Gus Dur dan Pluralisme
Gus Dur sebuah nama yang pernah menoreh sejarah pergulatan antar etnis yagn terjadi melanda negeri ini, dengan terjadinya sebuah deskriminasi terhadap kaum tionghoa dan juga rakyat indonesia lainya. Pada hal kaum tionghua juga ikut andil dalam penegakan negara RI ini, tapi kenapa mereka dibatasi dalam gerak dan ritual keagamaan. Inilah yang tejadi melanda kaum tionghua sebelum Gus Dur menjadi peresiden.
Sumbangsih Gus Dur yang terbesar terhadap bangsa adalah perjuangan beliau yang pantang menyerah untuk mengusungkan pluralisme, sebelum meninggal, Gus Dur berpesan saya ingin dikuburan saya ada tulisan ; disisnilah terkubur seorang pluralisme (kompas, 3/1/2010).
Perjuangan beliau terhadap pluralisme, begitu gigih untuk menciptakan perdamaian yang terjadi ditengah-tengah antar umat beragama. Tahun 1955-1997 terjadi kerusuhan etnoraligius di jawa timur dan jawa barat, ratusan gereja dan bebrapa toko milik orang tionghua di bakar dan di hancurkan. Tujuannya mendiskreditkan Gus Dur bahwa visi islam tolleran yang di usung nya gagal.
Gus Dur seorang pluralis, gebrakannya yang terkenal, menjadikan Konghucu menjadi agama resmi negara, Gus Dur juga mencabut peraturan pemerintah nomor 14 tahun 1967 yang melarang kegiatan tionghua dan menetapkan imlek sebagai hari libur nasional.
Pluralisme sebagai bentuk kesadaran kolektif bangsa, harus selalu di pelihara. Mengingat sekarang ini negara tidak lagi mendominasi seluruh sektor kehidupan rakyat seperti masa lalu. Gus Dur cendrung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah Wolfgang Huber: “melihat perbedaan sebagai pemberian, memandangnya sebatas pilihan.”
Meskipun demikian, harus diakui bahwa pluralisme masih menghadapi tantangan yang serius, terutama pasca-fatwa MUI tentang pengharaman pluralisme.
Fatwa semacam ini merupakan tantangan serius dalam membangun harmoni dan kebersamaan. Karena seolah-olah ketika berhubungan dengan kelompok lain yang berbeda, maka dianggap akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Padahal, dialog dan perjumpaan justru dapat menjadi kekuatan dan potensi, terutama dalam konteks kebangsaan.
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Faktanya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
Dalam hal ini, menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran Gus Dur menjadi sangat relevan. Di antaranya diperlukan pandangan keagamaan yang berorientasi kebangsaan, yang dapat melindungi seluruh warga negara, apa pun agama, keyakinan, kelompok, ras, dan sukunya. Dalam buku Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, Gus Dur menegaskan bahwa umat Islam Indonesia harus mengembangkan pandangan keislaman yang berorientasi kebangsaan. Salah satu pesan yang kuat dalam Al Quran adalah bahwa Muhammad SAW diutus oleh Tuhan untuk membangun persaudaraan bagi seluruh umat (QS al-Anbiya [21]: 107).
Presiden SBY dalam pidatonya menyebut Gus Dur sebagai ”Bapak Pluralisme.” Padahal, menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), pluralisme adalah faham yang haram.
Penolakan Ketua MUI Jawa Timur itu cukup beralasan, karena lima tahun silam, Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan Fatwa nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama dalam Pandangan Islam. Dalam fatwa yang ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H (29 Juli 2005 M) tersebut, MUI menfatwakan Pluralisme sebagai berikut:
Pertama, Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.
Kedua, Ketentuan Hukum. Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampuradukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Dengan polemik “Gus Dur Bapak Pluralisme” ini rakyat kembali terpecah dalam dua pendapat, yaitu pendapat Presiden SBY ataukah pendapat Majelis Ulama. Siapakah yang benar, SBY ataukah Ulama? Jika yang benar adalah Ketua MUI Jawa Timur, berarti Gus Dur adalah orang baik yang tak pantas diberi gelar ”Bapak Pluralisme.” Tapi jika yang benar adalah Presiden SBY, maka Gus Dur adalah orang sesat yang mengikuti faham haram pluralisme, sehingga pantas dinobatkan sebagai ”Bapak Pluralisme.
Kamu boleh sekolah setinggi-setinginya tapi jika tidak berkarya kamu akan ditingal oleh masyarakat dan sejarah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar