Salah satu etika yang dikembangkan oleh Pergerakan Kebangsaan ketika dihadapkan pada suatu pilihan keberpihakan saat terjadi konflik antara yang lemah dan kuat adalah: a priori berpihak pada yang lemah. A priori berpihak pada yang lemah adalah keterpihakan tanpa syarat, tanpa harus menunggu bukti-bukti empiris atau pembuktian menurut kaidah hukum.
Contoh adalah ketika terjadi kasus Lumpur Lapindo, Sidoarjo. Maka di mata Pergerakan Kebangsaan, Pemerintah seharusnya secara a priori berada di pihak korban lumpur Lapindo. Dengan sumber daya yang ada Pemerintah harus langsung memberikan ganti rugi dan mengupayakan langkah-langkah penyelamatan tanpa menunggu proses hukum terkait dengan apakah itu bencana atau tidak atau hal-hal yang lain. Setelah yang lemah atau dalam hal ini rakyat yang menjadi korban diselamatkan, baru pemerintah berurusan dangan Bakrie group dan jika terbukti ada kesalahan di pihak Bakrie Group maka dengan segala sumber dayanya Pemerintah maju di barisan paling depan untuk memaksa pihak Bakrie mengganti kerugian kepada Pemerintah. Jika yang terjadi pemerintah hanya sebagai fasilitator saja antara rakyat yang menjadi korban dengan pihak perusahaan maka - berlawanan dengan etika yang dikembangkan oleh Pergerakan Kebangsaan - paradigma Pemerintah adalah a posteriori. Ketika rakyat yang lemah yang menjadi korban berhadapan dengan yang kuat yang dalam hal ini adalah perusahaan besar, Pemerintah masih menunggu bukti-bukti atau status hukumnya lebih dulu. Dalam hal ini, menurut Pergerakan Kebangsaan, apa yang dilakukan oleh Pemerintah itu bukanlah laku atau kebijakan yang tepat. Tidak pada tempatnya Pemerintah bersikap a posteriori, menunggu bukti-bukti empiris atau hukum untuk berpihak pada rakyat kecil yang lemah.
dikutip dari http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=565
Tidak ada komentar:
Posting Komentar