Saya ingin sejenak saja mengajak anda untuk merenungkan permasalahan yang ada pada Indonesia saat ini. Jujur saya sedikit tersentuh dan kaget ketika mendengar bisa dengan mudahnya GAYUS TAMBUNAN keluar dari tahanan Markas Komando Brimob kelapa dua sedangkan ia adalah seorang kasus terpidana korupsi yang memiskinkan bangsa ini menurut Mahfudz MD. Terlepas dari permasalahan itu coba kita lihat terlebih dahulu bagaimana penegakan hukum tentang terpidana korupsi menurut UU Tipikor yang berlaku saat ini.Kita pasti semua setuju kalo para penindak pidana korupsi dihukum seberat-beratnya atau bahkan bila perlu di hukum mati,coba kita ambil pasal tentang pidana matinya:
Pasal 2 ayat 1 dan 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal ini tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat di jatuhkan.
Disitu kita temukan kata dalam keadaan tertentu ini adalah kata ini menunjukan bahwa ini adalah contoh pasal karet yang berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan.Dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu itu adalah dapat dilakukan pemberatan bagi pelaku tindak pidana itu dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau dalam keadaan negara dalam krisis ekonomi dan moneter.
Meski sudah ada rumusan yang menjelaskan “keadaan tertentu”, yang sebenarnya bisa di buktikan dan di ambil faktanya bahwa negara sedang dilanda bencana alam dan krisis ekonomi, rumusan tersebut tidak digunakan sebagai dasar konsiderasi dalam menyusun ancaman hukuman mati.Andai saja ancaman hukuman mati bagi para koruptor di gunakan, barangkali kisah GAYUS TAMBUNAN ini takan terulang lagi.
Sangat di sayangkan sekali bahwa tafsir dari “keadaan tertentu” yang sangat mengarah pada pemberatan hukuman terhadap terpidana korupsi seperti hukuman mati tidak di gunakan elemen hukum, khususnya para jaksa penuntut umum.Akibatnya hakim tidak bisa berbuat banyak saat akan melakukan putusan, meski seharusnya hakim memiliki hak untuk melakukan penafsiran dan temuan hukum(reshvinding).
Karena terbukti tidak sedikit dari terpidana korupsi yang di hukum dengan pidana yang ringan atau bahkan menghirup udara bebas. Ini bukan soal yang perlu kita anggap sepele ini PR bersama bagi kita untuk membentuk suatu keidealan hukum yang berujung pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut fakta yuridis dari data ICW pada tahun 2009 tepatnya dari Januari hingga Desember, di antara 199 perkara korupsi dengan 378 terdakwa, sebanyak 59,9 persen dinyatakan bebas oleh hakim di pengadilan umum.
Terlepas dari semua dugaan tindakan atau praktek “KORUPSI” hukum saat hakim menjatuhkan vonis.Tuntutan hukuman mati yang tidak ditembakan jaksa merupakan segmentasi praktik pengistimewaan atau pemanjaan terhadap terpidana korupsi. Makna dari “keadaan tertentu” yang sudah terumus secara yuridis hanya menjadi rumusan-rumusan ide yang agung yang semakin kehilangan makna empirisnya karena telah di telanjangi oleh para bapak penegak hukum yang tidak mempunyai nyali untuk menegakan hukuman mati terhadap para koruptor di negeri ini.
Kita sebagai orang yang mengetahui mesti belajar dari semua ini untuk tidak lagi mengulangi kelalaian yang di lakukan pendahulu kita. Agar Indonesia menjadi lebih baik maju dan di segani oleh bangsa lain. Jangan mau lagi hukum kita di telanjangi oleh kepentingan-kepentingan orang lain yang justru mengorbankan jutaan sahabat-sahabat kita di negeri ini yang menginginkan keadilan. Hukuman mati adalah harga mati untuk efek jera bagi para koruptor sekelas GAYUS TAMBUNAN yang memiskinkan negera ini.
SALAM AMALISME
Tidak ada komentar:
Posting Komentar