A. Iftitach
Pesantren merupakan institusi strategis. Sekalipun sering dikelompokkan sebagai institusi pendidikan, pesantren sebetulnya lebih dari sekedar lembaga pendidikan. Sistem kehidupan yang dibina di dalamnya, dan karakter jalinan antar pesantren, dan bahkan variasi kepedulian ppesantren terhadap aspek-aspek kehidupan dalam masyarakatnya, menjadikan pesantren sebagai institusi yang unik yang dapat memberikan konstribusi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat atau bahkan negara.
Posisinya yang amat strategis tersebut bukan tidak disadari oleh banyak kalangan, Tetapi, sebagian yang tidak berpandangan positif justru sering melihat posisi strategisnya itu sebagai ancaman, dan karenanya dicurigai dan bahkan dimusuhi dan dikucilkan. Realitas seperti itu tidak sulit untuk dicarikan catatannya dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Namun demikian, pengalaman yang seperti itu seringkali dijadikan pelajaran oleh kalanagn pesantren sendiri, sehingga menjadikan pesantren semakin matang dan menjadikan perannya dalam masyarakat semakin mantap. Reaksi pesantren dalam menghadapi tantangan dan “tantangan”nya memang tidak selalu sama, baik dari sisi kepekaan maupun dari sisi kemampuannya. Ragam dinamika pesantren yang seperti itu pada sisi tertentu ternyata merupakan kekayaan tersendiri bagi dunia pesantren. Ini adalah faktor strategis lain dari pesantren, sehingga pesantren (kebanyakannya) tetap survive. Sekalipun demikian, memang pula diakui bahwa penempatannya yang di “deskreditkan” juga telah menjadikan beberapa pesntren dalam posisi melemah.
Terakhir pesantren menghadapi “tantangan” terorisme. Bersamaan dengan itu, bangsa kita juga sedang mengkhawatirkan kelanjutan NKRI. Bisa jadi, kekhawatiran itu timbul karena dikaitkan dengan fenomena terorisme dan kekerasan-kekerasan lainnya. Dalam konteks ini, maka secara tidak langsung pesantren juga dikaitkan dengan pertanyaan bela negara dalam ranggka NKRI itu. Sebagai upaya preventif di satu sisi dan upaya memperkuat diposisi lain, maka sebetulnya pertanyaan kepada pesantren tentang kesiapan secara ajaran dan fisik terhadap bela negara untuk mempertahankan NKRI menjadi sesuatu yang harus dipandang positif.
1.Pluralisme dan Bhineka Tunggal Ika
Pluralisme dalam penggertian faham bahwa secara faktual bahwa manusia memang unik dan berbeda antara satu dengan yang lainnya, bukan hanya dalam kategori-kategori besar seperti rasnya, bahasanya, sukunya, tempat tinggalnya, agama atau keyakinannya, atau latar belakang lainnya, melainkan juga pada satuan-satuan yang lebih kecil, terkait antar individu saja, merupakan sesuatu yang secara alamiah adalah niscaya, tidak mungkin ditolak. Penolakan terhadap realitas justru tidak realistis dan harus ditolak.
Dari sisi fisik atau performance superfisialnya, al-Qur’an menggambarkan ide dan konsep pluralisme. Bahasa yang dipakai dan Kisah-kisah yang diangkat dalam al-Quran, dengan jelas menggambarkan semangat pluralisme.
Dari sisi jaran, Islam adalah ajaran yang rasional ilmiah. Karena itu, apa yang ilmiah dan rasional musti merupakan bagian dari ajaran Islam. Al-Qur’an senyatanya telah mengakui realitas seperti itu dan menegaskannya untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan manusia. Diantara pernyataan al-Qur’an yang amat jelas misalnya al-Hujurat ayat 13. Begitu juga ayat-ayat Makkiyah yang memuat ajaran dan nilai universal yang menembus batas ras dan agama. Pernyatan al-Qur’an bahwa Rasul di utus semata-mata uuntuk menyebarkan Rahmat bagi alam semesta, adalah pernyataan yang amat tegas bahwa pamrih utama ajaran Islam adalah kedamaian alam semesta. Lebih lagi bahwa ajaran itu telah diimplementasikan dalam kehidupan Rasulullah di Madinah, yang kemudian kita kenal dengan kehhidupan masyarakat madany (Civil Sosiety)
Jika dicoba dihubungkan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, maka kelihatannya Bhineka Tunggal Ika adalah pluralisme sebatas negara Indonesia.
2. Jihad dan Belanegara
Konsep jihad dalam islam sering disalahfahami. Bagi fihak lain konsep ini sering ditangkap sebagai konsep genocide atau pemusnahan bagi mereka yang berbeda dengan (kebenaran, aqidah) Islam. Karena itu, kata jihad sering menjadi momok bago orang-orang yang tidak seiman dengan Islam. Maka lalu timbul Islamophobia, rasa takut dan anti terhadap Islam. Bagi kalangan muslim sendiri, sebagian mempersempit pengertian jihad dengan usaha menyingkirkan setiap yang berbeda dengan “diri”nya, dengan faham dan kkeyakinannya, bila perlu dengan kekerasan. Pengertian seperti inilah yang menyuburkan kesalahfahaman orang lain. Apalagi ada kalanya konsep seperti itu menjelma dalam tinndakan.
Islam telah memperkenalkan jihad dengan konsep yang unuversal. Jihad memang mengandung pengertian perlawanan. Namun perlawanan yang diusungnya adalah perlawanan terhadap nilai-nilai yang merugikan kehidupan manusia, perlawanan terhadap setiap yang tidak humanis. Seperti ketidak adilan, penganiayaan, perampasan hak dst, yang sifatnya universal. Karena itu, Islam telah menegaskan bahwa jihad yang utama adalah jihad terhadap tirani diri sendiri (jihad al-nafs). Dengan demikian, maka jihad dalam Islam tidak bertentangan dengan tujuan keberadaan Islam sendiri , yaitu rahmatan li al-alamiin. Dari itu, maka setiap aktivitas jihad tidak boleh melukai orang lain, termasuk diri sendiri, sebab yang dilawan adalah nilai, bukan orangnya atau fisiknya.
Belanegara diperlukan dalam hal menjaga dan mempertahankan. Mempertahankan apabila terdapat ancaman untuk mengambil dan merampas wilayah atau kekuasaan atau kekayaan negara. Daalam pengertian yang terakhir ini, maka jihad memang diperlukan, karena untuk melawan nilai-nilai yang tidak humanis tadi. Deangan demikian, belanegara adalah jihad sebatas kepentingan senegara.
3. Bhineka Tunggal Ika di Pesantren
Di pesantren Bhineka Tunggal Ika diajarkan di dalam semangat pluralisme. Pluralisme sendiri diajarkan di pesantren dengan berbagai cara. Pertama, melalui materi-materi yang diajarkan. Pelajaran Tafsir, Hadits, Sirah dan Akhlaq yang diajarkan di pesantren umumnya berisi materi-materi yang bersifat praktis dan menghadapi kehidupan nyata. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan biasanya kitab muchtashar dan juga syarah yang semuaanya dikarang oleh para praktisinya, karena itu materinya bersifat praktis, atau terpilih dari materi-matteri yang dekat dengan realitas kehidupan. Dalam kepraktisan itu, semuanya diarahkan pada realitas kehidupan yang plural, atau bernuansa Bhineka Tunggal Ika. Sekalipun Bhineka Tunggal Ikha tidak dikatakan secara langsung, tetapi para guru dan kyai yang menjelaskannya, umumnya menyesuaikan dengan konteks lokal. Jadi pluralismenya bernuansa Bhineka Tunggal Ika. Kedua, melalui keteladanan. Para kyai yang umumnya menjdi teladan dan dijadikan teladan oleh para santrinya menunjukkan sikap uniiversal dalam kehidupan. Di kompleks pesantren siapa saja bisa datang ke kyai dan itu diterima dengan baik oleh sang kyai. Kyai juga biasa dengan senang hati menghadiri undangan dari siapa saja. Bahkan tidak jarang dalam kehadirannya itu mengajak santrinya.
Bagi orang-orang yang tidak mengenal kkultur pesantren, mungkin meragukan kesediaan kyai untuk menerima tamu dari orang-orang yang tidak seagama. Namun ini adalah realitas, karena kyai selalu meletakkan dirinya sebagai pengayom ummat. Ketiga, pengalaman langsung. Agak jarang, atau mungkin tidak ada pesantren yang hanya menampung santri yang hanya berasal dari satu daerah atau satu bahasa atau satu adat istiadat. Pesantren pada umumnya berisi santri-santtri yang lintas kultur dan plural. Sesuai dengan sistemnya mereka tingggal dalam satu komplek, yang disebut pondok dan bergaul sesamanya. Tradisi ini pasti akan menimbulkan bekas yang dalam, dalam artian salaing memahami dan saling mengerti diantara mereka, yang terus dijadikan pengalaman dalam kehidupan mereka setelah keluar dari pesantren.
Jadi secara umum pesantren mengenal ajaran dan mengimplementasikan kehidupan pluralisme dalam prakteknya. Dan itulah pengetahuan dan prakttek Bhineka Tunggal Ika yang terimplementasi dalam kehidupan pesantren.
4. Bela Negara dalam Sejarah Pesantren
Bela Negara dipesantren difahami sebagai kesadaran, sikap dan tindakan untuk memajukan dan mempertahan negara dalam perspektif mengembangkan kesejahteraan, menegakkan keadilan dan nilai-nilai universal lainnya yang terkandung dalam semangat jihad. Itulah sebabnya dikalangan pesanttren bela negara tidak semata ketundukan dalam mewujudkan tujuan negara, namun juga ttetap kritis terhadapnya.
Dalam sejarahnya, pesantren memang telah mengimplementasikan semangat bela negara yang demikian itu. Pada masa pennjajahan pesantren adalah pusat konsentrasi para pejuang dalam melawan penjajahan, bahkan di luar komando formal kekuasaan negara. Mereka sendiri yang mengambil inisiatif membela negara. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya para kyai dan santri yang melakukan perlawanan terhadap penjajah dan bahkan gugur di medan pembelaan tersebut. Akan tetapi, sayangnya, karena pesantren adalah masyarakat, bukan penguasa negara, rupanya perjuangan para kyai dan santri tersebut sedikit sekali, untuk mengatakan tidak ada, yang dicatat dalam sejarah. Kalaupun ada, catatan sejarah kita menempatkan perjuangan para santri dan kiyai itu dalam istilah umum yang mengkaburkan, yaitu “perlawanan rakyat”, menghindari penyebutan kyai atau pesanttren.
Jika ditelusur lebih jauh, lokasi pesantren-pesantren yang ada, yang umumnya di daerah yang terpencil, sulit dijangkau, pada sisi lain adalah tindakan defensif dan sekaligus strategis dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selain dengan pemilihan lokasi, ppesantren juga melakukan perlawana kultural misalnya dengan menjauhkan diri dari kkultur penjajah. Bagi kalangan pesantren waktu itu, penolakan kkultur penjajah juga merupakan upaya menjauhi dan sekligus melawan penjajah.
5.Implementasi Kekinian
Secara faktual, memang dirasa perlu untuk melihat kembali konsep dan strategi pesantren dalam bela negara. Hal ini seiring dengan perubahan dan perkembangan situasi yang dihadapi. Penjajah misalnya bukan lagi berbentuk fisik, musuh negara tidak lagi berujud konkrit. Begitu juga negara. Pada masa lalu, para pejuang hanya melihat negara dari sisi domisili atau tempat tinggal. Selain sebetulnya secara psikologis negara dimaknai secara sempit, yaitu tempat kelahiran atau tempat tinggal, mereka belum melihat negara sebagai kesatuan organis yang didalammya terdapat komitmen, kebersamaan, iikatan-ikatan, aturan-aturan dan lainnya. Padahal, hal-hal demikian sekarang telah dirumuskan lebih jelas dari masa itu.
Berdasarkan itu, perlu dilihat kembali konsep-konsep menganai pluralisme, jihad dan hal-hal lain yang berimplikasi pada konsep Bhineka Tungggal Ika dan Bela Negara. Berikutnya, maka tentu strategi pencapaiannya, termasuk strategi pendidikan yang diterapkan juga pperlu dikaji lebih lanjut, agar partisipasinya menjadi lebih kena dan tepat.
B. Ikhtitam
Memang ada pekerjaan rumah yang ttidak ringan untuk pesantren agar perannya dalam membangun dan membela nnegara lebih efektif dan strategis di masa datang. Termasuk dalam PR itu ialah meyakinkan bebagai fihak bahwa disamping memang selama ini ada juga kekurangan-kekurangannya, pesantren memiliki banyak kelebihan yang dapat didayagunakan untuk membangun negara.
Wallahu A’lam bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar