Dini hari itu aku tidur dari tidur dan mencari apa yang hilang dari jiwaku, aku berdiri dan bangkit laksana seorang petarung yang siap menghadapi apapun yang ada di hadapanya. Aku berjalan melangkah tertatih membuka pintu yang terasa berat untuk mecari setetes kesegaran yang mungkin bisa membasahi tenggorokanku ini. Apa yang aku rasakan mungkin juga di lakukan beberapa manusia lain di luar sana. Sikapku ini sepertinya mengundang tanya apa yang sebenarnya hendak aku cari dengan melakukan hal seperti seekor tikus yang bangun lalu mencari sesuatu di saat semua lelap.
Kemudian aku berjalan perlahan menuju tempat dimana aku menemukan air untuk membasuh wajah hingga kakiku. Sebelum akhirnya kembali menuju ruangan yang cukup untuk membca, menaruh beberapa buku dan pakaian serta tentunya merebahkan badanku ketika aku lelah. Mungkin tempat ini telalu indah bagi mereka yang sama sekali tidak memiliki tempat ber istirahat dan harus tidur dengan kebisingan. Lalu di dalam tempat itu aku bentangkan permadani kecil untuk melakukan gerakan yang berulang dan terjaga menunggu pagi yang enggan kembali.
Aku terus begitu hingga entah kapan malam akan berhenti tetapi aku akan terus memahami walau harus berdarah agar dzat itu mengerti aku bernafas untuknya. Lalu aku duduk sembari mengangkat sembari mengangkat kepalaku ke atas langit lalu menudukanya lagi. Ada setes air mengalir dari bulatan yang indah ketika aku menundukan kembali wajahku. Apa yang sebenarnya aku pikirkan ketika aku mengangkat bagian bagian tertinggi tubuhku hingga air itu bisa mengaliri separuh rupaku ketika aku menundukan kembali pusat pikiranku.

Disaat ku angkat wajahku aku berpikir bahwa apa yang aku lakukan selama ini tidak lebih dari apa yang di lakukan seekor keledai yang bertindak tanpa berpikir. Seperti serigala yang kejam yang tidak mau memikirkan apa yang terjadi di sekitarnya. Seperti se ekor kura-kura yang berada di antara kuda-kuda yang terus berpacu. Aku teramat lemah, aku terlalu bodoh dan sombong, aku terlalu memikirkan diriku dan akhirnya justru akulah yang tertinggal. Aku lebarkan tanganku, ku ucap beribu sumpah serapahku yang tidak hanya saat ini aku ucapkan. Aku memujinya, memberikan penghormatan tertinggku kepadanya, meneteskan air mata di hadapanya ketika aku sadar ia masih sanggup tersenyum dan memberiku nyawa di saat aku merasa hidupku tinggal badan tanpa jiwa yang membuatku seharusnya tak lagi pantas meminta padanya.
Tidak ada harapan yang lebih aku inginkan selain semangat darinya yang mampu membangkitkan raga yang telah hampir mati ini. Karena hanya itu yang terasa sanggup menyempurnakan lukisan keledai yang bersikap seperti serigala dan kura-kura tidak bisa berlari seperti kuda. Hatiku akan terus selalu meninggikanmu agar engkau mampu mengeluarkan keindahan buatku menyempurnakan semua yang terbaik dan terlewati dan semua yang hendak terhenti tanpa ku akhiri. Agar selesai sudah dan semua pun dapat berlalu indah dengan akhirnya aku tau kau memaafkanku dan menempatkanku di singgasana terindah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar