السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر . الله اكبر . الله اكبر.
الله اكبر كلّما هلّ هلال وابدر. الله اكبر كلّما صام صائم وأفطر. وكلّما أطعام القانع المعتر. الله اكبر الله اكـــــبر الله اكـــــبر . لا اله الا الله والله اكـــــبر و لله الحمد.
الحمد لله الّذى سهّل للعباد طر يق العبادة ويسّر .ووفّاهم اجور أعمالهم من خز ائن جوده الّتى لا تحصر. وجعل لهم يوم عيد يعود عليهم فى كلّ سنة ويتكرّ ر.
أحمده سبحانه وهو المستحقّ لأن يُحمد ويُشكر. واشكره على نعم لا تعدّ ولا تحصر
واشهد أن لا اله إ لاّ الله وحده لا شر يك له الملك العظيم ا لأكبر. واشهد أنّ مـحــمّدا عبده ورسوله الشـّافع فى المخشـر. اللّهـمّ صلّ وسـلّم على سيدنا محمّد وعلى اله واصحابه الّذين اذهب عنهم الرّجس وطهّر .
امّا بعد , فيا ا يّهاالنّاس إتّقوا الله، و قال تبارك وتعالى يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ ( الحشر: 18 )
Ma’asiral ‘ied, Hadaniyallah wa Iyyakum
Baru saja kita bersama melaksanakan sholat ‘Iedul Fitri, ungkapan rasa syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala bahwa kita telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban kita, perintah Allah, melaksanakan shaum ramadlan, satu bulan penuh. Sepanjang shalat kita berdo’a dan meyakini bahwa ibadah puasa kita dan amalan-amalan yang kita lakukan bersamanya diterima Allah Subhanahu wa ta’ala.
Puasa sebagai ibadah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya, yaitu memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi ilahi dan dimensi insani. Dimensi Ilahi dari puasa antara lain berupa pengakuan total terhadap kebesaran dan keagungan Allah serta kepasrahan mutlak kepadaNya, bahwa hidup ini berasal dari Sang Khaliq dan karenanya semuanya harus dikembalikan pada kehendak dan aturaNya.
Dengan berpuasa kita menyatakan bahwa makanan, minuman, dan kepuasan seks bukanlah kekuatan yang sesungguhnya, atau pemberi kekuatan pada kehidupan kita. Kekuatan hidup yang sesungguhnya hanya bersumber dari Yang Maha Pencipta. La khaola wa laa quwwata Illa Billah. Pernyataan itu diungkap dengan kemauan merasakaan dan membuktikan, bahwa segala aktivitas kehidupan kita sepanjang hari dapat dilakuak oleh kita dan setiap manusia beriman, sekalipun tidak makan dan minum selama satu hari penuh.
Kepasrahan mutlak kepada Sang Khaliq kita nyatakan dengan melepas apa yang telah diyakini menjadi hak kita, bahkan hak milik kita. Makanan, minuman dan kesempatan lainnya, yang telah kita peroleh dengan usaha kita yang halal dan telah kita miliki kita relakan untuk tidak kita nikmati, dikembailkan kepada pemilik yang sesungguhnya, selama satu hari penuh. Bahkan diri kita yang selama ini merasa kita miliki dipasrahkan juga kepada Allah dengan membiarkannya tidak tersentuh makanan dan minuman. Dengan itu kita menyatakan innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Semuanya bersal dari Allah dan kepadaNya jua semuanya akan kembali.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Jama’ah Ied yang berbahagia,
Dimensi ilahiah puasa yang diantaranya terpapar di atas seharusnya berimbas kepada dimensi insaniahnya. Keharusan mengaitkan dua dimensi itu ditandai oleh dua hal. Pertama, kewajiban membayar zakat fitra, Kedua, disunnatkannya sholat ‘Iedul Fitri seperti yang baru saja kita laksanakan.
Zakat fitra yang diwajibkan kepada kita, memang terkaitkan erat dengan dimensi ilahiyah puasa la haula wala quwwata illa billah dan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Zakat fitra adalah zakat yang harus dikeluarkan bagi manusia muslim yang berjumpa dengan (malam terakhir) bulan puasa, dan diberikan kepada mustahiq, orang-orang yang berhak. Jika dikaitkan dengan dimensi ilahiah puasa la haula wala quwwata illa billah, maka pemberian zakat menjelang shalat ‘ied itu hanyalah sebuah perlambang. Esensinya adalah agar sepanjang hayat, kita sebagai muslim selalu peka, care (pedul)i, terhadap kaum lemah dan du’afa, dengan segala permasalahannya, dengan tidak melihat hal-hal lain di luar kemanusiaan mereka, seperti ras, bahasa, agama. Dengan itu kita terhindar dan menghindarkan diri untuk menggunakan daya (haula) dan kekuatan (quwwata) kita, yang sesungguhnya dari Allah, untuk memperdayai, menganiaya, mendzalimi, dan mengeksploitasi orang lain yang daya dan kekuatannya kita anggap lemah, berada di bawah kita.
Zakat fitra ditakar dengan ukuran kebutuhan makan kita satu hari, disepakati satu setengah kilogram beras. Jika dihubungkan dengan dimensih ilahiyah puasa yang kedua, yaitu inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka niscaya dua setengah kilogram tersebut hanyalah sebuah perlambang. Esensi yang lebih dalam ialah pemberian itu tidak berjumlah dan tidak berbatas, tidak hanya beras untuk makan, tetapi pemberian itu haruslah berujud kesediaaan dan kesiapan untuk melepas apapun yang kita miliki demi kehidupan manusia yang lebih baik. Jika hendak dibuat tahapan, maka gambarannya adalah sebagai berikut : Pertama, dengan niatan baik, kita harus senantiasa berusaha guna memperoleh ilmu, harta, tahta dan manfaat bagi kehidupan kita. Kedua, menyatu dengan yang pertama, usaha kita itu harus dijauhkan atau bahkan bersih dan dibersihkan dari hal-hal yang menimbulkan kerugian pada orang lain, baik besar maupun kecil, baik langsung maupun tidak langsung. Ketiga, semua yang diperoleh itu kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara yang benar untuk memperkuat dan mempertegas penghindaran dari kerugian bagi apa dan siapaapun di sekiltar kita. Keempat, secara proaktif pemanfaatan tersebut harus bisa menyelamatkan dan membahagiakan orang lain dan siapapun di sekitar kita.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Sidang ‘Ied yang dimuliakan Allah,
Perspektif seperti di atas, dalam skala kecil sudah kita latih sendiri dan telah sukses kita laksanakan selama kita melakukan ibadah puasa sebulan penuh. Amanah kita berikutnya, adalah bagaimana kehidupan seperti itu dapat kita perteguh dalam spektrum yang lebih luas, dalam kehidupan keseharian kita.
‘Idul Fitri, Hari Raya Berbuka, dengan ritual shalat ‘ied yang baru saja kita lakukan, sebetulnya adalah ungkapan rasa kemenangan kita. Kita merayakannya dengan “berbuka” karena kita telah ber “puasa” dan selamat dalam menunaikannya. ‘Idul Fitri juga sering dianggap perayaan kemenangan karena kita telah berhasil menang dalam berperang melawi “hawa nafsu” kita, sehingga kita kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Dalam sebuah hadits memang disabdakan , “man shama ramadlona imaanan wa ichtishaban gufira lahu ma taqaddama min dzambih” dalam hadits lain diungkapkan “ka yaomi waladathu ummuh” (Barang siapa menunaikan ibadah puasa di bulan romadlan denga rasa iman (yang kuat) dan kesadaran (yang tinggi), akan diampuni segala dosanya (sehingga bersih kembali) seperti ketika baru dilahirkan oleh ibunya).
Bayi yang baru dilahirkan digambarkan sebagai manusia yang fitri, bukan hanya bersih dari dosa, melainkan potensi yang dimilikinya adalah potensi otentik, yaitu potensi untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, yang sering dikenal dengan fitrah manusia yang sejati. Pada bayi diyakini tidak dijumpai rasa permusuhan, keserakahan, dendam dan hal-hal yang merusak lainnya. Karena itu, ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa denga penuh imaanan wa ichtisaaban, maka diyakini kita telah kembali seperti bayi, menjadi fitri, kembali ke fitrah kita sebagai manusia. Karena itu kita rayakan. Dari situ maka bersalaman, bermaaf-ma’afan, silaturrahmi, dan ungkapan minal a’idiin al faiziin betul-betul merupakan ekspresi dari fitrah kita yang sebenar-benarnya, tulus dan mengalir tanpa pamrih.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد
Muslimin yang berbahagia,
Dengan mengkoneksikan antara dimensi insani dengan dimensi ilahiyah pada ibadah puasa itu, yang kita harapkan untuk di raih bukan hanya keramaian di tingkat perlambang, atau di tingkat fisik dan formal, yang efeknya hanya sesaat. Yang ingin kita raih ialah keramaian di tingkat substansial dan mental yang lebih abadi dan memiliki dampak pada realitas kehidupan dan masa depan kita bersama. Dengan selesainya ibadah puasa ini yang ingin kita temuai adalah perubahan pada diri kita, dimana kita menjadi manusia yang autentik, mandiri, percaya diri, rela berkorban, suka memberi, menghargai orang lain, dan memafkan, daripada sebaliknya.
Bangsa kita ini sedang berjuang untuk menjadi bangsa yang sejajar, atau bahkan unggul dari bangsa-bangsa lain. Dalam perngkat-peringkat “kebaikan” dunia, negara kita berada pada peringkat yang belum menggembirakan. Bahkan dalam beberapa hal sangat memprihatinkan. Semangat berpuasa dengan ‘iedul fitri kita, diyakini akan dapat menghasilkan karakter manusia Indonesia yang positif dan berguna bagi pembangunan bangsa. Bangsa ini memang membutuhkan manusia yang mau berkorban, suka memberi, jauh dari serakah dan korupsi; manusia yang welas asih, jauh dari sikap memeras dan premanisme; manusia yang proaktif memberi maaf, jauh dari sikap bengis dan balas dendam, sehalus apapun karakter-karakter jelek itu ditampilkan.
بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ ، وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ . وَتَقَبَّلَ
مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Khotbah II
الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر . الله اكبر . الله اكبر الله اكبر . الله اكبر.
اكبر و لله الحمد لا اله إ لاّ الله و الله
الحمد لله وسعت رحمته وتعالت قدرته و تجلت عظمته أشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلوات الله
وسلامه عليك يا رسول الله وإنك لعلى خلق عظيم بلغت الرسالة وأديت
الأمانة ونصحت الأمة وجاهدت في سبيل الله حق الجهاد حتى أتاك
اليقين وعلى آلك وأصحابك ومن اتبع سنتك واهتدى بهداك وسار على
نهجك إلى يوم الدين
. أما بعد
وقال تبارك وتعالى اتقوا الله حق تقاتع ولا تمو تن الا وآنتم مسلمون ،
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ ( الحشر: 18 )
Ma’asyiral ‘Ied Hadaniyallahu wa Iyyakum
Puasa yang kita lakukan salah satunya memiliki fungsi untuk instrospeksi diri. Hasil yang diperoleh adalah penguatan “konsep diri” kita. Konsep diri kita sebagai muslim semestinya berangkat dari fitrah kita sebagai manusia, berangkat dari semangat la haula walaa quwwata illa billah dan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dengan landasan seperti itu, maka niscaya kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai diri ( “self image”) kita. Kita akan menggambarkan diri kita sebagai khalifah dan ‘abd atau hamba Allah sekaligus. Tugasnya adalah mengabdi dan melayani.
Kikta sebagai khalifah dan ‘bd ialah kita yang mampu menebar kasih sayang kepada semua; kita yang mampu memekarkan kebahagiaan sesama; kita yang mampu mempersembahkan prestasi berharga; dan kita yang mampu menebarkan rahmat dan kedamaian bagi ummat manusia. Hanya kita seperti itulah yang disebut kita yang muttaqien, kita yang berhak dirayakan hari ini sebagai lambang kemenangan. Taqbbalallahu minna wa minkum, minal ‘aidiin al faiziin.
Dengan itu, maka jadilah ‘idul fitri ini sebagai hari raya manusia dan kemanusiaan. Hari kita menjadi diri sendiri, dan sekaligus hari menghidupkan potensi kemanusiaan kita.
Marilah kita akhiri khotbah ini dengan bersama-sama memanjatkan do’a dengan penuh khusyuk:
َاللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، .وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، فى العالمين إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مجيب الدعوات ، بِرَحْمِتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلِّ الشِرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَك َأَعْدَاءَ الدِيْنِ
اَلَّلهُمَّ أَعِنَّا عَلىَ ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَ قِيَامَنَا وَ قِرَاءَتَنَا وَ زَكَاتَنَا وَ عِبَادَتَنَا كُلَّهاَ . اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ
وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قَنَا عَذاَبَ النَارِ
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Tidak ada komentar:
Posting Komentar