Minggu, 28 Agustus 2011

Idul fitri- Hari Manusia dan Kemanusiaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر . الله اكبر . الله اكبر.
الله اكبر كلّما هلّ هلال وابدر. الله اكبر كلّما صام صائم وأفطر. وكلّما أطعام القانع المعتر. الله اكبر الله اكـــــبر الله اكـــــبر . لا اله الا الله والله اكـــــبر و لله الحمد.
الحمد لله الّذى سهّل للعباد طر يق العبادة ويسّر .ووفّاهم اجور أعمالهم من خز ائن جوده الّتى لا تحصر. وجعل لهم يوم عيد يعود عليهم فى كلّ سنة ويتكرّ ر.
أحمده سبحانه وهو المستحقّ لأن يُحمد ويُشكر. واشكره على نعم لا تعدّ ولا تحصر
واشهد أن لا اله إ لاّ الله وحده لا شر يك له الملك العظيم ا لأكبر. واشهد أنّ مـحــمّدا عبده ورسوله الشـّافع فى المخشـر. اللّهـمّ صلّ وسـلّم على سيدنا محمّد وعلى اله واصحابه الّذين اذهب عنهم الرّجس وطهّر .
امّا بعد , فيا ا يّهاالنّاس إتّقوا الله، و قال تبارك وتعالى يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ ( الحشر: 18 )

Ma’asiral ‘ied, Hadaniyallah wa Iyyakum

Baru saja kita bersama melaksanakan sholat ‘Iedul Fitri, ungkapan rasa syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala bahwa kita telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban kita, perintah Allah, melaksanakan shaum ramadlan, satu bulan penuh. Sepanjang shalat kita berdo’a dan meyakini bahwa ibadah puasa kita dan amalan-amalan yang kita lakukan bersamanya diterima Allah Subhanahu wa ta’ala.

Puasa sebagai ibadah, sama seperti ibadah-ibadah lainnya, yaitu memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi ilahi dan dimensi insani. Dimensi Ilahi dari puasa antara lain berupa pengakuan total terhadap kebesaran dan keagungan Allah serta kepasrahan mutlak kepadaNya, bahwa hidup ini berasal dari Sang Khaliq dan karenanya semuanya harus dikembalikan pada kehendak dan aturaNya.

Dengan berpuasa kita menyatakan bahwa makanan, minuman, dan kepuasan seks bukanlah kekuatan yang sesungguhnya, atau pemberi kekuatan pada kehidupan kita. Kekuatan hidup yang sesungguhnya hanya bersumber dari Yang Maha Pencipta. La khaola wa laa quwwata Illa Billah. Pernyataan itu diungkap dengan kemauan merasakaan dan membuktikan, bahwa segala aktivitas kehidupan kita sepanjang hari dapat dilakuak oleh kita dan setiap manusia beriman, sekalipun tidak makan dan minum selama satu hari penuh.

Kepasrahan mutlak kepada Sang Khaliq kita nyatakan dengan melepas apa yang telah diyakini menjadi hak kita, bahkan hak milik kita. Makanan, minuman dan kesempatan lainnya, yang telah kita peroleh dengan usaha kita yang halal dan telah kita miliki kita relakan untuk tidak kita nikmati, dikembailkan kepada pemilik yang sesungguhnya, selama satu hari penuh. Bahkan diri kita yang selama ini merasa kita miliki dipasrahkan juga kepada Allah dengan membiarkannya tidak tersentuh makanan dan minuman. Dengan itu kita menyatakan innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Semuanya bersal dari Allah dan kepadaNya jua semuanya akan kembali.

الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Jama’ah Ied yang berbahagia,

Dimensi ilahiah puasa yang diantaranya terpapar di atas seharusnya berimbas kepada dimensi insaniahnya. Keharusan mengaitkan dua dimensi itu ditandai oleh dua hal. Pertama, kewajiban membayar zakat fitra, Kedua, disunnatkannya sholat ‘Iedul Fitri seperti yang baru saja kita laksanakan.

Zakat fitra yang diwajibkan kepada kita, memang terkaitkan erat dengan dimensi ilahiyah puasa la haula wala quwwata illa billah dan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Zakat fitra adalah zakat yang harus dikeluarkan bagi manusia muslim yang berjumpa dengan (malam terakhir) bulan puasa, dan diberikan kepada mustahiq, orang-orang yang berhak. Jika dikaitkan dengan dimensi ilahiah puasa la haula wala quwwata illa billah, maka pemberian zakat menjelang shalat ‘ied itu hanyalah sebuah perlambang. Esensinya adalah agar sepanjang hayat, kita sebagai muslim selalu peka, care (pedul)i, terhadap kaum lemah dan du’afa, dengan segala permasalahannya, dengan tidak melihat hal-hal lain di luar kemanusiaan mereka, seperti ras, bahasa, agama. Dengan itu kita terhindar dan menghindarkan diri untuk menggunakan daya (haula) dan kekuatan (quwwata) kita, yang sesungguhnya dari Allah, untuk memperdayai, menganiaya, mendzalimi, dan mengeksploitasi orang lain yang daya dan kekuatannya kita anggap lemah, berada di bawah kita.

Zakat fitra ditakar dengan ukuran kebutuhan makan kita satu hari, disepakati satu setengah kilogram beras. Jika dihubungkan dengan dimensih ilahiyah puasa yang kedua, yaitu inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka niscaya dua setengah kilogram tersebut hanyalah sebuah perlambang. Esensi yang lebih dalam ialah pemberian itu tidak berjumlah dan tidak berbatas, tidak hanya beras untuk makan, tetapi pemberian itu haruslah berujud kesediaaan dan kesiapan untuk melepas apapun yang kita miliki demi kehidupan manusia yang lebih baik. Jika hendak dibuat tahapan, maka gambarannya adalah sebagai berikut : Pertama, dengan niatan baik, kita harus senantiasa berusaha guna memperoleh ilmu, harta, tahta dan manfaat bagi kehidupan kita. Kedua, menyatu dengan yang pertama, usaha kita itu harus dijauhkan atau bahkan bersih dan dibersihkan dari hal-hal yang menimbulkan kerugian pada orang lain, baik besar maupun kecil, baik langsung maupun tidak langsung. Ketiga, semua yang diperoleh itu kemudian dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan cara yang benar untuk memperkuat dan mempertegas penghindaran dari kerugian bagi apa dan siapaapun di sekiltar kita. Keempat, secara proaktif pemanfaatan tersebut harus bisa menyelamatkan dan membahagiakan orang lain dan siapapun di sekitar kita.

الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Sidang ‘Ied yang dimuliakan Allah,

Perspektif seperti di atas, dalam skala kecil sudah kita latih sendiri dan telah sukses kita laksanakan selama kita melakukan ibadah puasa sebulan penuh. Amanah kita berikutnya, adalah bagaimana kehidupan seperti itu dapat kita perteguh dalam spektrum yang lebih luas, dalam kehidupan keseharian kita.
‘Idul Fitri, Hari Raya Berbuka, dengan ritual shalat ‘ied yang baru saja kita lakukan, sebetulnya adalah ungkapan rasa kemenangan kita. Kita merayakannya dengan “berbuka” karena kita telah ber “puasa” dan selamat dalam menunaikannya. ‘Idul Fitri juga sering dianggap perayaan kemenangan karena kita telah berhasil menang dalam berperang melawi “hawa nafsu” kita, sehingga kita kembali kepada fitrah kita sebagai manusia. Dalam sebuah hadits memang disabdakan , “man shama ramadlona imaanan wa ichtishaban gufira lahu ma taqaddama min dzambih” dalam hadits lain diungkapkan “ka yaomi waladathu ummuh” (Barang siapa menunaikan ibadah puasa di bulan romadlan denga rasa iman (yang kuat) dan kesadaran (yang tinggi), akan diampuni segala dosanya (sehingga bersih kembali) seperti ketika baru dilahirkan oleh ibunya).

Bayi yang baru dilahirkan digambarkan sebagai manusia yang fitri, bukan hanya bersih dari dosa, melainkan potensi yang dimilikinya adalah potensi otentik, yaitu potensi untuk berbuat baik dan mencintai kebaikan, yang sering dikenal dengan fitrah manusia yang sejati. Pada bayi diyakini tidak dijumpai rasa permusuhan, keserakahan, dendam dan hal-hal yang merusak lainnya. Karena itu, ketika kita selesai menunaikan ibadah puasa denga penuh imaanan wa ichtisaaban, maka diyakini kita telah kembali seperti bayi, menjadi fitri, kembali ke fitrah kita sebagai manusia. Karena itu kita rayakan. Dari situ maka bersalaman, bermaaf-ma’afan, silaturrahmi, dan ungkapan minal a’idiin al faiziin betul-betul merupakan ekspresi dari fitrah kita yang sebenar-benarnya, tulus dan mengalir tanpa pamrih.

الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Muslimin yang berbahagia,

Dengan mengkoneksikan antara dimensi insani dengan dimensi ilahiyah pada ibadah puasa itu, yang kita harapkan untuk di raih bukan hanya keramaian di tingkat perlambang, atau di tingkat fisik dan formal, yang efeknya hanya sesaat. Yang ingin kita raih ialah keramaian di tingkat substansial dan mental yang lebih abadi dan memiliki dampak pada realitas kehidupan dan masa depan kita bersama. Dengan selesainya ibadah puasa ini yang ingin kita temuai adalah perubahan pada diri kita, dimana kita menjadi manusia yang autentik, mandiri, percaya diri, rela berkorban, suka memberi, menghargai orang lain, dan memafkan, daripada sebaliknya.

Bangsa kita ini sedang berjuang untuk menjadi bangsa yang sejajar, atau bahkan unggul dari bangsa-bangsa lain. Dalam perngkat-peringkat “kebaikan” dunia, negara kita berada pada peringkat yang belum menggembirakan. Bahkan dalam beberapa hal sangat memprihatinkan. Semangat berpuasa dengan ‘iedul fitri kita, diyakini akan dapat menghasilkan karakter manusia Indonesia yang positif dan berguna bagi pembangunan bangsa. Bangsa ini memang membutuhkan manusia yang mau berkorban, suka memberi, jauh dari serakah dan korupsi; manusia yang welas asih, jauh dari sikap memeras dan premanisme; manusia yang proaktif memberi maaf, jauh dari sikap bengis dan balas dendam, sehalus apapun karakter-karakter jelek itu ditampilkan.
بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ ، وَنَفَعَنِى وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ  الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ . وَتَقَبَّلَ
مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ


Khotbah II


الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر. الله اكبر . الله اكبر . الله اكبر الله اكبر . الله اكبر.
اكبر و لله الحمد لا اله إ لاّ الله و الله
الحمد لله وسعت رحمته وتعالت قدرته و تجلت عظمته أشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلوات الله
وسلامه عليك يا رسول الله وإنك لعلى خلق عظيم بلغت الرسالة وأديت
الأمانة ونصحت الأمة وجاهدت في سبيل الله حق الجهاد حتى أتاك
اليقين وعلى آلك وأصحابك ومن اتبع سنتك واهتدى بهداك وسار على
نهجك إلى يوم الدين
. أما بعد
وقال تبارك وتعالى اتقوا الله حق تقاتع ولا تمو تن الا وآنتم مسلمون ،
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ ( الحشر: 18 )

Ma’asyiral ‘Ied Hadaniyallahu wa Iyyakum

Puasa yang kita lakukan salah satunya memiliki fungsi untuk instrospeksi diri. Hasil yang diperoleh adalah penguatan “konsep diri” kita. Konsep diri kita sebagai muslim semestinya berangkat dari fitrah kita sebagai manusia, berangkat dari semangat la haula walaa quwwata illa billah dan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dengan landasan seperti itu, maka niscaya kita mempunyai gambaran yang jelas mengenai diri ( “self image”) kita. Kita akan menggambarkan diri kita sebagai khalifah dan ‘abd atau hamba Allah sekaligus. Tugasnya adalah mengabdi dan melayani.

Kikta sebagai khalifah dan ‘bd ialah kita yang mampu menebar kasih sayang kepada semua; kita yang mampu memekarkan kebahagiaan sesama; kita yang mampu mempersembahkan prestasi berharga; dan kita yang mampu menebarkan rahmat dan kedamaian bagi ummat manusia. Hanya kita seperti itulah yang disebut kita yang muttaqien, kita yang berhak dirayakan hari ini sebagai lambang kemenangan. Taqbbalallahu minna wa minkum, minal ‘aidiin al faiziin.

Dengan itu, maka jadilah ‘idul fitri ini sebagai hari raya manusia dan kemanusiaan. Hari kita menjadi diri sendiri, dan sekaligus hari menghidupkan potensi kemanusiaan kita.
Marilah kita akhiri khotbah ini dengan bersama-sama memanjatkan do’a dengan penuh khusyuk:

َاللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، .وَبَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سيدنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سيدنا إِبْرَاهِيْمَ، فى العالمين إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مجيب الدعوات ، بِرَحْمِتِكَ ياَ أَرْحَمَ الرَاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلِّ الشِرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَك َأَعْدَاءَ الدِيْنِ
اَلَّلهُمَّ أَعِنَّا عَلىَ ذِكْرِكَ وَ شُكْرِكَ وَ حُسْنِ عِبَادَتِكَ
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَ قِيَامَنَا وَ قِرَاءَتَنَا وَ زَكَاتَنَا وَ عِبَادَتَنَا كُلَّهاَ . اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ يَا كَرِيْمُ
وَ تُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قَنَا عَذاَبَ النَارِ
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته



MASYARAKAT BHINEKA TUNGGA IKA: BELANEGARA, PENGALAMAN PESANTREN DAN IMPLEMENTASI KEKINIAN

A. Iftitach

Pesantren merupakan institusi strategis. Sekalipun sering dikelompokkan sebagai institusi pendidikan, pesantren sebetulnya lebih dari sekedar lembaga pendidikan. Sistem kehidupan yang dibina di dalamnya, dan karakter jalinan antar pesantren, dan bahkan variasi kepedulian ppesantren terhadap aspek-aspek kehidupan dalam masyarakatnya, menjadikan pesantren sebagai institusi yang unik yang dapat memberikan konstribusi dan mempengaruhi kehidupan masyarakat atau bahkan negara.

Posisinya yang amat strategis tersebut bukan tidak disadari oleh banyak kalangan, Tetapi, sebagian yang tidak berpandangan positif justru sering melihat posisi strategisnya itu sebagai ancaman, dan karenanya dicurigai dan bahkan dimusuhi dan dikucilkan. Realitas seperti itu tidak sulit untuk dicarikan catatannya dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Namun demikian, pengalaman yang seperti itu seringkali dijadikan pelajaran oleh kalanagn pesantren sendiri, sehingga menjadikan pesantren semakin matang dan menjadikan perannya dalam masyarakat semakin mantap. Reaksi pesantren dalam menghadapi tantangan dan “tantangan”nya memang tidak selalu sama, baik dari sisi kepekaan maupun dari sisi kemampuannya. Ragam dinamika pesantren yang seperti itu pada sisi tertentu ternyata merupakan kekayaan tersendiri bagi dunia pesantren. Ini adalah faktor strategis lain dari pesantren, sehingga pesantren (kebanyakannya) tetap survive. Sekalipun demikian, memang pula diakui bahwa penempatannya yang di “deskreditkan” juga telah menjadikan beberapa pesntren dalam posisi melemah.

Terakhir pesantren menghadapi “tantangan” terorisme. Bersamaan dengan itu, bangsa kita juga sedang mengkhawatirkan kelanjutan NKRI. Bisa jadi, kekhawatiran itu timbul karena dikaitkan dengan fenomena terorisme dan kekerasan-kekerasan lainnya. Dalam konteks ini, maka secara tidak langsung pesantren juga dikaitkan dengan pertanyaan bela negara dalam ranggka NKRI itu. Sebagai upaya preventif di satu sisi dan upaya memperkuat diposisi lain, maka sebetulnya pertanyaan kepada pesantren tentang kesiapan secara ajaran dan fisik terhadap bela negara untuk mempertahankan NKRI menjadi sesuatu yang harus dipandang positif.



1.Pluralisme dan Bhineka Tunggal Ika



Pluralisme dalam penggertian faham bahwa secara faktual bahwa manusia memang unik dan berbeda antara satu dengan yang lainnya, bukan hanya dalam kategori-kategori besar seperti rasnya, bahasanya, sukunya, tempat tinggalnya, agama atau keyakinannya, atau latar belakang lainnya, melainkan juga pada satuan-satuan yang lebih kecil, terkait antar individu saja, merupakan sesuatu yang secara alamiah adalah niscaya, tidak mungkin ditolak. Penolakan terhadap realitas justru tidak realistis dan harus ditolak.

Dari sisi fisik atau performance superfisialnya, al-Qur’an menggambarkan ide dan konsep pluralisme. Bahasa yang dipakai dan Kisah-kisah yang diangkat dalam al-Quran, dengan jelas menggambarkan semangat pluralisme.

Dari sisi jaran, Islam adalah ajaran yang rasional ilmiah. Karena itu, apa yang ilmiah dan rasional musti merupakan bagian dari ajaran Islam. Al-Qur’an senyatanya telah mengakui realitas seperti itu dan menegaskannya untuk dijadikan pijakan dalam kehidupan manusia. Diantara pernyataan al-Qur’an yang amat jelas misalnya al-Hujurat ayat 13. Begitu juga ayat-ayat Makkiyah yang memuat ajaran dan nilai universal yang menembus batas ras dan agama. Pernyatan al-Qur’an bahwa Rasul di utus semata-mata uuntuk menyebarkan Rahmat bagi alam semesta, adalah pernyataan yang amat tegas bahwa pamrih utama ajaran Islam adalah kedamaian alam semesta. Lebih lagi bahwa ajaran itu telah diimplementasikan dalam kehidupan Rasulullah di Madinah, yang kemudian kita kenal dengan kehhidupan masyarakat madany (Civil Sosiety)

Jika dicoba dihubungkan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika, maka kelihatannya Bhineka Tunggal Ika adalah pluralisme sebatas negara Indonesia.



2. Jihad dan Belanegara



Konsep jihad dalam islam sering disalahfahami. Bagi fihak lain konsep ini sering ditangkap sebagai konsep genocide atau pemusnahan bagi mereka yang berbeda dengan (kebenaran, aqidah) Islam. Karena itu, kata jihad sering menjadi momok bago orang-orang yang tidak seiman dengan Islam. Maka lalu timbul Islamophobia, rasa takut dan anti terhadap Islam. Bagi kalangan muslim sendiri, sebagian mempersempit pengertian jihad dengan usaha menyingkirkan setiap yang berbeda dengan “diri”nya, dengan faham dan kkeyakinannya, bila perlu dengan kekerasan. Pengertian seperti inilah yang menyuburkan kesalahfahaman orang lain. Apalagi ada kalanya konsep seperti itu menjelma dalam tinndakan.

Islam telah memperkenalkan jihad dengan konsep yang unuversal. Jihad memang mengandung pengertian perlawanan. Namun perlawanan yang diusungnya adalah perlawanan terhadap nilai-nilai yang merugikan kehidupan manusia, perlawanan terhadap setiap yang tidak humanis. Seperti ketidak adilan, penganiayaan, perampasan hak dst, yang sifatnya universal. Karena itu, Islam telah menegaskan bahwa jihad yang utama adalah jihad terhadap tirani diri sendiri (jihad al-nafs). Dengan demikian, maka jihad dalam Islam tidak bertentangan dengan tujuan keberadaan Islam sendiri , yaitu rahmatan li al-alamiin. Dari itu, maka setiap aktivitas jihad tidak boleh melukai orang lain, termasuk diri sendiri, sebab yang dilawan adalah nilai, bukan orangnya atau fisiknya.

Belanegara diperlukan dalam hal menjaga dan mempertahankan. Mempertahankan apabila terdapat ancaman untuk mengambil dan merampas wilayah atau kekuasaan atau kekayaan negara. Daalam pengertian yang terakhir ini, maka jihad memang diperlukan, karena untuk melawan nilai-nilai yang tidak humanis tadi. Deangan demikian, belanegara adalah jihad sebatas kepentingan senegara.



3. Bhineka Tunggal Ika di Pesantren



Di pesantren Bhineka Tunggal Ika diajarkan di dalam semangat pluralisme. Pluralisme sendiri diajarkan di pesantren dengan berbagai cara. Pertama, melalui materi-materi yang diajarkan. Pelajaran Tafsir, Hadits, Sirah dan Akhlaq yang diajarkan di pesantren umumnya berisi materi-materi yang bersifat praktis dan menghadapi kehidupan nyata. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan biasanya kitab muchtashar dan juga syarah yang semuaanya dikarang oleh para praktisinya, karena itu materinya bersifat praktis, atau terpilih dari materi-matteri yang dekat dengan realitas kehidupan. Dalam kepraktisan itu, semuanya diarahkan pada realitas kehidupan yang plural, atau bernuansa Bhineka Tunggal Ika. Sekalipun Bhineka Tunggal Ikha tidak dikatakan secara langsung, tetapi para guru dan kyai yang menjelaskannya, umumnya menyesuaikan dengan konteks lokal. Jadi pluralismenya bernuansa Bhineka Tunggal Ika. Kedua, melalui keteladanan. Para kyai yang umumnya menjdi teladan dan dijadikan teladan oleh para santrinya menunjukkan sikap uniiversal dalam kehidupan. Di kompleks pesantren siapa saja bisa datang ke kyai dan itu diterima dengan baik oleh sang kyai. Kyai juga biasa dengan senang hati menghadiri undangan dari siapa saja. Bahkan tidak jarang dalam kehadirannya itu mengajak santrinya.

Bagi orang-orang yang tidak mengenal kkultur pesantren, mungkin meragukan kesediaan kyai untuk menerima tamu dari orang-orang yang tidak seagama. Namun ini adalah realitas, karena kyai selalu meletakkan dirinya sebagai pengayom ummat. Ketiga, pengalaman langsung. Agak jarang, atau mungkin tidak ada pesantren yang hanya menampung santri yang hanya berasal dari satu daerah atau satu bahasa atau satu adat istiadat. Pesantren pada umumnya berisi santri-santtri yang lintas kultur dan plural. Sesuai dengan sistemnya mereka tingggal dalam satu komplek, yang disebut pondok dan bergaul sesamanya. Tradisi ini pasti akan menimbulkan bekas yang dalam, dalam artian salaing memahami dan saling mengerti diantara mereka, yang terus dijadikan pengalaman dalam kehidupan mereka setelah keluar dari pesantren.

Jadi secara umum pesantren mengenal ajaran dan mengimplementasikan kehidupan pluralisme dalam prakteknya. Dan itulah pengetahuan dan prakttek Bhineka Tunggal Ika yang terimplementasi dalam kehidupan pesantren.



4. Bela Negara dalam Sejarah Pesantren



Bela Negara dipesantren difahami sebagai kesadaran, sikap dan tindakan untuk memajukan dan mempertahan negara dalam perspektif mengembangkan kesejahteraan, menegakkan keadilan dan nilai-nilai universal lainnya yang terkandung dalam semangat jihad. Itulah sebabnya dikalangan pesanttren bela negara tidak semata ketundukan dalam mewujudkan tujuan negara, namun juga ttetap kritis terhadapnya.

Dalam sejarahnya, pesantren memang telah mengimplementasikan semangat bela negara yang demikian itu. Pada masa pennjajahan pesantren adalah pusat konsentrasi para pejuang dalam melawan penjajahan, bahkan di luar komando formal kekuasaan negara. Mereka sendiri yang mengambil inisiatif membela negara. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya para kyai dan santri yang melakukan perlawanan terhadap penjajah dan bahkan gugur di medan pembelaan tersebut. Akan tetapi, sayangnya, karena pesantren adalah masyarakat, bukan penguasa negara, rupanya perjuangan para kyai dan santri tersebut sedikit sekali, untuk mengatakan tidak ada, yang dicatat dalam sejarah. Kalaupun ada, catatan sejarah kita menempatkan perjuangan para santri dan kiyai itu dalam istilah umum yang mengkaburkan, yaitu “perlawanan rakyat”, menghindari penyebutan kyai atau pesanttren.

Jika ditelusur lebih jauh, lokasi pesantren-pesantren yang ada, yang umumnya di daerah yang terpencil, sulit dijangkau, pada sisi lain adalah tindakan defensif dan sekaligus strategis dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selain dengan pemilihan lokasi, ppesantren juga melakukan perlawana kultural misalnya dengan menjauhkan diri dari kkultur penjajah. Bagi kalangan pesantren waktu itu, penolakan kkultur penjajah juga merupakan upaya menjauhi dan sekligus melawan penjajah.



5.Implementasi Kekinian



Secara faktual, memang dirasa perlu untuk melihat kembali konsep dan strategi pesantren dalam bela negara. Hal ini seiring dengan perubahan dan perkembangan situasi yang dihadapi. Penjajah misalnya bukan lagi berbentuk fisik, musuh negara tidak lagi berujud konkrit. Begitu juga negara. Pada masa lalu, para pejuang hanya melihat negara dari sisi domisili atau tempat tinggal. Selain sebetulnya secara psikologis negara dimaknai secara sempit, yaitu tempat kelahiran atau tempat tinggal, mereka belum melihat negara sebagai kesatuan organis yang didalammya terdapat komitmen, kebersamaan, iikatan-ikatan, aturan-aturan dan lainnya. Padahal, hal-hal demikian sekarang telah dirumuskan lebih jelas dari masa itu.

Berdasarkan itu, perlu dilihat kembali konsep-konsep menganai pluralisme, jihad dan hal-hal lain yang berimplikasi pada konsep Bhineka Tungggal Ika dan Bela Negara. Berikutnya, maka tentu strategi pencapaiannya, termasuk strategi pendidikan yang diterapkan juga pperlu dikaji lebih lanjut, agar partisipasinya menjadi lebih kena dan tepat.



B. Ikhtitam

Memang ada pekerjaan rumah yang ttidak ringan untuk pesantren agar perannya dalam membangun dan membela nnegara lebih efektif dan strategis di masa datang. Termasuk dalam PR itu ialah meyakinkan bebagai fihak bahwa disamping memang selama ini ada juga kekurangan-kekurangannya, pesantren memiliki banyak kelebihan yang dapat didayagunakan untuk membangun negara.

Wallahu A’lam bishshawab

Jumat, 26 Agustus 2011

Resourcefulness

Yang kita namakan dialektika ialah gerakan pikiran (rohani), ketika yang berbentuk saling terpisah itu, olehnya sendiri artinya terbawa oleh sifatnya sendiri saling berpindahan, dan dengan begitu, maka yang berbentuk keterpisahan itu ditiadakan (artinya bersatu kembali).

Indonesia dewasa ini terasa semakin mengiris hati mengingat rendahnya atau lunturnya rasa percaya diri yang menjadi identitas bangsa ini. Dari dulu hingga sekarang semua tau bahwa bangsa kita adalah bangsa yang paling mudah di pecah belah. Karakter kuat yang sering memfanatikan suatu gerakan, kelompok atau organisasi tanpa disadari membawa kita kedalam permainan "Politik Adu Domba" kaum kapitalis. Keterbukaan atau Demokrasi yang mereka bawa hanyalah omong kosong, Konsep Sosialis hanya di ujung lidah sedangkan sosialisme sesungguhnya dapat ditemukan dalam kerohanian yang tinggi sehingga mampu menghayatinya di dalam hati dan menuangkanya dalam civilization.

Bayangkan dari milion act yang pernah di lakukan di negeri ini, paling hanya seperempat atau bahkan tidak sampai segitu yang berhasil. Kemauan untuk belajar anak muda kita yang begitu tinggi terpaksa di tutupi atau bahkan di batasi hingga menjadi pemerhati karena hanya menyerap setengahnya. Padahal ilmu yang setengah-setengah itu sungguh berbahaya ketika fanatisme mulai meracuni. Sosialis dan kapitalis seolah menjadi tidak ada bedanya ketika lidah dan hati tidak bersatu dan hanya menghasil trouble mind. Ucapan dan hati mereka mudah melejit seperti anak panah keluar dari busurnya atau seperti pemicu yang di nyalakan sedikit saja terbakar.

Jutaan calon penerus bangsa ini hancur dalam majelis ta'lim perpolitikan dadakan. Mereka mengerti akan adanya propaganda tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka adalah korban propaganda. Semangat keangkuhan individualitas merengganggak jarak antara "emotional fact" dari moderinesme. Tertutupnya diri dari segala yang berbeda adalah suatu bentuk atau hasil dari berhasilnya propaganda.

Teriakan "anti kapitalism" berkumandang di seluruh seantero negeri gatot kaca ini. Seolah memangku serta menuntun kelas menengah kebawah. Tetapi merujuk pada kepribadian masing-masing dalam menjalani hidup tidaklah selaras dengan apa yang mereka ucapkan. Mereka berteriak berjuang di luar menentang kapitalis, tetapi tetangga mereka sendiri ada yang tidak makan (apa ini). Aksi menuntut sebuah kondisi yang lebih baik hendaklah mereka pikirkan dengan matang, karena tidak sedikit penyesalan yang terjadi akibat teori propaganda yang tak mereka sadari.

Perlu kita pelajari, dahulu seorang kolenel khadafy menuntut sebuah kemerdekaan dari seorang diktator keras. Tetapi ternyata pada akhirnya dia tidak pernah sistem atau caranya memimpin rakyat seperti yang dijanjikan. Hasil dari Aksi yang di lakukan rakyat libiya 40 tahun lalu hanyalah pergantian wajah atau seni tetapi sama-sama dalam koridor diktator.

Menarik memang kita jika menyimak sejarah panjang negeri yang tak pernah sanggup di kuasai Belanda ini. Kesuksesan era 98 di jadikan sebagai senjata atau ancaman yang di tebarkan untuk mengintimidasi atau bahkan senjata bagi pemilik massa untuk merebut mimpinya. Memunculkan dendam baru dalam skala Nasional yang sama sekali tidak di pikirkan jelas menunjukan ketidak intelektualan.

Yang terbaik adalah melakukan suatu hal yang nyata dan real. Terjun langsung mengawasi apa yang menjadi sorotan masyarakat. Memberikan suatu kontribusi secara actual bukan membakar ban ataupun aksi penuh emosi yang justru memecah belah. Jangan pernah lupakan cita-cita luhur pemimpin kita dahulu "Bhineka Tunggal Ika". Di situ di selipkan makna kesabaran, keyakinan, di siplin dan menyampingkan ego pribadi.

Tuntutan untuk mengharapkan semua harus sesuai dengan apa yang kita inginkan bukanlah suatu penyelesaian. Justru kita hidup adalah untuk bersama-sama dan berusaha memahami orang lain. Sekalipun perlu koreksi masing-masing tetapi dengan cara yang Muasaroh Bil Ma'ruf. Bukankah kita ini negara yang menjunjung tinggi musyawarah untuk mencapai mufakat.

Selasa, 23 Agustus 2011

Pemimpin Motivasi


Sosok pemimpin yang di butuhkan saat ini adalah sosok pemimpin yang mampu memotivasi memberi semangat kepada rakyat Indonesia.Negara ini adalah Negara yang sangat luar biasa.Karena rakyatnya luar biasa malasnya,luas biasa menghinanya,luar biasa sok pintarnya hanya sebagian kecil yang berpikiran dewasa.Disini terlihat dari segala pengalaman yang pernah saya alami tidak sedikit rakyat kita yang pintar berfikir dan berpendapat namun di tempatkan pada porsinya yang salah.

Mereka mampu mengatakan mana yang baik dan yang benar tapi tidak melakukanya.Mereka mampu bermimpi yang tingi setinggi langit namun tak punya cara untuk mewujudkanya. Yang terjadi adalah saling mengkritik dan mencemooh yang mengakibatkan semakin terpuruknya negara ini. Padahal mereka tahu jika itu yang mereka lakukan maka efek yang terjadi bukan membuat jera malah menambah permusuhan itu semakin memanas. Ketidak konsistenan berpikir menjadi penyebab masalah yang terjadi saat-saat ini.

Tidak sedikit pula para pengamat politik atau peuang revolusi dadakan yang justru berubah menjadi Profokator. Mereka pikir apa yang mereka tuliskan adalah suatu kebenaran memang itu benar tapi jika tujuan dan inti dari tulisanya menyinggung sebagian pihak justru kebenaranya hilang berubah menjadi keburukan.Seharusnya sebagai seorang yang memliki ilmu lebih itu adalah berbagi cerita tentang pemikiranya tanpa menyinggung sebagian pihak.

Lepas dari masalah itu saya ingin menjelaskan maksud saya bahwa Indonesia perlu pemimpin yang mampu memberi motivasi dan semangat. Seseorang rata-rata lebih bersemangat ketika dia di beri ilmu secara gratis oleh orang yang dipandangnya lebih pandai. Dan biasanya motivasi itu akan selalu ia ingat untuk hidup yang lebih baik kedepanya. Bayangkan saja jika pemimpin kita memiliki kapasitas seperti itu. Contoh saja Presiden kita Ir.Soekarno di setiap sela pidatonya selalu ada kata-kata motivasi yang sangat membakar semangat rakyat Indonesia pada saat itu. Yang terjadi adalah rakyat bersatu dan semakin semangat dalam menjalani hidupnya kedepan.

Betapa sedihnya saya ketika melihat debat Presiden tahun-tahun ini yang terkesan mencontohkan sifat-sifat sailing menjelakan satu sama lain tanpa akal sehat.Kita sendiri tahu bahwa yang dilakukan itu adalah buruk namun apa yang terjadi kita saat ini malah mencontohnya. Apa yang mungkin terjadi pada saat itu jika calon Presiden saat itu saling memotivasi satu sama lain tentu warga Negara Indonesia mungkin akan saling memotivasi dan bersatu. Banyak contoh yang kita dapat dari Nabi MuhammadIr.Soekarno,Panglima-panglima perang China dan masih banyak lagi. Mereka selalu menggunakan media memotivasi untuk mensejahterakan apa yang mereka pimpin pada saat itu.

Ini contoh nyata yang hasilnya memang sudah terbukti dan kita pun tidak bisa mengingkarinya. Mulai dari sekarang kita rubah pemikiran kita yang selalu ingin berada di atas atau sifat kita yang sering kali gatal untuk mengkritik sesuatu yang memang bukan kapasitas kita. Mari kita bersama-sama untuk saling memotivasi agar yang terjadi adalah persatuan bangsa dan negara,keinginan untuk hidup yang lebih baik dan semangat menjalani hari-hari yang cerah dan berarti Bukankah orang pintar itu banyak berbuat buakn banyak bicara dan orang pintar itu selalu memotivasi bukan malah mematikan semangat. Untuk Indonesia yang lebih baik saya ucapkan selamat pagi untuk menjalani hari esok yang lebih baik terima kasih.

KREATIVITAS

Kreativitas berasal dari kata dasar kreatif atau to create yang artinya mencipta. Inilah sesungguhnya suatu kelebihan atas kekuasaan tuhan yang di berikan kepada manusia berupa berupa akan dan pikiran. Dengan pemberian tuhan ini kita di sebut manusia yang sempurna sekaligus menjadi sesuatu yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan yang lainnya. Kita diberi kemampuan untuk mencipta, termasuk menciptakan realitas baru dalam kehidupan kita.

Seperti apa yang di jelaskan oleh Elizabeth Hurlock (1978) kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru. Artinya bahwa kreatifitas adalah suatu patokan dalam menilai apakah orang itu berprlaku secara aktif ataukah pasif.

Berprilaku aktif adalah berprilaku menggunakan seluruh kekuatanan kemampuan yang ada dalam membentuk, menciptakan, memberikan atau bahkan menyelesaikan sesuatu. Setiap manusia memiliki suatu pengalaman dalam hidupnya dan tidak sedikit yang menceritakan kepada keluarga atau sahabat dekatnya. Keinginan menceritakan ini menunjukan bahwa bila suatu saat nanti keluarga atau sahabat dekatnya mengalami hal yang sama mereka sudah dalam kondisi yang siap.

Manusia yang berprilaku secara aktif tidak hanya menerima tetapi dia mencari info dan cara yang bervariasi menurut dirinya untuk menyelesaikan pengalaman tersebut dengan cara yang lebih mudah dan efisien. Berbeda dengan manusia berprilaku pasif yang mungkin sekedar mengikuti saja atau mencoba berada di titik yang aman yang jelas-jelas sudah menguntungkan. Manusia berprilaku kreatif aktif cenderung tidak mudah terpengaruh ataupun bertindak yang merugikan.


Kreatifitas dapat di artikan juga sebagai seni berfikir dalam menanggapi masalah dan menciptakan suatu karya baru. Dalam berfikir sendiri terbagi dua jenis yaitu berfikir divergen dan konvergen.

Berfikir Divergen : bentuk pemikiran terbuka, yang menjajagi macam-macam kemungkinan jawaban terhadap suatu persoalan/ masalah.

Berfikir Konvergen: sebaliknya berfokus pada tercapainya satu jawaban yang paling tepat terhadap suatu persoalan atau masalah

Dalam pendidikan formal pada umumnya menekankan berfikir konvergen dan kurang memikirkan berfikir divergen. Tetapi Torrance (1979) dalam memandang sebuah kreatifitas dia selalu menekankan adanya ketekunan, keuletan, kerja keras, sehingga tidak terlalu terlalu tergantung dari kapan timbulnya inspirasi untuk dapat bertindak secara kreatif.

Kretaivitas juga dapat di artikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Kreatifitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi sebagai hasil interaksi individu, perasaan, sikap dan perilakunya. Biasanya seorang individu yang kreatif memiliki sifat yang mandiri. Ia tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma umum yang berlaku dalam bidang keahliannya. Ia memiliki system nilai dan system apresiasi hidup sendiri yang mungkin tidak sama yang dianut oleh masyarakat ramai. Seperti apa yang dikatakan oleh Selo Soemardjan “Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu (dan bukan merupakan sifat social yang dihayati oleh masyarakat) yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Setiap orang memang memiliki potensi kreatif dalam derajat masing-masing dan dalam bidang yang berbeda-beda. Dan kenyataan inilah yang perlu kita pupuk sejak dini agar dapat direalisasikan. Sehingga diperlukan dorongan-dorongan yang dapat mendukung baik dari luar (lingkungan) maupun dari dalam individu sendiri.

Agar kreativitas ini tumbuh memang perlu diciptakan kondisi lingkungan yang dapat memupuk daya kreatif individu, dalam hal ini mencakup baik dari lingkungan dalam arti sempit (keluarga, sekolah) maupun dalam arti kata luas (masyarakat, kebudayaan). Karena Timbul dan tumbuhnya serta berkembangnya suatu kresi yang diciptakan oleh seseorang individu tidak dapat lepas dari pengaruh kebudayaan serta pengaruh masyarakat tempat individu itu hidup dan bekerja.

Mayarakat memang dapat manyediakan berbagai kemudahan, sarana dan prasarana untuk menumbuhkan daya cipta anggotanya, tetapi akhirnya semua kembali pada bagaimana individu itu sendiri, sejauh mana ia merasakan kebutuhan dan dorongan untuk bersibuk diri secara kretif, suatu pengikatan untuk melibatkan diri dalam suatu kegiatan lreatif, yang mungkin memerlukan waktu lama. Hal ini sudah menyangkut pada motivasi internal individu.



Sabtu, 13 Agustus 2011

Menghadapi Ramadhan

Oleh : Bakhrul Amal Mukhtar

Kultum pagi ini adalah kita sebagai manusia haruslah banyak muhasabah atau mengoreksi diri sendiri, kita ketahui bersama bahwa Islam sendiri selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu melakukan introspeksi diri sendiri sebelum dievaluasi oleh orang lain.

Itu adalah langkah awal setelah kita melakukan muhasabah, maka langkah selanjutnya yang harus kita lakukan adalah muatabah atau menyalahkan diri sendiri dan tidak menimpakan kegagalan sebagai akibat dari perbuatan orang lain sehingga bisa belajar untuk memperbaikinya

Lalu langkah yang ketiga adalah murakabah atau tidak berputus asa, selalu berharap atas ampunan dari salah yang telah dilakukan kepada Allah. Sebelum sakaratul maut atau nyawa mencapai kerongkongan, yakinlah bahwa Allah masih menerima taubat kita.
Sekian dan terima kasih.

Kreatifitas Kritis (singkat)


Fenomena penggulingan kekuasan menggunakan basis masa memang sedang tren saat ini. Dari negeri arab afrika hingga dan sekarang mulai memasuki kawasan eropa bahkan jutaan rakyat israel pun rencananya akan menyusul. Cara seperti ini seakan menjadi senjata yang paling ampuh jika kita mengingat pada kasus-kasus sebelumnya seperti keberhasilan mesir, tunisia, bahkan Indonesia sendiri pernah merasakan. Melihat kenyataan itu, mereka yang berkepentingan seolah memiliki cara baru untuk mencapai jalanya mereka menjadi profokator dadakan yang selalu menekankan pemikiran pada rakyat bahwa ini adalah cara yang akan membawa keberhasilan, perubahan serta revolusi. Argument mereka menjadi terlihat betul ketika melihat pada bukti-bukti dan fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.



Sekilas memang benar, tetapi cobalah berfikir kritis dan mempertanyakan apakah cara-cara seperti ini memang cara yang paling efektif dan menghasilkan kebaikan yang signifikan. Jika kita bandingkan saja dengan cara nelson mandela, cara penggerakan masa ini belum ada apa-apa nya, karena mereka hanya mampu merubah sistem tetapi tidak mind set. Selain keberhasilan yang tidak begitu signifikan cara seperti pergerakan masa justru akan menimbulkan bibit kebencian yang baru. Bibit yang dulu hendak dilupakan untuk persatuan ternyata malah dimunculkan kembali oleh mereka yang mengaku penggagas revolusi itu. Mereka yang mewujudkan cita-citanya dengan cara basis masa yang tidak sadar justru menimbulkan permusuhan yang baru mereka itu bukan pejuang revolusi, bukan revolusioner tetapi mereka lebih layak disebut seorang obsesioner.



Mengapa saya sebut mereka sebagai seorang obsesioner karena mereka telah mengesampingkan mimpi dan menjadikanya tujuan. Mereka adalah pihak-pihak yang menyerah karena mereka kehilangan akal dan ide sehingga tidak lagi memiliki kreatifitas kritis. Kreatifitas Kritis adalah satu gagasan atau pemikiran yang terdengar baru dalam dunia politik ataupun kehidupan aktivis. Kreatifitas Kritis adalah cara berfikir, bergerak, bertindak dan melakukan sesuatu yang sesungguhnya adalah bentuk protes tetapi dengan memunculkan suatu alternatif yang baru. Sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa di rugikan namun tujuan tercapai secara menyeluruh dan sistematis. Secara singkat kreatifitas kritis adalah suatu pergerakan yang menjunjung tinggi tawsuth, berpikir modern, Mua'syarah bil Maruf dan tidak ekstrem.



Kreatifitas kritis juga sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kesucian dalam islam mengambil dari definisi Islam itu sendiri yang berasal dari kata Aslama yang artinya menyerah, pasrah, tunduk atau patuh. Dari kata Aslama kita dapat mendefinisikannya sehingga menemukan beberapa arti kata yaitu Salam artinya keselamatan, taslim artinya penyerahan, salam artinya memelihara, sullami artinya titian dan silm artinya perdamaian. Jadi tidak salah jika saya menilai bahwa mereka yang bergerak dengan mengandalkan basis masa terlebih untuk berbuat rusuh dan mengambil alih kekuasaan secara memaksa dan terkadang tidak manusiawi adalah mereka yang telah kehilangan Kreatifitas Kritis (Baca: Kreatifitas Kritis Amalisme) bahkan iman Islam.