trouble mind. Ucapan dan hati mereka mudah melejit seperti anak panah keluar dari busurnya atau seperti pemicu yang di nyalakan sedikit saja terbakar.

Jutaan calon penerus bangsa ini hancur dalam majelis ta'lim perpolitikan dadakan. Mereka mengerti akan adanya propaganda tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka adalah korban propaganda. Semangat keangkuhan individualitas merengganggak jarak antara "emotional fact" dari moderinesme. Tertutupnya diri dari segala yang berbeda adalah suatu bentuk atau hasil dari berhasilnya propaganda.

Teriakan "anti kapitalism" berkumandang di seluruh seantero negeri gatot kaca ini. Seolah memangku serta menuntun kelas menengah kebawah. Tetapi merujuk pada kepribadian masing-masing dalam menjalani hidup tidaklah selaras dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka berteriak berjuang di luar menentang kapitalis, tetapi tetangga mereka sendiri ada yang tidak makan (apa ini). Aksi menuntut sebuah kondisi yang lebih baik hendaklah mereka pikirkan dengan matang, karena tidak sedikit penyesalan yang terjadi akibat teori propaganda yang tak mereka sadari.

Perlu kita pelajari, dahulu seorang kolenel khadafy menuntut sebuah kemerdekaan dari seorang diktator keras. Tetapi ternyata pada akhirnya dia tidak pernah sistem atau caranya memimpin rakyat seperti yang dijanjikan. Hasil dari Aksi yang di lakukan rakyat libiya 40 tahun lalu hanyalah pergantian wajah atau seni tetapi sama-sama dalam koridor diktator.

Menarik memang kita jika menyimak sejarah panjang negeri yang tak pernah sanggup di kuasai Belanda ini. Kesuksesan era 98 di jadikan sebagai senjata atau ancaman yang di tebarkan untuk mengintimidasi atau bahkan senjata bagi pemilik massa untuk merebut mimpinya. Memunculkan dendam baru dalam skala Nasional yang sama sekali tidak di pikirkan jelas menunjukan ketidak intelektualan.

Yang terbaik adalah melakukan suatu hal yang nyata dan real. Terjun langsung mengawasi apa yang menjadi sorotan masyarakat. Memberikan suatu kontribusi secara actual bukan membakar ban ataupun aksi penuh emosi yang justru memecah belah. Jangan pernah lupakan cita-cita luhur pemimpin kita dahulu "Bhineka Tunggal Ika". Di situ di selipkan makna kesabaran, keyakinan, di siplin dan menyampingkan ego pribadi.

Tuntutan untuk mengharapkan semua harus sesuai dengan apa yang kita inginkan bukanlah suatu penyelesaian. Justru kita hidup adalah untuk bersama-sama dan berusaha memahami orang lain. Sekalipun perlu koreksi masing-masing tetapi dengan cara yang Muasaroh Bil Ma'ruf. Bukankah kita ini negara yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mencapai mufakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar