Jumat, 17 Desember 2010

PIALA AFF DAN MOMENTUM KEBANGKITAN PEMUDA INDONESIA


Oleh:Bakhrul Amal Mukhtar

Beberapa pekan ini publik Asia Tenggara sedikit terhibur dari sekian banyaknya rutinitas yang sungguh menyita hari-hari keluarga besar Asia Tenggara. Hiburan itu tidak lain dan tidak bukan adalah adanya perhelatan akbar pertandingan sepakbola dua tahunan di Asia Tenggara yang berubah nama piala AFF dari sebelumnya Piala Tiger. Dan yang sungguh menarik perhatian adalah Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara belum pernah sekalipun mencicipi gelar juara dari ajang yang dimulai sejak tahun 1996 ini yang dulu di sebut Piala Tiger.

Tetapi ada satu hal yang manarik di piala AFF tahun ini selain di percayanya Indonesia menjadi tuan rumah adalah hadirnya permainan cantik dari beberapa kemanangan Timnas Indonesia. Terlepas dari dukungan penuh puluhan ribu suporter yang terus menyemangati secara langsung dan terlihat memadati Gelora Bung Karno yang menurut saya menjadi pemandangan yang begitu fantastis. Meski awal ketertarikan saya kepada Timnas baru muncul akhir-akhir ini setelah saya melihat perjalanan awal mereka di piala AFF melawan Malaysia karena sebelumnya saya juga mengikuti perkembangan Timnas. Tetapi ini sungguh membuat saya terkejut dan sontak berkata”amazing” gabungan antara permainan cantik, kekompakan tim serta semangat yang tak kenal lelah sungguh terasa berbeda dari penampilan Indonesia sebelumnya. Selain itu munculnya pemain muda di Timnas Indonesia ini sangat membuat warna baru yang sungguh berbanding terbalik dari Timnas sebelumnya.

Entah berkat ramuan pelatih anyar yang berasala dari Austria yaitu Alferd Riedl ataupun kontribusi pemain naturalisasi yang terlihat begitu memotivasi tetapi yang terpenting bagi saya adalah pemain muda Indonesia yang terbukti tidak kalah jauh dari pemain naturalisasi dan ini terlihat dari kemenangan awal 5 – 1 saat menjamu Malaysia diciptakan dari tiga pemain asli anak bangsa dan dua dari naturalisasi. Kemenangan demi kemenangan diraih diantaranya adalah 6 – 0 melawan Laos, 2 – 1 melawan Thailand dan yang teakhir ini 1 -0 melawan Filipina. Ini semua bisa terjadi karena selain kerjasama dan semangat yang pantang menyerah adalah berkat tekhnik individual mereka yang cukup baik dan itu terlihat dari satu persatu pemain menunjukan skill bermain bola yang sangat cantik dan enak dilihat.

Permainan Indonesia yang cenderung ofensif dibarengi kerjasama tim dan memainkan permainan dengan tempo yang cepat dan indah sungguh sempat membuat saya kaget dengan penampilan timnas saat ini. Beberapa kali saya mengeleng-gelengkan kepala sambil mengeluarkan kata khas orang Cirebon”kirik”. Semangat Timnas Indonesia ini perlu di apresiasi karena menunjukan bahwa kita belum habis, kita masih bisa bangkit dan kita bisa jika bersama terlepas dari pelatih baru dan pemain naturalisasi.
Bayangkan jika semangat dan keyakinan kemampuan bahwa kita bisa ini di tuangkan kepada seluruh pemuda Indonesia, jika kerjasama tanpa mengenal lelah ini dicontoh oleh seluruh pemuda Indonesia, jika semangat nasionalisme ini di taruh di dalam dada seluruh pemuda Indonesia sungguh saya tidak bisa bayangkan betapa hebatnya negeri ini. Dengat semangat timnas yang rata-rata di huni pemain muda ini saya jadi teringat kata-kata Bung Karno dulu “beri saya sepuluh anak muda, maka akan aku kuasai dunia ini”.

Setidaknya saat ini kita bisa melihat lalu berteriak jangankan sepuluh Bung Karno, Sebelas, seratus, seribu, satu juta bahkan seratus juta anak muda bangsa Indonesia akan diberikan demi Indonesia untuk menaklukan dunia ini. Dengan semangat Timnas Indonesia ini semoga menjadi momentum awal bangkitnya pemuda-pemuda harapan bangsa. Ayo semangat pemuda Indonesia, bangkit, bangkit dan bangkit biarkan keringat ini mengucur, biarkan darah ini terus mengalir, biarkan teriakan ini lepas, biarkan inspirasi ini terbang tetap berpegang tangan hargai segala bentuk perbedaan melangkah maju demi Indonesia.

Senin, 29 November 2010

SEDIKIT PELAJARAN TENTANG KEPEMIMPINAN

Oleh : Bakhrul Amal Mukhtar

Mengapa di dunia ini selalu menertawai

Hidupku yang hina ini

Mengapa semua manusia

Menghina pemikiranku

Mencari jalan kebenaran

Sebagai seorang pemikir

Namun semunya itu tiada berarti bagiku

Kuanggap sebagai penguji imanku

Tidaknya tuhan jadi saksi bagiku

Betapa sucinya niatku ini

WALAUPUN HINAAN ITU DITUJUKAN PADA DIRIKU

NAMUN KUSELALU TERSENYUM KARENA CINTAKU SUCI PADAMU



Saya percaya akan adanya tuhan, tetapi saya tidak percaya tuhan itu hanya menciptakan satu golongan saja. Tuhan menciptakan setiap golongan-golongan di bumi ini, dia menciptakan bukan karena maksud tetapi agar kita manusia ini mau belajar dan bisa saling menghargai. Selain itu di setiap golongan dia menciptakan pemimpinya masing-masing, untuk menjadi penyeimbang dan penentu sikap setiap golongan-golongan itu. Tentu untuk menjadi seorang pemimpin dia menyiapkan yang sangat istimewa dengan beberapa sifat-sifatnya. Yang perlu kita perhatikan adalah sifat-sifat kepemimpinan kita, karena pemimpin itu bukan hanya pemimpin golongan saja tetapi pemimpin bagi dirinya sendiri. Orang yang sudah mampu mengendalikan dirinya tentu akan mampu untuk mengendalikan orang lain. Saya coba jabarkan sedikit sifat-sifat kepemimpinan yang saya alami berdasar pengalaman adalah sebagai berikut :





1, Rendah Hati

Ilmu pertama yang kita pelajari adalah kerendahan hati. Artinya adalah tidak pernah sombong dengan apa yang telah kita miliki saat ini, atau apa yang akan kita perjuangkan nanti. Tidak pernah membedakan dari apa yang kita miliki saat ini dengan apa yang dimiliki orang lain. Sekalipun lebih baik dan orang itupun mengakui kelebihan yang ada pada diri kita. Tetaplah bersikap santai dan memandang sama.



Tidak mudah memang menutupi kelebihan yang kita miliki, kadang hati kita terasa ingin sekali mengucapkan atau memberi tahu apa yang menjadi kelebihan yang ada pada diri kita entah itu materi,ilmu dll. Tetapi cobalah untuk santai dan biasa saja karena semua yang kita miliki datangnya dari tuhan mungkin itulah kunci dari rendah hati.

*

Pemimpin yang memimpin dengan kerendahan hati, mulia perjuangannya





2, Kesederhanaan

Mungkin kita melupakan ilmu ini padahal ini adalah penilaian yang justru sangat terlihat yaitu kesederhanaan. Sederhana itu artinya tidak berlebih-lebihan, tidak berlebih-lebihan dalam bersikap, berbahasa, berpakaian dan dalam memandang suatu yang terkadang menurut kita perlu di sakralkan.



Kesederhanaan juga mampu membuat kita untuk ikut merasakan apa yang terkadang orang lain rasakan. Kesederhanaan juga bisa diartikan berada di tengah-tengah atau menjadi jembatan diantara makhluk social lainya.

*

Memimpin dalam kesederhanaan adalah hal biasa namun kaya makna





3, Humanis

Tidak banyak pemimpin di dunia ini yang menerapkan prinsip humanis daripada otoriter dan kekuasaan. Padahal mereka lupa bahwa manusia itu haruslah di sikapi secara manusia terlepas dari perbedaan yang ada saat ini. Untuk menjadi pemimpin yang humanis itu memang sulit dan terkadang terbentur oleh bedanya keyakinan. Padahal disitulah seninya, dimana tingkat kemampuan kita untuk menilai manusia itu secara seutuhnya. Humanisme itu jangan hanya dengan sesame keyakinan atau tujuan tetapi humanism itu harus melintasi agama, etnis, teritorial dan negara. Kita tidak usah takut untuk bicara atau bersahabat karena berbeda keyakinan tetapi yakinlah yang kita lakukan atas dasar prinsip kemanusiaan , bahwa manusia diciptakan untuk saling menghargai dan melindungi satu dengan yang lainnya. Inilah karakter pemimpin Indonesia yang saat ini sangat dibutuhkan, pendekatan secara humanis kepada rakyatnya bukan kekuasaan semata.

*

Yang dipimpin adalah manusia maka selayaknya pemimpin juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan





4, Humoris

Kadangkala kita seagai pemimpin terlalu serius sehingga kita lupa atau bahkan tidak jarang saling menyalahkan, karena terlalu serius dalam menyelesaikan suatu masalah. Padahal untuk menjadi pemimpin kita harus mampu membuat suasana di sekitar itu santai dan tak terlalu terbebani. Salah satunya adalah di selingi dengan bercanda untuk memecah kebuntuan yang membelenggu pikiran kita selama ini. Selain itu untuk memberikan suasana nyaman diantara pimpinan dan para pembantunya. Janganlah terlalu memandang sesuatu serius dan menegangkan suatu permasalahan cobalha bersikap santai dan rileks.

*

Memimpin dengan humoris bagaikan setitik embun di padang gersang



5, Visioner

Seni memimpin salah satunya dalah visioner dan berani melakukan terobosan. Mungkin sebagian orang mengatakan kebijakan dan keputusan yang visionergila”tetapi memang apa yang dilakukan haruslah dapat dipertanggungjawabkan dan sudah perhitungkan untuk jangka panjang, bukan saat itu. Terobosan-terobosan yang tepernting haruslah mengandung nilai kostrukstif, demokrasi, penegakkan hak asasi manusia dan perdamaian. Bukan untuk kepentingan pribadi semata.

*

Pemimpin harus mempunyai visi kedepan yang dapat dipertanggungjawabkan tentang apa yang dipimpinnya



6, Sabar dan Memaafkan

Sebagai seorang pemimpin kita harus mempunya sifat sabar dan memaafkan. Untuk memiliki sifat ini kita harus memiliki pemikiran yang positif dan menjauhkan pemikiran negatif tanpa dasar dan kebiasaan yang kuat. Dengan dibiasakanya kita berpikir positif kita akan mampu untuk sabar dan mudah untuk memaafkan sesama.

*

Seorang pemimpin harus mempunyai dua hati, yang satunya sabar dan yang satunya lagi memaafkan



7, Komitmen pemberian diri

Kadang kita malas atau menyudahi perjuangan kita ketika menjadi seorang pemimpin dan apa yang kita lakukan tidak dapat di perjuangkan pada saat itu. Kata menyerah inilah yang harus kita hindari dan buang jauh dari pikiran dan hati kita. Tidak sedikit dari kita yang lupa bahwa untuk memperjuangkan apa yang kita perjuangkan tidak harus kita harus selalu berada di atas. Tetapi kita harus yakin bahwa yang kita perjuangkan itu untuk kepentingan bersama dan harus tetap dilakukan meski kita berada di bawah ataupun diatas. Bagaimanapun caranya berusahalah untuk tetap semangat memperjuangkan sesuatu yang menurut kita benar dan berusalah komitmen dengan tujuan kita.

*

Beda pemimpin dan pecundang; Pemimpin sejati total memberi diri sedangkan seorang pecundang hanya tahu menerima hasilnya.



8, “Marketing Leader”

Yang ingin saya jelaskan bukanlah ilmu seorang marketing seperti Aburizal bakrie, tapi dengan humanismenya itu melintasi agama, etnis, teritorial dan negara.semua kalangan. Salah satu caranya adalah dengan menulis, dengan tulisan kita secara tidak langsung kita memasarkan pemikiran kita kepada orang lain, tentunya tulisan kita haruslah yang bermanfaat bagi semua kalangan.



Dan yang terpenting adalah tulisan yang mampu merubah pola pemikiran yang biasa menjadi luar biasa sehingga menarik dan mampu mengundang tanya, keingintahuan yang positif tentunya bukan keingin tahuan yang menimbulkan sesuatu yang negatif.

*

Kepemimpinan pada dasarnya adalah tentang sebuah strategi memimpin





9, Berani dan Kritis

Pemikiran, tindakan dan ucapan kita haruslah sejalan dan tidak ada bedanya. Janganlah kita menjadi pemimpin yang kadang-kadang lain di hati lain di bibir. Kita harus berani mengatakan kata-kata yang kadang tajam dan pedas membuat kuping yang diserang menjadi panas. Tetapi apa yang kita katakan bukan tanpa sebabnya. Kritikan kita harus terbukti dan mempunyai dasar yang jelas. Dalam sikap kritis terkadang kita terhalang dengan betapa kuatnya pondasi musuh yang kita sikapi kritis tetapi selama kita benar, kita tidak perlu takut untuk mengungkapkan kebenaran yang terjadi terus berusaha lakukan dengan cara kita. Dan ini menjadi pelajaran penting untuk calon-calon pemimpin nantinya. Jangan mati konyol, berani mengeluarkan pendapat tetapi tidak punya amunisi dan argument yang kuat ketika diserang balik.

*

Seorang pemimpin layaknya kesatria, berani mengambil keputusan dan siap bertanggungjawab akan keputusannya.



10, Pejuang

Untuk menjadi seorang pejuang di perlukan keikhlasan hati tingkat tinggi, karena tidak jarang pejuang justru harus mengorbankan dirinya demi apa yang diperjuangkan. Dia tidak takut dianggap sebelah mata selama apa yang di perjuangkan itu benar dan perlu di tegakan. Sikap pantang menyerah adalah satu satu yang harus dimiliki oleh seorang pejuang karena perjuang haruslah pantang menyerah demi ditegakanya keadilan. Sebabagi seorang pejuang kita haruslah berjuang dengan berbagai cara. Ucapan, pemikiran, tindakan, tulisan-tulisan, diplomasi dan pendekatan secara manusiawi. Dan perjuangan itu harus ditunjukkan bukan untuk mencari popularitas, tetapi perjuangan karena cinta. Cinta akan Tuhan, cinta akan manusia, cinta akan perdamaian, cinta akan demokrasi dan cinta akan nilai-nilai kebaikan.

*

Pemimpin sejati berjuang dengan ketulusan hatinya



11, Menghargai perbedaan

Seorang pemimpin sejati pasti akan menghargai perbedaan dan senang melihat apa yang di pimpinya dapat hidup hidup bersama tanpa membedakan keyakinan, golonga ataupun kepentingan. Seorang pemimpin sejati pasti selalu berfikir bahwa perbedaan adalah denyut kehidupannya. Itulah sebabnya sebagai seorang pemimpin harus memiliki pandangan yang sama kepada semua manusia tanpa membedan keyakinan, suku, golongan ataupun kepentingan. Yang dia pikirkan adalah kebersamaan dan saling menghargai antar sesama jadi jangan heran jika kita menjadi pemimpin yang menghargai perbedaan ketika kita nanti meninggal, kita akan ditangisi banyak orang, bukan hanya dari kalangan kita. Karena kita sangat menghargai perbedaan, maka kita diterima oleh golongan, suku dan agama apapun. Dan yang terpenting sebagai seorang pemimpin kita harus memiliki pribadi yang sangat menghargai pluralisme dan kesatuan bangsa.

*

Jika pemimpin ingin dihargai, maka ia terlebih dahulu belajar menghargai

NASIONALISME TERIAK HINGGA HILANG SUARANYA

Oleh : Bakhrul Amal Mukhtar



Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Sehingga nasionalisme yang tinggi mengahasilkan sebuah ekspresi kecintaan terhadap suatu negara dengan segala bentuk yang menunjukan kecintaanya terhadap suatu negara tersebut. Tidak jarang rasa nasionalisme di tunjukan dengan berteriak lantang untuk menunjukan kecintaanya terhadap bangsa karena merasa identitas bangsanya telah di curi. Siapakah yang mencuri ? tentunya mencuri itu bisa diartikan dari dalam serta dari luar, contohnya adalah rezim soeharto yang dinilai mengubur nasionalisme dan itu bisa dijadikan contoh mencuri nasionalisme dari dalam.

Dengan adanya momentum rezim Soeharto mereka yang berbentengkan Nasionalisme seolah muncul dan berteriak dengan sebutan kaum Nasionalis yang peduli terhadap bangsa itu. Dan terbukti dengan semangat ini berhasilah mereka menurunkan Soeharto dari kursi presiden Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun memimpin Indonesia. Apakah dengan begini Nasionalisme terhadap bangsa ini sudah dijalan yang lurus ? belum tentu . Karena nyatanya jiwa itu dilanggar oleh seorang Nasionalis itu sendiri, bukankah seorang nasionalis itu seharusnya mencintai bangsa ini dengan segala peraturanya, dengan menaati peraturan itu adalah suatu bentuk nasionalisme yang real terhadap Indonesia.

Lebih baik diam dan belajar bibanding dengan berteriak-teriak seolah berjiwa nasionalis, tetapi pada akhirnya suara itupun hilang dengan berjalanya “bisnis politik” ataupun sesatu yang lebih menguntungkan pribadi. Kita teruskan pada saat jatuhnya Soeharto terpilihlah presiden baru yaitu Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita sebut Gus Dur. Tetapi masa demokrasi bersama Gus Dur tidak berlangsung lama beliaupun dilengserkan oleh Sidang Istimewa (SI) MPR yang menurut saya melanggar UUD dan terkesan adanya “bisnis politik” karena,

Pertama Undanganya (yang diterima Presiden dari Ketua MPR Amien Rais-red) menyebutkan negara dalam keadaan bahaya, sedangkan pengumuman negara dalam bahaya, terutama dipakai untuk apa, itu adalah hak presiden menurut pasal 12 UUD 1945.

Kedua, terjadi penyimpangan agenda, semula Gus Dur akan di periksa masalah bulog dan masalah Aceh berdasarkan Memorandum 1dan Memorandum 2. Padahal semuanya telah dijawab secara lugas dan jujur oleh Gus Dur. Karena tidak ada alesan yang sesuai maka dinyatakan bahwa yang diperiksa adalah Kapolri Chaerudin sebagai PJS. Yang menurutnya menunggu ketentuan atau persetujuan DPR menurut Tap MPR, tetapi Tap MPR nya belum ada pelaksanaanya sehingga pada saat itu masih di tunggu. Padahal Gus Dur melakukan itu menurut permintaan Akbar Tandjung yang pada saat itu menjabat seagai ketua DPR. Tetapi entah berbohong atau tidak seorang Akbar Tandjung diketahui pada saat itu membantah, menurut pengakuan pada saat itu Gus Dur memiliki saksi yang siap di periksa di bawah sumpah.

Ketiga, seharusnya pemeriksaan terhadap Presiden adalah bahwa pemeriksaan atas seorang Presiden itu harus menyangkut pengkhianatan. Sedangkan pada saat itu belum pernah Gus Dur melakukan pengkhianatan,padahal yang ada adalah pada saati itu pemutihan keresahan masyarakat , tidak tenangnya masyarakat dan sebagainya dikatakan gara-gara pengangkatan PJS Kapolri oleh Pak Chaerudin. Jadi menurut saya ini sungguh menyimpang dari UUD 1945. Ini didasari ketentuan bahwa tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya wewenang Gus Dur.

Kemudian yang ke empat adalah, seharusnya menurut tata cara yaitu prosedurnya, itu kalau memang Gus Dur di periksa karena masalah Chaeruddin, itu seharusnya DPR menetukan, mengirim Momerandum 1 dan Memorandum 2, tetapi hal ini pun tidak dilakukan.

Dari sini jelas terlihat bahwa penurunan Gus Dur ini adalah sebuah “bisnis politik” yang sangat menjijikan yang menelanjangi bangsa Indonesia. Apalagi tersiar kabar pada saat itu, ada kata-kata dari pihak MPR yang diucapkan langsung oleh ketuanya pada saat itu Amie Rais setelah melakukan siding “bisnis politiknya” di Kebagusan (rumah pribadi Megawati Soekarnoputri) dengan bertemu dengan beberapa pimpinan partai bahwa dalam waktu dekat ini, Insya Allah, kita akan memperoleh kepala negara baru.

Inilah apa yang saya sebut “Nasionalisme teriak hingga hilang suaranya”, saya hanya ingin menunjukan kejujuran yang seharusnya kita temukan jawabanya. Apa yang dituduhkan kepada Gus Dur tentang masalah bulog dan Aceh yang menjadi dasar pelengseranya pada saat itu sampai saat ini tidak pernah terbukti. Kecurangan-kecurangan seperti ini adalah salah satu bibit hancurnya negara kita.

Permasalahan pelengseran Gus Dur yang kita sebut kecerungan ini terbukti menjadi momok tersendiri bagi calon Presiden kedepanya di bumi Indonesia. Terlihat dari ketakutan SBY saat ini, yang terkesan lebih mementingkan lobi-lobi politik daripada kepentingan yang lebih penting yaitu kemajuan bangsa Indonesia. Sehingga saat ini munculah koalisi dan oposisi yang sekarang seolah menjadi trend perpolitikan Bangsa yang kita cintai yaitu Indonesia.

Dan dengan adanya momok seperti ini saya yakin sampai kapanpun demokrasi, penangulangan korupsi ataupun penegakan HAM di negera ini tidak akan pernah menemukan titik temu jika kita tidak memiliki pemimpin yang nekat. Pemimpin kita sekarang seolah dipaksa menjadi pengecut, bahkan takut dengan apa yang dipimpinya sekalipun notabene ia adalah kepala negara. Sampai kapan ini harus terjadi ? yang bisa menjawabnya adalah kita penerus bangsa Indonesia.

Sekarang yang perlu dilakukan oleh bangsa ini adalah mau terus larut dalam urusan pribadi yang seperti ini, atau bersama-sama bangkit menuju Indonesia yang maju dan bersatu. Sebagai akhir menurut hemat saya pemimpin yang di butuhkan Indonesia adalah pemimpin yang nekat tentu nekat dalam artian yang positif, yaitu berani, jujur, tegas, terbuka, adil, tak pandang bulu, dan tentunya berjuang sepenuh hati tulus karena kecintaanya terhadap bangsa Indonesia.

AMALISME

Senin, 15 November 2010

HUKUM PROGRESIF

Oleh: Prof (Emiritus) Dr. Satjipto Rahardjo, SH



Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal (Rahardjo, 2004). Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat.

Kata Kunci: Arsenal, Hukum Progresif, Pembebasan diri.



A. Pendahuluan

Dalam beberapa nomor terdahulu, jurnal ini telah dibicarakan tentang gagasan hukum progresif, maka dalam risalah sekarang, akan dijelajahi kekuatan dan kemampuan apa saja yang ada dalam progresif, yang dapat disumbangkan kepada pembangunan hukum di negeri kita. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di sekitar apa yang secara konkrit dilakukan oleh hukum-hukum progresif. Berdasarkan hal-hal itulah artikel ini diberi judul “arsenal hukum progresif”.

Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong makin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survai malah menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan.

Mungkin baik untuk memulai risalah ini dengan membicarakan moral hukum progresif. Kandungan moral ini adalah kepedulian yang tidak kunjung berhenti, mengenai bagaimana mendorong hukum untuk memberikan yang lebih baik dan lebih baik lagi kepada bangsanya. Salah satu perwujudan moral tersebut adalah pada waktu dibicarakan tentang hukum progresif sebagai kesinambungan antara merobohkan dan membangun (Jurnal Hukum Progresif Volume 2, Nomor 1/April 2006). Moral hukum progresif ingin mendorong agar cara kita berhukum tidak pernah mengenal waktu untuk berhenti, melainkan selalu ingin melakukan sesuatu menuju kepada keadaan yang lebih baik.

Kandungan moral yang demikian itu disebabkan oleh penerimaan paradigma manusia di atas paradigma aturan (rule). Sejarah hukum menjadi saksi tentang bagaimana, dari waktu ke waktu, dari abad ke abad, manusia bergulat dengan dan membangun tatanan kehidupannya. Ada satu tragedi di situ, yaitu tentang keinginannya untuk membangun satu tatanan, tetapi pada waktu yang sama tatanan itu dirombaknya kembali, karena manusia merasa tidak betah tinggal di situ.

Amandir-mengamandir Undang-Undang Dasar mungkin merupakan contoh yang baik mengenai tragedi tersebut. Bangsa Indonesia membuat Undang-Undang Dasar dengan tujuan agar kehidupannya lebih mapan untuk waktu yang abadi. Dalam waktu berpuluh-puluh tahun, lebih dari setengah abad, memang ia berhasil mewujudkan mimpinya itu, tetapi tidak lebih lama daripada itu. Kompromi antara menjaga kelestarian dan perubahan dilakukan dengan membuat amandemen-amandemen.

Pada masa awal reformasi, di penghujung tahun 90-an, pemerintahan Habibie mencapai rekor produksi perundang-undangan dalam masa transisi yang pendek. Apabila dikaitkan pada reformasi, maka pada waktu itu, problem-problem dalam reformasi seolah-olah telah dijawab dengan memroduksi undang-undang atau dapat juga dikatakan, bahwa reformasi hukum dilakukan dengan memproduksi undang-undang secara masal. Tetapi jawaban yang demikian itu tidak menyelesaikan masalah, karena ia tidak bergeming sesudah “digelontor” dengan sejumlah besar undang-undang baru.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa terdapat kesalahan dalam cara bangsa ini berhukum. Konklusi tersebut mendorong kita untuk melihat kembali kepada cara-cara yang dilakukan dalam mewujudkan negara hukum. Negara hukum adalah sebuah bingkai (framework) besar yang memuat prinsip-prinsip yang menuntun cara bangsa untuk menata (organize) serta menyalurkan proses-proses dalam masyarakat, sehingga tercapai tujuan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain dalam bernegara tersebut. Ada hal yang kurang benar dalam cara kita berhukum, sehingga dengan cara yang selama ini dijalankan masyarakat menilai hukum tidak bekerja dengan baik.

Artikel ini merupakan kelanjutan dari tulisan-tulisan mengenai hukum progresif yang lalu (baca beberapa nomor “Jurnal Hukum Progresif”) dengan menjelajahi lebih lanjut hal apa saja yang dapat dilakukan oleh hukum progresif untuk mengubah dan memperbaiki kualitas berhukum. kita. Dengan demikian tulisan ini dibuat dengan maksud untuk meneliti dan mengiventariser sekalian potensi kekuatan dan pemikiran, sebagai suatu arsenal yang dimiliki hukum progresif.



B. Pembahasan



Gagasan hukum progresif lahir di tengah-tengah kegalauan sebagaimana diuraikan di atas, dan karena itu lebih sarat dengan keinginan untuk bertindak daripada suatu kontemplasi abstrak. Namun demikian, karena ia dilontarkan dan berasal dari komunitas akademik, maka pemikiran-nyapun perlu bersifat komprehensif dan di sini pemikiran teoritispun tak dapat ditinggalkan.

Hukum progresif mengajak bangsa ini untuk meninjau kembali (review) cara-cara berhukum di masa lalu. Cara berhukum merupakan perpaduan dari berbagai faktor sebagai unsur, antara lain, misi hukum, paradigma yang digunakan, pengetahuan hukum, perundang-undangan, penggunaan teori-teori tertentu, sampai kepada hal-hal yang bersifat keperilakuan dan psikologis, seperti tekad dan kepedulian (commitment), keberanian (dare), determinasi, empati serta rasa­-perasaan (compassion).

Pada aras dasar yang formal, maka perundang-undangan dan sekalian kelengkapan untuk menjalankannya (enforce) segera menyedot perhatian kita. Sejak Indonesia adalah sebuah negara hukum, maka konstitusi dan perundang-undangan menjadi landasan untuk bertindak. Sekalipun demikian, kendati sama-sama mendasarkan pada hukum, belum tentu sekalian orang juga sama dalam memaknai hukum atau undang-undang itu. Perbedaan dalam memaknai hukum berlanjut pada cara berhukum.

Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks itu dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang-­undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum sudah menjadi masinal, ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, sudah menjadi sekrup-sekrup belaka dari mesin yang besar itu.

Lebih daripada itu, maka gaya berhukum dengan tradisi civil law tersebut cenderung kuat untuk menerima hukum sebagai skema yang final (finite scheme), bukan sebagai panduan yang progresif, berbeda dengan common law yang bertumpu pada pengadilan. Hukum adalah sesuatu yang sudah selesai dibuat (oleh legislatif) (geleerd recht, van den Bergh, 1980) dan bukan sesuatu yang setiap kali dibuat (oleh pengadilan). Dengan cara berhukum seperti itu menjadi tidak mudah bagi hukum untuk mengikuti dinamika kehidupan. Cara ini saya namakan sebagai cara berhukum yang mem-pertahankan status quo.

Hukum progresif ingin mengajak masyarakat untuk memahami betapa keliru menerima hukum sebagai suatu status quo, sebagai institut yang secara mutlak harus diabadikan. Pemahaman seperti itu akan mengatakan, bahwa hukum yang ada harus diterapkan “at all cost”. Hukum adalah suatu skema dan suatu skema yang final (finite scheme). Tidak ada cara berhukum yang lain, titik. Hukum progresif mengajak masyarakat untuk melihat kekeliruan tersebut sebagai faktor penting yang menyebabkan kinerja hukum menjadi buruk.

Cara berhukum yang status-quo sentries, lazim bergandengan dengan alam pikiran positivistik-analitis. Di sini orang lebih membaca undang-undang sebagai mengeja undang-undang, daripada membacanya secara bermakna. Memang, untuk menjadi sekrup dari mesin hukum yang baik, maka menjalankan hukum secara bermakna dapat menjadi penghalang. Mengikuti saja apa yang telah ditulis dianggap sebagai cara berhukum yang benar, sedang mencoba menggali makna dari apa yang tertulis akan menyebabkan jalannya mesin menjadi tersendat-sendat.

Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo tersebut[1]. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (aktor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal [2]. Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat. Indonesia sebetulnya tidak kering dari contoh-contoh hakim dan jaksa yang memiliki disposisi personal (baca: keberanian) seperti itu. Sebutlah Gatot Mangkupradja, Baharudin Lopa, Adi Andojo Soetjipto, dan lain-lain. Hakim dan jaksa yang berani dan berintegritas itu tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di pelosok-pelosok tanah air dan tidak dikenal oleh masyarakat. Karena mereka hanya “jaksa kecil” saja, maka apabila berani bertindak di luar garis komando, dengan mudah dipindah ke tempat lain yang terpencil. Mereka ini adalah jaksa-jaksa kecil yang berani, tetapi menjadi korban dari doktrin “kejaksaan adalah satu dan tidak dapat dipecah-pecah” (een en ondeelbaar).

Berbicara dalam terma tipologi, maka cara berhukum progresif dimasukkan ke dalam tipe berhukum dengan nurani (conscience). Berhukum sebagai mesin bertolak belakang dengan tipe hukum bernurani ini. Penilaian keberhasilan hukum tidak dilihat dari diterapkannya hukum materiel maupun formal, melainkan dari penerapannya yang bermakna dan berkualitas.

Cara berhukum itu tidak hanya menggunakan rasio (logika), melainkan juga sarat dengan kenuranian atau compassion. Di sinilah pintu masuk bagi sekalian modalitas seperti tersebut di atas, yaitu empati, kejujuran, komitmen dan keberanian. Dengan demikian maka kita akan berbicara mengenai “nurani pengadilan” (conscience of the court), “nurani kejaksaan”, “nurani advokat” dan seterusnya.

Kendatipun hukum progresif sangat menekankan pada perilaku nyata dari para aktor hukum, namun ia tidak mengabaikan peran dari sistem hukum di mana mereka berada. Dengan demikian hukum progresif memasuki dua ranah, yaitu sistem dan manusia. Keduanya membutuhkan suntikan yang mencerahkan sehingga menjadi progresif. Para pelaku boleh bertindak progresif, tetapi apabila sistemnya menghambat, seperti cerita tentang jaksa kecil di atas, maka tindakan mereka menjadi sia-sia belaka. Seorang jaksa yang berpikiran dan bertindak progresif akan terbentur pada tembok “satu dan tidak dapat dipecah-pecah” itu. Alih-alih menjadi “pahlawan”, mereka malah menjadi orang yang bersalah (culprit). Hal yang sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu manakala sumberdaya manusia yang menjalankan hukum itu tidak berwatak dan berpikir progresif.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka progresifitas menyangkut, baik peran pelaku hukum, maupun sistem itu sendiri. Keadaan menjadi ideal, manakala baik manusia maupun sistemnya sama-sama progresif. Para aktor dalam hukum belch progresif, tetapi, seperti contoh di atas, apabila sistemnya tidak mendukung, maka mereka yang progresif malah akan menjadi pihak yang salah (culprit). Dengan demikian, dalam konteks ide hukum progresif, maka kita perlu juga untuk meneliti mana-mana sistem yang menghambat atau berpotensi menghambat laju hukum progresif.

Hal yang sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu manakala sistem dan sekalian perangkat lunak telah dirancang dengan progresif, tetapi apabila sumberdaya manusia yang ada tidak progresif, maka rancangan tersebut tak dapat diwujudkan secara optimal.

Namun, seraya berupaya membangun sistem yang progresif, langkah yang segera dapat dilakukan adalah menyediakan pelaku-pelaku yang bermental progresif. Inilah sesungguhnya yang di sana-sini terjadi di negeri kita. Hakim-hakim, seperti Adi Andojo Soetjipto, Bismar Siregar, Benjamin Mangkudilaga, serta jaksa, seperti Baharudin Lopa, adalah contoh pelaku-pelaku yang berani “menempatkan diri di luar sistem” yang ada, dengan risiko yang kita semua sudah tahu. Lopa, bahkan sempat “masuk kotak” sebagai staf ahli menteri, sebelum kemudian “direhabilitasi” menjadi Jaksa Agung. Sedikit cahaya terang tidak hanya bersinar di pusat Jakarta dan hanya dimonopoli oleh pelaku-pelaku besar, tetapi juga di tingkat lokal dan oleh orang-orang kecil.

Studi Bank Dunia yang dikemas dalam laporan berjudul “Menciptakan Peluang Keadilan”[3], lebih memastikan, bahwa pada tingkat dan “pelaku-pelaku kecil” masih dapat dijumpai orang-orang yang cukup progresif, kendatipun dengan inisiatif sendiri dan harus berani menanggung risiko sendiri pula. Seorang hakim pengadilan negeri di Sumatera Barat mengatakan, “Jakarta tidak memperhatikan orang-orang seperti saya”.

Hukum tak dapat hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memahami dan menyadari, bahwa ia tertanam dalam struktur politik tertentu. Dahulu, pada masa pemerintahan Presiden .Suharto, dominasi, bahkan hegemoni kekuatan politik Suharto sangat besar. Hukum hampir menjadi identik dengan “kemauan” Suharto. Siapa yang berani melawannya akan ditumpas. Dalam iklim politik yang demikian itu, maka hukum menjadi aman dengan berlindung di bawah kekuasaan politik. Baik hakim, jaksa dan lain-lain akan selamat, selama mereka mengikuti dan menjalankan kemauan politik yang berkuasa. Putusan-putusan pengadilan yang progresif akhirnya akan dimentahkan pada tingkat pengadilan tertinggi, seperti kasus-kasus “Tempo” dan “Kedungombo”. Demikian pula dengan hakim yang memiliki keberanian dan integritas, seperti Adi Andojo Soetjipto dan jaksa, seperti Baharudin Lopa, yang sempat dimasukkan ke dalam kotak staf ahli. Hanya pergantian kekuasaan politik yang mampu memulihkan citra Lopa yang sebenarnya dan “direhabilitasi” menjadi Jaksa Agung.

Sistem hukum yang progresif pada intinya adalah sistem yang mampu membebaskan pikiran dan kekuatan progresif dalam hukum, bukan malah menghambat dan membelenggunya. Sebuah disertasi yang ditulis oleh Yudi Kristiana[4], barangkali dapat menjadi contoh mengenai gagasan pembangunan sistem yang progresif, dalam hal ini sistem kejaksaan. Dalam studinya terhadap kejaksaan Indonesia, Kristiana menemukan, bahwa “(B)irokrasi kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi masih konvensional. Hal ini ditandai dengan karakter birokrasi yang melekat yaitu: bersifat birokratis, sentralistik, menganut pertanggungjawaban hirarkis dan berlaku sistem komando. Keempat karakter itu diturunkan dari doktrin bahwa ‘kejaksaan adalah satu’ (een en ondeelbaar)”.

Menurut Kristiana, pertanggungjawaban hirarkis dari bawah ke atas merupakan salah satu sisi lemah sistem kejaksaan. Pertanggungjawaban model tersebut menjadikan (penyalahgunaan) kekuasaan dalam birokrasi tidak terkontrol, sejauh ada saling pengertian pada semua lini. Struktur yang birokratis-sentralistik itu menjadikan kejaksaan rawan terhadap berbagai hal atau praktik negatif.

Sistem hukum tidak kunjung menjadi progresif apabila kita tidak memiliki badan pembuat undang-undang yang progresif pula. Sistem hukum itu bertumpu pada perundang-undangan. Manakala produk legislatif itu sendiri tidak memberi peluang kepada muncul dan berperannya kekuatan-kekuatan progresif dalam hukum, maka sistem hukum itu sendiri hanya menjadi sumber dari ketidakprogresifan itu. Dari studi Yudi Kristiana ditemukan, bahwa birokrasi dan sentralisme yang ketat menghambat munculnya pikiran progresif dan lebih menyuburkan terjadinya praktik yang tercela.

Hukum progresif menghendaki agar cara berhukum kita tidak mengikuti model status quo, melainkan secara aktif mencari dan menemukan avenues baru sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih meningkat. Oleh karena itu hukum progresif sangat bersetuju dengan pikiran-pikiran kreatif dan inovatif dalam hukum untuk menembus kebuntuan dan kemandekan.

Membaca Laporan Bank Dunia berjudul “Menciptakan Peluang Keadilan”[5], kegalauan kita terhadap kehidupan hukum di Indonesia menjadi sedikit terobati. Laporan tersebut didasarkan pada penelitian “Village Justice in Indonesia” dan “Terobosan dalam Penegakan Hukum di Tingkat Lokal”. Dalam laporan tersebut ditemukan orang-orang yang mandiri, baik di kejaksaan maupun pengadilan, yang atas inisiatif dan risiko sendiri menciptakan peluang keadilan di tingkat lokal. Dikatakan sebagai menciptakan peluang, karena mereka tidak bekerja menurut “teks”, melainkan secara kreatif membuka peluang untuk “bringing justice to the people”. Orang-orang seperti itu sudah bekerja “beyond the call of duty” dan tidak hanya bekerja menurut permintaan “kantor”. Berikut ini adalah beberapa contoh tentang pekerjaan orang-orang seperti itu sebagaimana ditemukan dalam studi Bank Dunia tersebut.

Indro Djoko Pramono, seorang jaksa di Cilacap, berhasil menyelesaikan kasus korupsi yang ditanganinya sejak dari penyusunan berita acara hingga mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi sampai mengeksekusi, hanya dalam waktu empat setengah bulan, sedangkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kasus yang sama adalah dua tahun.

Sahlan Said, hakim di Yogyakarta, memfasilitasi demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis LSM pemantau keadilan terhadap pengadilan negeri tempat is bertugas, untuk mencegah terjadinya kesalahan penanganan perkara dalam sebuah kasus korupsi yang cukup besar.

Hakim Gunawan Gusmo, berhasil memediasi 14 perkara perdata selama tahun 2003, sedang upaya untuk mendamaikan para pihak di luar proses hukum formal, yang disyaratkan oleh hukum acara perdata selama ini hanyalah lip service belaka.

Irfanuddin, seorang hakim pengadilan negeri di Lampung, dalam kondisi di bawah tekanan, intimidasi dan ancaman, mampu menghukum seorang pejabat lokal yang melakukan tidak pidana korupsi. Putusan hakim Irfanuddin merupakan terobosan, karena berisi beberapa klausula yang mengantisipasi persoalan berkaitan dengan eksekusi putusan tersebut, yaitu untuk setiap 25 juta dari denda dan dana korupsi yang tidak dikembalikan terpidana, diganti dengan penjatuhan hukuman penjara selama satu tahun. Berdasarkan ancaman sanksi tersebut maka denda dan danapun dibayar oleh terhukum.

Jaksa Muhammad Yamin dan sejawatnya yang lebih yunior, Muhammad Yusuf, memperketat kelulusan bagi seorang calon jaksa yang mengikuti pendidikan pelatihan calon jaksa pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung. Akibatnya dalam beberapa tahun, saat mereka bertugas di sana, tidak semua calon jaksa yang mengikuti pendidikan otomatis lulus sebagai jaksa. Pada masa sebelumnya, kelulusan para jaksa dijadikan komodifikasi.

Sri Suari, Kepala Sektor Kepolisian Sektor Khusus Bandara Soekarno-Hatta, mengambil langkah-langkah untuk mencegah pemerasan terhadap tenaga kerja yang baru datang dari luar negeri. Diproyeksikan pada penanganan kedatangan tenaga kerja luar negeri yang semrawut, langkah tersebut memberikan cahaya harapan.

Sewaktu menjabat Wakil Jaksa Tinggi di Sumatera Barat, jaksa Soehandojo secara bersungguh-sungguh memimpin investigasi dan penyusunan dakwaan korupsi terhadap sebagian besar anggota DPRD Sumatera barat. Apa yang berhasil dilakukan di Sumatera Barat akhirnya menjadi model penanganan kasus korupsi serupa di daerah-daerah lain.

Di samping prestasi yang dilaporkan oleh Bank Dunia tersebut, saya teringat kepada apa yang pernah dilakukan oleh hakim Bismar Siregar pada tahun 70-an, saat memimpin salah satu pengadilan negeri di wilayah Jakarta. Pada waktu itu hakim Bismar Siregar mencantumkan pengumuman yang ditempel di pengadilan negeri, yang meminta agar mereka, yang berperkara di pengadilan negeri itu, mendepositokan uang sebesar 25 ribu rupiah. Dalam pengumuman tersebut dijelaskan, bahwa uang tersebut akan digunakan untuk biaya rutin sehari-hari, seperti pembelian kertas, karbon dan doorsmeer mobil dinas dan lain-lain. Pada bagian akhir pengumuman tersebut dicantumkan, bahwa sejak hari itu, tidak ada alasan sidang-sidang dimulai terlambat.

Para aktor penegakan hukum tersebut dimasukkan ke dalam golongan pelaku hukum progresif berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, mereka tidak dibelenggu oleh keadaan status quo, baik itu berupa peraturan maupun kebiasaan. Dengan latar belakang peraturan dan tradisi yang sama, mereka telah mematahkan itu semua dengan melakukan terobosan-terobosan tertentu. Mereka secara konkrit dan atas inisiatif sendiri, telah menaikkan tampilan (performance) pekerjaannya dengan standar “beyond the call of duty”. Kita mendapat potret tentang bagaimana suatu tugas hukum itu dapat dilaksanakan dengan cara yang bermacam-macam. Ia dapat dilaksanakan dengan cara biasa menurut peraturan dan secara luar biasa.

Kedua, mereka telah membuktikan dan mempraktikkan tesis hukum progresif, bahwa hukum itu tidak hanya peraturan tetapi juga perilaku, atau dalam versi Holmesian Dictum yang terkenal itu berbunyi, “The life of the law has not been logic; it has been experience”[6] (Holmes 1963). Tentang hal tersebut, pada waktu menulis buku Common Law, Holmes mengatakan sebagai berikut: “To accomplish the task, other tools are needed besides logic. it is something to show that the’ consistency of a system requires a particular result, but it is not all. The life of the: law has not been logic; it has been experience. The felt necessities of the time, the prevalent moral and political theories, institutions of public policy, avowed or unconscious, even the prejudices which judges share with their fellow-men, have had a good deal more to do than syllogism in determining the rules by which men should be governed. The law embodies the story of a nation’s development through many centuries, and it can not be dealt with as if it contained only axioms and corollaries of a book of mathematics.”

Ketiga, mereka juga telah mewujudkan tesis lain dalam hukum progresif, bahwa orang dapat melakukan pembacaan terhadap teks-teks hukum tidak dengan mengeja pasal-pasalnya, melainkan secara bermakna atau mendalami maknanya. Diktum Holmes di atas memperkaya arti menjalankan hukum secara bermakna itu. Hukum ternyata tak dapat diterima dan difahami sebagai sejumlah aksioma atau kitab matematika, melainkan sarat dengan berbagai kekayaan tradisi dan pemikiran. Dengan perbuatan dan langkahnya sebagai perburuan makna itu, mereka mencoba menggali lebih dalam teks-teks hukum sampai ke akar maknanya. Mereka melakukan perburuan progresif seraya menguji seberapa jauh jangkauan peraturan. Terkadang pengujian itu dilakukan secara cukup ekstrem, seperti dilakukan oleh hakim Bismar Siregar, pada waktu menaikkan sendiri batas maksimum denda sebagaimana tercantum dalam peraturan. Protes yang ditujukan terhadap putusannya itu dijawabnya dengan mengatakan, “Di dalam ruang sidang ini sayalah undang-undang itu”.

Apa yang dilakukan oleh sejumlah aktor hukum progresif itu sesungguhnya menjawab tantangan yang sekarang sering dilontarkan orang, bahwa kita berada dalam situasi luar biasa dan karena itu perlu menjawabnya dengan perilaku yang luar biasa pula. Jumlah mereka memang tidak banyak, oleh karena rupanya tidak mudah untuk bertindak secara luar biasa itu. Tidak hanya dibutuhkan pemahaman, melainkan juga keberanian (dare) untuk mewujudkannya. Hukum progresif memfasilitasi perbuatan luar biasa tersebut. Oleh karena itu ia tak dapat menerima langkah dan putusan yang justru bersifat anti-progresif (counter progressive).

Hukum progresif menghendaki agar mereka yang berani berpikir dan bertindak “beyond the call of duty” itu justru tidak dibuang dan dikucilkan. Keadaan yang menyedihkan itu sempat muncul di sana-sini, seperti yang terjadi pada hakim Sahlan Said dan jaksa Yudi Kristiana. Sahlan Said harus berenang di laut yang tidak bersahabat dengan cara dan etos kerjanya yang progresif itu. Dalam Laporan Bank Dunia dikatakan, bahwa menjaga integritas dan motivasi kerja di tengah lingkungan yang tidak kondusif sangatlah sulit. Jangankan dihargai, seorang reformis yang vokal sering dicap oleh sejawatnya sebagai tidak memiliki kesetiakawanan, atau Sahlan Said sendiri. mengajukan pengunduran diri sebagai hakim setelah dipromosikan sebagai hakim pengadilan tinggi di Sulawesi Tenggara.

Nasib serupa juga menimpa jaksa Yudi Kristiana yang di tengah kesibukannya menuntaskan sebuah perkara korupsi di Jawa Tengah, dimutasikan ke kecamatan Pagimana di Luwuk, Sulawesi. Agak berbeda dengan hakim Said Sahlan, Yudi menerima mutasi tersebut dan kembali membongkar beberapa korupsi di Pagimana, kendatipun nilainya kecil, sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Yudi Kristiana sekarang (April 2007) telah menyelesaikan studi doktornya pada Universitas Diponegoro dan bergelar doktor dalam ilmu hukum.

Selanjutnya, para aktor penegakan hukum yang berhasil ditemukan dalam studi Bank Dunia, memperkuat tesis hukum progresif tentang peran dan faktor modalitas dalam penegakan hukum. Hukum bukan karya mesin, melainkan manusia yang penuh dengan nuansa pilihan dan modalitas, seperti kepedulian, empati dan keberanian. Terobos-menerobos menempati kedudukan penting dalam arsenal hukum progresif. Terobosan ini tidak diartikan sebagai perbuatan anarkis, mengatakan, bahwa kita sedang berevolusi, hukum banyak dianggap sebagai penghalang dan oleh karena itu harus dipatahkan. Langkah pertama (1962) yang sangat kasatmata adalah melarang penggunaan gelar “meester in de rechten” (mr) dan digantikan oleh “sarjana hukum”. Waktu perjalanan politik kekuasaan Sukarno sudah sampai kepada ide “Nasakom” (nasional, agama dan komunis), maka majelis hakimpun harus mencerminkan secara fisik keanggotaan ketiga golongan tersebut. Hukum waktu itu mensahkan campur tangan presiden dalam pengadilan. Dalam nomenklatur Nonet dan Selznick, maka hukum yang otonom hampir tidak ada dan Indonesia mundur kembali ke tipe hukum represif [7].

Dijelaskan dari teori Nonet dan Selznick, maka yang ada pada waktu itu adalah suasana “widespread disorganization or unrest” dan dalam situasi sosial yang demikian itu, ” …. the primacy of order is reasserted and overrides other commitments and sensibilities. Even a highly liberal-minded administrator may have to fall back on repressive force if there is no other way of maintaining public order.”

Pemerintahan atau kekuasaan Suharto, menyusul robohnya kekuasaan Sukarno, belum dapat melepaskan sama sekali dari “falling back on repressive force”, sekalipun tidak dilakukan dengan terang-terangan seperti sebelumnya. Awal kekuasaan Suharto dimulai dengan pidato Suharto (1967) yang mengritik keras pemerintahan Sukarno yang dianggap tidak demokratis. Tetapi dalam perjalanannya, pemerintahan Suharto sendiri juga menjadi makin otoriter dan represif yang akhirnya bernasib hampir sama dengan “drama” robohnya kekuasaan Sukarno. Sekalipun pada masa pemerintahannya undang-undang yang membolehkan presiden campur tangan dalam pengadilan dicabut, tetapi itu tidak menutupi kenyataan, bahwa pengadilan tunduk di bawah kekuasaan politik pemerintah atau suatu pseudo independensi pengadilan.

Era politik pasca-Suharto yang disebut sebagai era reformasi adalah suatu masa transisi, yaitu peralihan dari suatu kekuasaan politik yang tertutup-sentralistis­-otoriter menjadi terbuka-transparan-akuntabel. Seperti umumnya sebuah tatanan (order) transisi, maka suasana memang kacau (chaotic): yang lama sudah ambruk dan yang baru belum terbentuk. Meminjam istilah Boaventura de Sousa Santos, kita berada dalam suatu “paradigmatic transition”[8]. Diakui oleh Santos, bahwa peralihan paradigmatis bukan sesuatu yang mudah; ia memakan waktu lama, beberapa dekade, bahkan berabad-abad, seperti peralihan dari feodalisme ke kapitalisme. Barang tentu, magnituda transisi paradigmatis di Indonesia tidak seperti peralihan dari kedua sistem produksi tersebut, tetapi bagaimanapun ia membutuhkan waktu cukup lama. Pengalaman terakhir di negeri kita menunjukkan, bahwa perjalanan menuju suatu tatanan yang baru tidak mudah, karena unsur-unsur dari kekuasaan lama tak dapat lama sekali dihilangkan. Misalnya, seorang pengamat sosial-politik, HS Dillon, seraya mengritik Presiden SBY, yang notabene telah dipilih langsung oleh rakyat, mengatakan, “Mengapa political-will Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak terimplementasi? Ternyata koalisi, membagi-bagi kekuasaan, menyenangkan semua vested-interests yang menghalangi terjadinya perubahan mendasar… Alhasil, orang yang seharusnya dituntut karena pernah menyengsarakan rakyat justru menduduki jabatan terhormat…” [9].

Bagaimanapun, peluang hukum progresif lebih besar dalam era reformasi ini, daripada apabila ia harus bekerja dalam era politik sebelumnya. Keterbukaan dan akuntabilitas menjadi lahan politik yang penting bagi hukum progresif. Semakin meluasnya keberanian untuk menggugat kekuasaan publik memberi dorongan kepada hukum progresif, yang lebih banyak bertumpu pada otentisitas daripada formalitas. Berdasarkan sekalian hal yang diuraikan di atas, hukum progresif sangat berkepentingan agar iklim politik yang demikian itu tetap terjaga dan tidak malah menciut.

Profesionalisme dan keprofesionalan menjadi unsur kekuatan yang penting pula dalam hukum progresif. Kendati penting, di sini profesionalisme tidak berhenti ide “profesionalisme untuk profesionalisme”, melainkan senantiasa mengajukan pertanyaan lebih jauh (ultimate question), “profesionalisme untuk apa?”. Kritik Gerry Spence terhadap keprofesionalan para lawyers Amerika Serikat menggugah kita untuk menukik lebih dalam kepada masalah keprofesionalan ini[10].

Keprofesionalan para lawyers, menurut Spence, ternyata menjadi kurang berarti, bahkan mengganggu, manakala tidak diarahkan kepada tujuan kemanusiaan yang lebih tinggi. Kritik terhadap mereka itu ditujukan kepada ketidakmampuan (incompetence) untuk memberikan pelayanan kepada publik. Masyarakat datang ke kantor-kantor advokat, karena mempunyai persoalan dengan keadilan. Mereka adalah orang-orang yang sedang susah dan menderita dan karena itu mereka berfikir untuk pergi ke advokat meminta bantuan agar keluar dari kesusahannya itu. Tetapi, para lawyers berfikir lain, tidak seperti diharapkan oleh masyarakat. Mereka lebih melihat publiknya sebagai aset untuk mendapatkan keuntungan materiel, bukan sebagai orang susah yang memerlukan pertolongan, “Most lawyers, … are incompetent … But most lawyers don’t recognize their incompetence. That’s because their incompetence begins not as lawyers, but as human beings”, demikian Spence. Sudah sejak mereka menginjakkan kaki memasuki sekolah-sekolah hukum, rasa kemanusiaan mereka dimatikan. Mereka tidak didorong (encouraged) “to become candid, caring, and compassionate human beings”. Dengan nada getir, Spence mengatakan, bahwa lebih baik orang pergi ke juru rawat untuk minta pertolongan. “When the student graduates from law school and passes the bar, he is equipped to do substantially nothing in the nation’s quest for justice. He is more suited to labor in some dark hole in a mammoth corporate law firm and bill out his services at hundreds of dollars an hour than he is to enter a plea of not guilty on behalf of a citizen charged with a crime and to thereafter competently defend him. I would rather to hire a good nurse to help me than a young lawyer fresh out of the moldy academic covers. The nurse went to nursing school not only to make a living but to do so by helping people… to listen to people, to hear their complaints, to care about them, to treat them … The young lawyers … can do little except what they were taught in law school - to read cases and to speak in legalese that no one can understand, nor cares to.”

Hukum progresif akan selalu gelisah mengamati kemampuan hukum untuk mensejahterakan manusia dan ini menjadi persoalan besar. Oleh karena itu semangat hukum progresif adalah semangat yang tidak henti-hentinya mengamati grafik kemampuan tersebut. Di dalamnya juga tersimpan usaha untuk melakukan pencarian terhadap apa yang dapat dikerjakan untuk memecahkan persoalan besar tersebut. Hampir tidak ada yang final dalam hukum, oleh karena suatu keberhasilan pasti juga menyimpan bibit-bibit kegagalan, bagaimanapun kecilnya. Berhubungan dengan itu, maka hukum progresif juga dapat dipersepsikan sebagai suatu pikiran yang secara terus-menerus ingin memperbaiki atau menyempurnakan dirinya.

Dalam kaitan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka semangat pembebasan merupakan bagian integral dalam hukum progresif. Ia tidak ingin terjebak ke dalam cara berhukum yang statis apalagi stagnan. Tanpa kemauan untuk melakukan pembebasan sebagai kekuatan yang dimilikinya, hukum progresif akan kehilangan jati-dirinya.

Pada saat mengamati pemberantasan korupsi yang kurang berhasil, hukum progresif mencurigai konsep liberal yang sangat dijunjung tinggi dalam sistem peradilan kita, sebagai penyebabnya. Penelitian terhadap asal-usul sosial dan kultural dari hukum modern menunjukkan, bahwa hukum modern dengan sekalian kelengkapan konsep, doktrin, asas serta teori, didominasi oleh pikiran liberal[11]. Individu dan kemerdekaan atau kebebasan individu, dan bukan yang lain, merupakan sumbu berputarnya hukum.

Marc Galanter, telah melakukan penelitian yang bagus tentang sistem peradilan yang liberal itu dan bagaimana implikasinya terhadap keadilan dalam masyarakat[12]. Kredo dari hukum liberal berisi penolakan terhadap diskriminasi. Maka tugas hukum dianggap selesai manakala telah berhasil untuk membuat produk yang tidak diskriminatif. Untuk selanjutnya segala sesuatunya kemudian diserahkan kepada pasar sosial. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang boleh mengintervensi, seperti tercermin dalam slogan “laissez fairer, laissez passer”.

Persoalan segera muncul pada waktu hukum yang non-diskriminatif tersebut diterapkan dalam masyarakat. Masyarakat tidak terdiri dari individu dan golongan yang setara (equal), melainkan sarat dengan ketidaksetaraan (unequalities), baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Dalam suasana asimetri antara hukum dan masyarakat tersebut, maka terbuka peluang besar bagi mereka yang tergolong “orang berpunya” (the haves) untuk selalu unggul karena memiliki sumber daya (resource) lebih, sehingga. muncul ungkapan “the poor pay more” atau menurut Galanter “the haves come out ahead”. Dalam tulisannya itu, Galanter ingin “… to try to put forward some conjectures about the way in which the basic architecture of the legal system as a means of redistributive (that is systematically equalizing) change… It is a society in which actors with different amounts of wealth and power are constantly in competitive or partially cooperative relationships in which they have opposing interests.” Dalam suasana seperti itu, “Resources on the institutional side are insufficient for timely full-dress adjudication in every case, so that parties are permitted or even encouraged to forego bringing cases and to “settle” cases, — that is, to bargain to a mutually acceptable outcome.”

Keadaan asimetri yang tetap dipertahankan itulah yang kemudian menjadi sasaran dari suatu gerakan yang dikenal sebagai “critical legal studies movement”, yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 70-an. Pada waktu mengantar suatu buku bunga-rampai dalam studi hukum kritis tersebut, Alan C. Hutchinson (1989) menulis, “The vast bulk of this mainstream scholarship is devoted to describing and justifying the role of the judiciary within a liberal democracy: how do extant legal materials and practices and constrains judges so as to satisfy the democratic demand for judicial objectivity and popular demand for social justice?” Kendatipun terdapat beda-beda pikiran dalam gerakan tersebut, namun menurut Hutchinson semua bersepakat “menyerang” bangunan hukum liberal itu. “But the members unite in their common opposition to the intellectual and political dominance of the liberal establishment. Although liberalism once contributed to the improvement of the social lot, it has now outlived its usefulness and has become dangerous political anachronism. Offended by the hierarchical structures of domination that characterized modern society, CLS people work toward a world that is more just and egalitarian. They do not wish to embroider still further the patchwork quilt of liberal politics, but strive to cast it aside and reveal the vested interests that thrive under its snug cover…”

Pada waktu dihadapkan kepada ketimpangan antara hukum dan keadaan sosial, maka hukum progresif akan menyarankan pengambilan langkah-langkah yang lebih pasti (affirmative) untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Maka apa yang tidak dapat dibenarkan atau disahkan oleh faham liberal, yang menolak campur tangan, menjadi sesuatu yang dibenarkan. Di sini, misalnya, kita terpikir pada langkah atau tindakan yang disebut diskriminasi positif[13]. Dalam pengantar buku J.B. Sloot yang berjudul “Positieve discriminatie”, Schuyt mengatakan, bahwa melihat ketidaksamaan yang menyolok dalam masyarakat telah memicu “gelijkberechtiging”, yaitu keinginan untuk memperoleh kesamaan. Seraya mengritik tesis liberal mengenai kesamaan formal di hadapan hukum, Schuyt mengatakan, “Gelijkheid voor de wet - zo blijkt herhaardelijk - is hiertoe niet een voldoende, zij het wel de noodzakelijke voorwaarde.” Tabrakan antara asas kesamaan formal dengan perwujudan nyata dari kesamaan dalam kesempatan, (feitelijke gelijkheid van kansen) membutuhkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut adalah pemihakan kepada mereka yang dirugikan (bevoordeling van de benadeelden). Dalam masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan, menyatakan secara formal tentang keharusan adanya kesamaan hukum antara para anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata ada dalam masyarakat, oleh hukum. Hukum progresif berkepentingan untuk mengakhiri atau menekan serendah-rendahnya ketidaksamaan atau ketimpangan sosial tersebut.

Dalam arsenal hukum progresif, sarana yang dapat digunakan lebih beragam daripada yang digunakan dalam hukum tradisional. Faham tradisional hanya mendasarkan pada peraturan (rules), sedang hukum progresif juga menggunakan atau mendasarkan pada sarana bukan peraturan formal.

Kita mengetahui, bahwa di dunia ini terdapat kosmologi lain kecuali kosmologi individualistis yang menjadi basis dari hukum liberal. la merupakan modal yang sangat mendasar yang membekali cara bangsa-bangsa berhukum. Kenyataan tersebut lebih mendorong hukum progresif untuk melakukan pemikiran alternatif tentang bagaimana sistem peradilan itu dibangun, yang pada akhirnya berujung pada pembebasan dari dominasi sistem liberal. Merupakan hak setiap bangsa untuk memelihara kosmologi masing-masing, termasuk institusi publik dan cara berhukum yang didasarkan pada kosmologi tersebut.

Pendidikan niscaya merupakan pilar penting yang diperlukan untuk ikut menyangga hukum progresif dan oleh karena itu hukum progresif berkepentingan untuk memerhatikan pendidikan hukum. Di sini ingin dikatakan, bahwa perilaku hukum yang progresif untuk sebagan penting merupakan fungsi dari pendidikan dan pembelajaran yang diterima oleh para profesional hukum waktu mereka duduk di bangku kuliah. Perkuliahan yang hanya menginformasikan bahan hukum positif dan bagaimana menjalankannya, tidak membantu menciptakan sikap dan perilaku progresif dalam berhukum. Mereka tidak didorong untuk membaca teks-teks hukum secara bermakna dan kemudian berani bertindak sesuai dengan pembacaannya itu.

Di sisi lain, pembelajaran hukum secara progresif mendorong para mahasiswa untuk berani mencoba avenues lain dalam menjalankan hukum. Para dosen hukum Indonesia tidak akan kekurangan bahan untuk mencontohkan perilaku progresif, seperti diperlihatkan oleh Adi Andojo Soetjipto, Bismar Siregar, Baharudin Lopa dan hakim serta jaksa yang dilaporkan oleh Bank Dunia tersebut di muka.

Kurikulum hukum progresif adalah yang membuat mahasiswa tidak berpandangan sempit dalam pengolahan hukum dan senantiasa mendorong pada mahasiswa untuk menemukan cakrawala yang lebih luas. Ini yang ingin disebut sebagai pendidikan hukum yang bermakna. Untuk itu maka sebaiknya fakultas-fakultas hukum menjadi institut pendidikan yang berhati nurani (law schools with conscience). Itu semua akan berhasil dilaksanakan, apabila para staf pengajar juga berpikiran progresif dan menularkannya kepada para. mahasiswanya.

Di sini saya hanya ingin merujuk kembali kepada kritik yang dilakukan oleh Gerry Spence terhadap pendidikan hukum di Amerika Serikat yang telah kehilangan semangatnya untuk mendidik para calon profesional hukum untuk memiliki kepedulian kemanusiaan di atas keprofesionalan. Para lawyers harus menjadi manusia terlebih dahulu (evolved person) sebelum menjadi lawyer.

Para profesor juga menerima giliran untuk dikecam oleh Spence, seraya mengatakan, “… they are taught by professors who have spent the major portion of their lives injecting formaldehyde into their student’s brains and, in the tombs of endless dusty books, burying whatever creativity, whatever life, ….”. Sudah sejak para mahasiswa menginjakkan kakinya di law schools, rasa-perasaan, kemanusiaannya dirampas dan ditumpulkan. “(B) the nine they have-entered law school, have been stripped of most of what makes human being, their openness, their compassion, their ability to feel, and who, after they got out of law school, and more equipped to cause trouble than to solve problems.” Menurut pengamatan Spence, di Amerika Serikat, sangat jarang menemukan lawyer yang bersemangat menolong kesusahan nasabahnya. “Never in the history of America have there been so many lawyers, and so many people who need a lawyer but can’t find a competent lawyer who will care about them and fight far their justice.”

Pengembangan gagasan hukum progresif tidak akan berjalan dengan tanpa sejak di bangku pendidikan, para mahasiswa sudah diperkenalkan kepada kenyataan, bahwa hukum itu mengandung fungsi penyelesaian problem sosial dan penanganan problem kemanusiaan yang kuat. Pendidikan hukum yang hanya sibuk mengajarkan dan berurusan dengan peraturan dan prosedur berhukum dan tidak mengakarkannya sampai ke basis kemanusiaan atau kenuranian, hanya akan menghambat pelaksanaan hukum progresif. Seperti telah disampaikan di muka, hukum progresif tidak hanya mengejar penegakan hukum yang profesional, tetap di atas itu, cara berhukum yang penuh muatan kenuranian.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut, pendidikan hukum progresif juga erat berkaitan dengan pandangan, bahwa hukum itu tidak dapat diajarkan sebagai skema-skema atau rumusan-rumusan kategoris dan abstrak. Di sini pendidikan hukum progresif akan mendarat kepada ranah pembelajaran hukum yang mengajarkan “darah dan daging hukum” pula. Pembelajaran hukum hanya sebagai skema-skema abstrak hanya akan melahirkan ahli-ahli hukum, yang dalam pekerjaannya nanti, semata-mata melakukan pengkutak-katikan skema hukum tersebut, sehingga akan terjadilah, bahwa “the life of the law has been logic”.

Dalam optik ekstrem, maka pendidikan hukum progresif melihat, bahwa mengajarkan hukum sebagai skema dan logika skema, seperti pada Begriffsjurisprudenz, sesungguhnya hanya “mengajarkan bangkai-bangkai”, bukan sesuatu yang hidup. Skema atau skeleton yang berupa perundang-undangan itu telah mereduksi sesuatu yang utuh menjadi kepingan pasal-pasal undang-undang. Pendidikan hukum perlu mengutuhkan kembali skeleton hukum itu dengan “darah dan dagingnya”, sehingga menjadi suatu institut yang utuh.

Para mahasiswa perlu diajak menyadari, bahwa kejayaan era ilmu hukum sebagai skema, seperti diwakili oleh “reine Rechtslehre” Hans Kelsen, telah lewat. Ini bukan berarti, bahwa aspek analitis dalam berilmu hukum sama sekali tidak diperlukan, melainkan, bahwa “era Kelsen” itu sudah disusul oleh suatu era baru, di mana hukum diajarkan secara lebih utuh. Dengan metode kajian-kajian hukum yang analitis perlu diperkaya dengan optik dan pendekatan baru. Terkadang dikatakan, bahwa kita telah memasuki era sosiologis atau “the age of sociology”, seperti dikatakan oleh Donald Black[14]. “A new sociological jurisprudence would acknowledge that a conception of law as an affair of rules alone is incomplete and obsolete.”

Akhir-akhir ini, sebuah buku tentang ilmu hukum (jurisprudence), yang diterbitkan tahun 2001 dan dicetak ulang pada tahun 2006, menggunakan judul “A General Jurisprudence of Law and Society”[15]. Penggunaan judul tersebut sangat menarik, oleh karena merespons pendapat Donald Black pada tahun 1989 tersebut di atas. Dalam kaitan dengan hukum progresif, maka ilmu hukum jangan lagi hanya mengajarkan “law” atau skeleton, melainkan juga “the social’ atau darah dan daging hukum.

Pembelajaran hukum sebagai suatu institut untuk menyelesaikan problem sosial memang sangat berbeda daripada pembelajaran yang hanya menekankan pada penyelesaian problem hukum. Dalam penyelesaian problem hukum, kita akan lebih berurusan dengan “matematika hukum” atau “the logic of law” atau “het hanteren van logische figuren” (menangani hal-hal secara logis). Dengan demikian hukum menjadi kurang berfungsi untuk turut menyelesaikan problem sosial[16]. Kebiasaan berpikir hukum tradisional, yang bertolak dari “necessary connections”, oleh kedua penulis ditunjuk sebagai sebab sehingga hukum kurang mampu menyelesaikan problem sosial yang kompleks itu. Dalam penyelesaian problem sosial, maka penglihatan kita akan melampaui perundang-undangan dan bertanya “bagaimana hukum dapat digunakan untuk memecahkan problem sosial?” Dengan sedikit variasi, Paul Scholten mengatakan, bahwa “rechtsvinding” (penemuan hukum) itu beda dari “wetstoepassing” (penerapan undang-undang)[17]. Kemungkinan besar Scholten akan bersetuju dengan Nonet dan Selznick, bahwa apabila orang hanya melakukan penerapan undang-undang, maka hukum akan kurang mampu memecahkan problem sosial. Untuk itu perlu dilakukan “penemuan hukum”. Scholten mengatakan, bahwa “ketenangan banyak orang, yang menganggap, bahwa penemuan hukum adalah penerapan undang-undang, sudah tidak banyak lagi tersisa”; kepastian penerapan undang-undang di abad ke-sembilanbelas telah lewat” (”van de rustige verzekerdheid van velen in de 19de eeuw, dat rechtsvinding is wetstoepassing, is niet to veel meer overgebleven”).



C. Penutup

Hukum progresif memang muncul dari kerisauan kita sebagai bangsa terhadap kurangnya keberhasilan cara kita berhukum untuk turut memecahkan problem-problem besar bangsa dan negara kita. Cara-cara berhukum yang lama, yang hanya mengandalkan penerapan undang-undang, sudah waktunya untuk ditinjau kembali. Selama ini, dengan cara berhukum yang demikian itu, hukum kurang mampu untuk memecahkan problem sosial. Penegakan hukum memang sudah dilakukan, tetapi belum menyelesaikan problem sosial.

Suatu cara berhukum yang baru perlu dilakukan untuk menembus kemacetan. Sejak hukum progresif menyimpan banyak alternatif terhadap cara berhukum yang lama, maka sekalian arsenal kesenjataan yang ada pada hukum progresif perlu dikerahkan, mulai dari pengkonsepan kembali hukum, paradigma, penegakan hukum, pembuatan hukum, pendidikan dan lain-lain.

INDONESIA

The simple mind of AMALISME
'
Inti tulisan ini adalah untuk para penulis yang peduli terhadap bangsa INDONESIA yang dinilai hancur oleh anda. Menurut saya tidak penting rasanya mengomentari apa yang terjadi di negeri ini yang sudah membudaya dan menggrogoti setiap nafas rakyat miskin. Kita punya wartawan kita punya pengamat politik dan yang terpenting kita punya televisi yang membuat kita sudah tahu. Rasanya yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita keluar dari kondisi yang sangat membelenggu diri kita sendiri bahkan kawan-kawan kita pada saat ini. Coba pikirkan apakah dengan berkomentar ilmu yang kita miliki apakah akan bertambah, pengalaman hidup kita menjadi lebih baik, pikiran kita menjadi fresh. Yang ada adalah kita semakin terpuruk dengan keadaan kita. Kita semakin merasa yang paling terbaik, paling suci, paling benar sedangkan ilmu yang kita miliki justru lebih TOLOL daripada mereka.

Kita baru bisa bicara dan berkomentar tapi mereka sudah pernah duduk, merasakan dan mengalami merekalah justru yang lebih mengerti. Tidak pantas kita mebahas sesuatu yang memang bukan kapasitas kita untuk seperti itu dan yang terpenting hidup kita juga tidak akan bertambah baik dengan bersikap seperti itu. Padahal pribahasa juga mengatakan mudah untukmenila kesalahan orang lain dan menyalahkan orang lain tapi sulit untuk menilai kebaikan orang lain. Coba saya tantang anda para pengkritik untuk berkomentar tentang kebaikan yang pemerintah lakukan pasti kesembongan menjawab “pemerintah tidak ada baiknya”. Mereka seakan sulit dan tiba-tiba berubah sosok menjadi sosok yang munafik.Bukankah tuhan pernah berkata “disetiap manusia terdapat sisi baik dan sisi buruknya”.

Jadi cobalah melakukan sesuatu yang lebih berbau kearah yang positif dan sehat.Pola pikir seperti ini yang harusnya kita tanamkan untuk kehidupan kedepan yang lebih baik.Tidak usah kita berkomentar juga seluruh rakyat ini sudah bisa menilainya sendiri.Jadi yang terlihat bodoh siapa?kita atau mereka?jelas lah kita.Saya tidak perlu di ajarkan cara berkomentar saya sudah bisa melakukanya sendiri karena memang tu sifat dasar manusia. Tapi yang sulit adalah ajarkan saya tentang arti BIJAKSANA, KESABARAN, KASIH SAYANG dan KEIKHLASAN seperti sifat yang tuhan miliki. Itu adalah ilmu kehidupan yang sesungguhnya yang perlu kita miliki agar hidup di dunia ini menjadi lebih baik. Saya banyak belajar,saya banyak berpikir dan saya banyak memahami bahwa sulit itu mencapai kesempurnaan manusia seperti itu.

Oleh sebab itu mengapa kita justru mendalami sesuatu yang mudah padahal sesuatu yang sulit masih ada di depan kita, sesuatu yang justru mengangkat drajat dan kemurnian seorang manusia. Tolong bapak yang pintar, bapak yang merasa cerdas,bapak yang merasa pernah menjabat atau lebih berpengalaman ajarkan saya ilmu yang benar-benar untuk kesejahteraan seluruh umat bukan ilmu untuk menyerang kelemahan orang.Ilmu yang yang tulusa dan membuat kita menjadi seorang yang BIJAKSANA,KESABARAN,KASIH SAYANG dan KEIKHLASAN,Bukankah dulu anda pernah bilang dalam pribahasa yabg selalu di banggakan bahwa padi makin berisi makin merunduk. Jadi saya mohon jangan lagi kami di ajarkan untuk terus merasa pintar sehingga kami malas untuk belajar,jangan lagi kami selalu diajarkan caranya menilai buruk seseorang sehingga kami menjadi seorang yang selalu curiga,jangan lagi kami diajarkan caranya mencemooh orang sehingga kami menjadi seorang yang tidak saling menghargai.

Tanpa kalian sadari hancurnya generasi kami karena tulisan-tulisan kalian yang tidak berwawasan dan mendidik. Ini INDONESIA mau di bawa kemana jika kami diajarkan merasa pintar, INDONESIA mau jadi apa jika kami diajarkan untuk saling curiga.Dan yang terpenting adalah INDONESIA mau hancur bagaimana jika kami diajarkan untuk tidak saling menghargai. Kita hanya bisa bersatu jika ada saudara kita tertimpa bencana, jika sesuatu kepunyaan kita dicuri bangsa lain. Kapan kita bersatu tanpa harus ada suatu masalah yang mengharuskan kita bersatu?.Dalam benakku menunggu,dalam hatiku menunggu,aku masih menunggu. Semoga ada titik cerah untuk masa depan kita penerus bangsa calon pemimpin INDONESIA. Tuhan jadikan lah ini suatu mimpi yang sangat sempurna bagi Indonesia.

ATAS NAMA AMALISME SAYA KECEWA

MIMPI ATAU OBSESI YA KIRA-KIRA

Kemungkinan itu selalu ada dan jangan pernah lelah untuk menggapai mimpi-mimpi yang dulu kita miliki. Dulu semua orang bahkan Thomas alva Edison pun beranggapan bahwa tidak mungkin tercipta telpon tanpa menggunakan kabel atau nirkabel. Tetapi nyatanya sekarang telah tercipta sebuah handphone. Sahabat saya dulu pernah becerita tentang kawanya yang ber angan-angan ingin membanggakan kedua orang tuanya dia mengikuti apa yang orang tuanya inginkan untuk bersekolah di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta.

Tetapi bagaimanapun keinginanya jika itu didasari karena keterpaksaan atas dasar menyenangkan orang tua dan mimpi itu hanya menjadi obsesi dan akhirnya dia gagal karena keterpaksaanya. Namun yang hebat dari dia adalah di dalam hatinya masih tersimpan mimpi untuk membanggakan kedua orang tuanya. Dan mimpi itu bagaikan mesin atau sugesti yang selalu menggerakanya untuk melakukan itu, melakukan sesuatu keinginanya terlepas dari bantuan atau support orang lain. Dia lalu mengikuti kursus bahasa arab dan bahasa inggris di sebuah bimbel yang juga menawarkan program beasiswa bagi muridnya yang berprestasi.

Hanya bermodal mimpi dan keinginan yang kuat akhirnya ia bangkit dan berlari pada jalurnya dia terus berlari dan semakin cepat larinya karena tenaganya didasari mimpi dan keinginan bukan sekedar obsesi. Dalam kurun waktu satu tahun akhirnya dia mendapat kabar gembira dari mimpi dan keinginanya ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di yaman. Kabar itu lalu ia simpan baik-baik dan menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan pada kedua orang tua nya.
Ketika ia pulang sehabis bermain ia lalu mandi dan tidak seperti biasanya ia menyempatkan diri untuk duduk bersama makan malam bersama keluarganya dengan harapan dia dapat menyampaikan kabar bahagia itu pada momen tersebut. Dengan kekuatan mimpinya ia pun akhirnya menyampaikan suatu kabar yang membuat kedua orang tuanya bangga dengan hasil ini. Dengan cerita ini saya ingin menyampaikan jangan pernah takut untuk bermimpi karena jika mimpi kita simpan di tempat yang baik untuk meletakanya di suatu tempat yang baik pula mimpi itupun akan terlihat indah. Selain itu kekuatan mimpi di barengi keinginan pasti akan terwujud tinggal di tunggu saja waktunya, jika kita belum bisa untuk mewujudkan mimpi kita berarti di dalam mimpi itu masih ada suatu yang buruk yaitu obsesi.

Yang kita harus wujudkan adalah mimpi yang nyata bukan obsesi, obsesi itu hanya ber angan ingin seperti dan tidak lebih karena bisa saja tidak di awali dengan ilmu untuk mewujudkanya. Tetapi mimpi luas bukan hanya sekedar ingin seperti tetapi ingin lebih dari itu dan terus lebih lagi karena mimpi itu hidup sedangkan obsesi itu hidup tetapi mati. Dan yang terpenting mimpi itu tidak pernah mengenal kata PUAS tetapi mimpi itu akrab dengan kata-kata KURANG tetapi ada kepuasan di balik kekuranganya itu yaitu rasa bersyukur di setiap mimpi yang telah di wujudkan. Tidak ada orang hebat tanpa belajar dan tidak ada mimpi indah tanpa mimpi buruk keterpurukan adalah pelajaran bagi kita yang di anggap mimpi buruk untuk mendapatkan keberhasilan yang kita anggap mimpi indah.

Sekarang banyak yang terluka oleh kondisi negara kita yang carut marut hancur lebur dan memalukan yang sungguh mengiris hati. Yang kita lakukan bukan mencaci atau mencela mereka yang berada di atas sana karena selain belum tentu di dengar mungkin kita tidak lebih baik dari mereka. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana untuk menjadi seorang yang bisa duduk di sana dan memperbaiki segalanya dengan ilmu dan mimpi yang kita miliki.

Banyak dari kita yang terjebak dan secara tidak langsung memilih obsesi daripada mimpi, tanpa disadari itu adalah obsesi karena kita tidak dapat berada disana jadi yang kita lakukan ya seperti itu padahal inginya kita berada disitu dan melakukan yang terbaik. Tidak sedikit bahkan banyak yang bermimpi untuk jadi pemimpin atau sebagainya tetapi karena merasa gagal lalu mimpinya berubah menjadi obsesi dengan mencela dan mencaci orang yang berhasil mencuri mimpinya. Dengan berbagai alasan tetetapi ilmunya atau ketika di tanyakan solusi berdasarkan rincian dan konsep yang jelas meneketehe.

Ayo wujudkan mimpi kita agar kita bisa duduk disana dan melakukan sesuatu untuk mewujudkan negara ini jauh lebih baik dan dihargai oleh negara lain buang jauh-jauh obsesi kita. Setidaknya jika mimpi untuk menjadi pemimpin itu sulit untuk dicapai kita harus memiliki sikap seperti seorang pemimpin yang kita impikan yaitu rendah hati,tidak sombong,saling menghargai,sabr dan bijaksana itu adalah orang yang bermimpi dan bukan berobsesi. Jika kita bermimpi menjadi seorang pemimpin tetapi sikap kita tidak seperti itu berarti kita berada di jalur obsesi dan saya katakan ayo bangki bangun kembali untuk mewujudkan mimpi saya yakin kalian semua orang hebat dan bisa lebih hebat dari mereka.

AMAL TIDAK SELAMANYA HIDUP TETAPI AMALISME AKAN SELALU HIDUP

Pada dasarnya apa yang saya lakukan seperti apa yang gus dur lakukan.

MEMBUKA TABIR

Saya ingin sejenak saja mengajak anda untuk merenungkan permasalahan yang ada pada Indonesia saat ini. Jujur saya sedikit tersentuh dan kaget ketika mendengar bisa dengan mudahnya GAYUS TAMBUNAN keluar dari tahanan Markas Komando Brimob kelapa dua sedangkan ia adalah seorang kasus terpidana korupsi yang memiskinkan bangsa ini menurut Mahfudz MD. Terlepas dari permasalahan itu coba kita lihat terlebih dahulu bagaimana penegakan hukum tentang terpidana korupsi menurut UU Tipikor yang berlaku saat ini.Kita pasti semua setuju kalo para penindak pidana korupsi dihukum seberat-beratnya atau bahkan bila perlu di hukum mati,coba kita ambil pasal tentang pidana matinya:

Pasal 2 ayat 1 dan 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang memperkaya diri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal ini tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat di jatuhkan.

Disitu kita temukan kata dalam keadaan tertentu ini adalah kata ini menunjukan bahwa ini adalah contoh pasal karet yang berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan.Dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu itu adalah dapat dilakukan pemberatan bagi pelaku tindak pidana itu dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau dalam keadaan negara dalam krisis ekonomi dan moneter.

Meski sudah ada rumusan yang menjelaskan “keadaan tertentu”, yang sebenarnya bisa di buktikan dan di ambil faktanya bahwa negara sedang dilanda bencana alam dan krisis ekonomi, rumusan tersebut tidak digunakan sebagai dasar konsiderasi dalam menyusun ancaman hukuman mati.Andai saja ancaman hukuman mati bagi para koruptor di gunakan, barangkali kisah GAYUS TAMBUNAN ini takan terulang lagi.

Sangat di sayangkan sekali bahwa tafsir dari “keadaan tertentu” yang sangat mengarah pada pemberatan hukuman terhadap terpidana korupsi seperti hukuman mati tidak di gunakan elemen hukum, khususnya para jaksa penuntut umum.Akibatnya hakim tidak bisa berbuat banyak saat akan melakukan putusan, meski seharusnya hakim memiliki hak untuk melakukan penafsiran dan temuan hukum(reshvinding).

Karena terbukti tidak sedikit dari terpidana korupsi yang di hukum dengan pidana yang ringan atau bahkan menghirup udara bebas. Ini bukan soal yang perlu kita anggap sepele ini PR bersama bagi kita untuk membentuk suatu keidealan hukum yang berujung pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut fakta yuridis dari data ICW pada tahun 2009 tepatnya dari Januari hingga Desember, di antara 199 perkara korupsi dengan 378 terdakwa, sebanyak 59,9 persen dinyatakan bebas oleh hakim di pengadilan umum.

Terlepas dari semua dugaan tindakan atau praktek “KORUPSI” hukum saat hakim menjatuhkan vonis.Tuntutan hukuman mati yang tidak ditembakan jaksa merupakan segmentasi praktik pengistimewaan atau pemanjaan terhadap terpidana korupsi. Makna dari “keadaan tertentu” yang sudah terumus secara yuridis hanya menjadi rumusan-rumusan ide yang agung yang semakin kehilangan makna empirisnya karena telah di telanjangi oleh para bapak penegak hukum yang tidak mempunyai nyali untuk menegakan hukuman mati terhadap para koruptor di negeri ini.

Kita sebagai orang yang mengetahui mesti belajar dari semua ini untuk tidak lagi mengulangi kelalaian yang di lakukan pendahulu kita. Agar Indonesia menjadi lebih baik maju dan di segani oleh bangsa lain. Jangan mau lagi hukum kita di telanjangi oleh kepentingan-kepentingan orang lain yang justru mengorbankan jutaan sahabat-sahabat kita di negeri ini yang menginginkan keadilan. Hukuman mati adalah harga mati untuk efek jera bagi para koruptor sekelas GAYUS TAMBUNAN yang memiskinkan negera ini.

SALAM AMALISME

Minggu, 19 September 2010

Mengambil Jalan Yang Bijaksana

Sudah kita ketahui dalam setiap permasalahan terutama masalah keagamaan itu saling menyalahkan bahkan tidak hanya berbeda agama tetapi sesama agama. Yang kadang berbeda persepsi dalam penyelesain masalah yang satu merasa benar dengan alasanya yang satu merasa lebih benar atas dasar kebijaksanaan. Dalam dunia binatang saling menyalahkan ini memang tidak asing, bahkan mereka terbiasa dengan hal itu.

Ketika diantara dua orang terjadi konflik, apakah harus mencari kesalahan dan kelemahan orang lain atau mengintropeksi diri sendiri? dari kedua cara penyelesaian dapat jelas terlihat jiwa seseorang. Pepatah mengatakan : bertepuk sebelah tangan tidak akan berbunyi. Konflik dan pertikaian didunia ini bukan disebabkan karena kurangnya etika sepihak, tetapi kedua pihak yang bertikai harus mengintropeksi diri sendiri. Oleh sebab itu, ketika terjadi konflik dan pertikaian memilih cara mengintropeksi diri atau menyalahkan orang lain dapat menentukan keputusan akhir yang dicapai.

Sekalipun kita mengatahui kebeneran mengapa kita tidak mencoba untuk mengambil sesuatu cara yang lebih bijaksana. Dengan cara saling menyalahkan sekalipun benar itu sudah hal yang sangat biasa. Tetapi dengan cara yang bijak itu lebih dari sekedar keistimewaan tersendir. Bukankah jika kita berbalik menyalahkan yang terjadi adalah saling menyalahkan. Jadi apa bedanya sikap yang kita lakukan dengan apa yang mereka lakukan sungguh tiada bedanya sama sekali.



Yang terbaik adalah kita seharusnya belajar bahwa cara seperti itu tidak pernah mempan atau tidak ampuh. Bahkan yang terjadi adalah sesuatu masalah yang sangat teramat lebih berani di banding sebelumnya. Pendekatan yang kita lakukan sering kali salah cara,kita terkadang tidak mau mendengarkan atau menyela apa yang mereka ungkapkan.Sedangkan apa yang kita utarakan terkadang harus mereka terima tanpa perlu ada bantahan. Karena kita merasa lebih benar dengan segala kekuatan ilmu yang kita miliki.

Bukankah itu sebuah kitidak adilan dalam sebuah kehidupan yang katanya saling menghormati atau bebas berpendapat. Coba kita pikirkan dengan akal sehat kita sendiri apakah itu sesuatu yang benar,sesuatu yang bijaksana dan saling menghormati. Ada baiknya jika kita mengetahui yang benar tidak usah kita ungkapkan dengan menyerang balik dengan menyalahkan lewat kebenaran yang kita ketahui.

Cara yang terbaik adalah kita mengintropeksi diri sendiri Apakah kita seperti mereka?Apakah kita sudah lebih baik dari mereka?Apa yang harus kita lakukan agar tidak seperti mereka?. Hanya dengan cara intropeksi mencari kesalahan diri sendiri yang dapat menyelesaikan konflik menjadi damai, yang dapat membuat orang mempunyai hati tulus terhadap orang lain.

Oleh karena itu bisa disimpulkan orang bijaksana mencari kesalahan diri sendiri sedangkan orang picik mencari kesalahan orang lain. Orang bijak mengintropeksi diri sendiri, orang picik selalu menyalahkan dan tidak puas terhadap orang lain, melemparkan kesalahan pada pihak lain. Seorang bijaksana, jika dia dapat setiap saat mencari kekurangan diri sendiri dan tidak menyalahkan orang lain, dia sudah termasuk setengah dewa

Kamis, 02 September 2010

INSPIRASI SAYA (MAKSUM MUKHTAR)


Saya tidak terpikir sebelumnya kalo saya harus jatuh hati kepada orang yang dulu saya kira menghambat saya,tidak membuka kebebasan bagi saya, dan mengajarkan pengalaman baru pada saya.Caranya berfikir bagaikan seorang pelatih sepakbola sekelas jose mourinho,ketika saya melakukan drible yang baik tanpa terkena lawan dia tersenyum manis,ketika saya membawa bola berputar2 seakan tidak tahu mana tujuan sya dia langsung berteriak "buang-buang",begitu pula saat saya mencoba menendang bola langsung mengarah gawang sekalipun belum mengenai sasaran dia bertepuk tangan sambil tersenyum dan berkata "coba lagi" dan sampai saat saya melakukan kesalahan hingga membuat tim kita kalah dia masih bisa berkata "jangan menyerah terus semangat masih banayak pertandingan dan kita masih punya kesempatan untuk memperbaikinya "

Tidak hanya sekedar melihat kelebihan individualku saja tapi dia jga mengajarkan kerja sama tim.Dia selalu mengajarkanku bagaimana caranya ber interaksi dan bersikap dengan orang lain.Dia selalu berkata "besar otot tidak ada gunanya,tapi besar ini(sambil menunjuk ke hati)akan berguna untukmu".Dan itu memang dia lakukan setiap ada masalah atau urusan apapun dia selalu bereaksi dengan kebesaran hatinya bukan dengan otot,nada kasar,kemarahan dan emosinya.Dia selalu memaafkan sekalipun disakiti bahkan dia selalu balas dengan kebaikanya.SUBHANALLAH.

Ketika ada acara renungan malam di sekolahku tiba-tiba sosoknya muncul dalam pikiranku dan meraba hatiku.Dia seakan tersenyum melihatku dengan matanya yg teduh menaruh sejuta harapan.Yang menggingatkanku ketika aku kecil dia selalu ada untuku menemani setiap waktu hari-hariku.Aku ingat saat dulu aku kecil dia selalu mengajaku untuk pergi ke toko buku dan membebaskan saya membeli buku apa saja yang saya inginkan.Yang selalu dia katakan sejak kecil adalah "untuk menjadi manusia yang sukses harus sadar diri,berusaha dan sabar".

Dan "dia" itu adalah ayah ku,ayah yang sangat bertanggung jawab bagi keluarga yang memberikan sejuta insprisai dari sikapnya,kegigihanya,pantang menyerahnya dan ibadahnya.Terima kasih bah atas semangatmu yang sangat istimewa bagi amal.Kaulah inspirasi hidupku selama-lamanya.


SUBHANALLAH untuk setiap peluh yang kau teteskan, untuk
setiap kerut dahimu yang tak sempat kuhitung, untuk setiap waktu
sepanjang malam ketika aku sakit dan ketika kau merindukanku, untuk
tumis kangkung paling lezat sedunia, untuk tempat duduk terbaik di
bahumu yang begitu kekar ketika aku ingin melihat pawai sewaktu, untuk tetes
"air mata laki-laki" yang begitu mahal ketika kau khawatirkan aku,
untuk kepercayaanmu padaku, meski seringkali ku hianati.
Tak akan pernah bisa terbalas segalanya, kecuali dengan
SUBHANALLAH " semoga Allah mengganti semuanya
dengan syurga, semoga bisa kubayar dengan syurga yang Alloh beri,
semoga...... .."

TEKNIK SOROGAN DI PESANTREN

Salah satu teknik pembelajaran yang ada di pesanttren adalah "Sorogan". Sorogan biasanya dilakukan dengan cara peserta didik atau santri menunjukkan kemampuan, atau penguasaan atas materi yang telah ditentukan sebelumnya. Penentuan materi itu sendiri bisa otomatis, mengikuti urutan materi dalam "kitab kuning", atau atas materi tertentu yang dipilih secara acak oleh kyai, atau dipilih sesuai dengan keinginan santri. Dalam kasus ini penguasan dimaksud adalah kemampuan membaca secara benar (dalam tataran nahwunya), kemampuan memaknainya dengan cara yang benar (utawi-iki-ikunya, atau sesuai kode nahwu), dan kemampuan mengambil intisarinya. Sesudah bacaan itu dinyatakan benar, maka biasanya diberi tugas baru, yang harus disorogkan pada hari berikutnya. Jadi teknik ini semacam teknik perivikasi kompetensi santri.
Teknik ini kiranya dapat dikembangkan misalnya untuk memverivikasi kemampuan penguasaan science atau keterampilan tertentu, seperti keterampilan elektro, montir dst. Jika ini dikembangkan, maka pesanttren dapat menjadi pusat uji penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknis. Tentu saja, jika mau, pesantren dapat dijadikan tempat bagi siapa saja yang ingin menguji kemampuan dan keterampilannya. Apabila dapat diprogram lebih lanjut, siapa pun dapat melakukan ujian terhadap satu set kemampuan dan keterampilan, dan kepadanya dapat diberikan sertifikat sebagai tanda telah menguasai kemampuan dan keterampilan itu. Pesantren dengan demikian akan berkembang melebihi sekedar tempat belajar kitab kuning, melainkan dapat menjadi tempat menguji penguasaan science dan keterampilan teknologi.
http://www.docstoc.com/docs/4821079/Dakwah-dan-Masyarakat

Senin, 03 Mei 2010

Opick - Taubat

wahai Tuhan jauh sudah
lelah kaki melangkah
aku hilang tanpa arah
rindu hati sinarmu

wahai Tuhan aku lemah
hina berlumur noda
hapuskanlah terangilah
jiwa di hitam jalanku

ampunkanlah aku
terimalah taubatku
sesungguhnya engkau
sang Maha Pengampun Dosa

ya Rabbi ijinkanlah
aku kembali padaMu
meski mungkin takkan sempurna
aku sebagai hambaMu

ampunkanlah aku
terimalah taubatku
sesungguhnya engkau
sang Maha Pengampun Dosa
berikanlah aku kesempatan waktu
aku ingin kembali
kembali kepadaMu

dan mungkin tak layak
sujud padaMu
dan sungguh tak layak aku

Jumat, 30 April 2010

Tuhan Itu Ada


Suatu hari ronald duduk diatas motornya setelah bermain sepak bola.Seperti biasanya dia berkaca di spion motornya.Dalam hati ia berbisik"RAmbutku sudah panjang neh,sudah waktunya cukur".Tanpa berfikir lama dia langsung tancap gas menuju tempat cukur langgananya.Setelah lama menunggu akhirnya giliranya untuk di cukur tiba juga.

"Mau d cukur bagaimana mas"tanya tukang cukur."Dirapikan saja mas"kata ronald.Obrolan keduanya pun berjalan dari masalah kejaan sampai masalah yang sedang marak saat ini.namun tiba-tiba tukang cukur melontarkan kata_kata yang aneh.


"Ah saya sekarang ga percaya sama Tuhan" kata tukang cukur

"Astagfirullah.... jangan ngomong sembarangan mas!" ronald pun terkejut.

"Saya tidak ngomong sembarangan...! lihat diseberang sana!" Tukang cukur tidakmau kalah sambil menunjuk ke arah perempatan jalan di depan salon.

"memang ada apa?" tanya Ronald heran"

"Coba akang pikir... kalau benar tuhan itu ada, ga bakalan ada gelandangan, pengemis, ga bakalan ada orang sakit... hidup saya ga bakalan susah!" kata Tukang Cukur.

Ronald hanya diam dan sedang berpikir bagaimana menyadarkan tukang cukur dan menerangkan bahwa Tuhan itu sesungguhnya ada.Setelah beberapa saat berfikir akhirnya Ronald memperoleh bayangan bagai mana mengalahkan ketidak percayaan tukang cukur yang ga percaya adanya Tuhan.

"Coba pikir lagi! kalau benar Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, ga bakalan ada anak-anak terlantar ga bakalan terjadi musibah di Situ Gintung" Tukang cukur menambahkan lagi.

Ronald tidak mau terjadi perdebatan di antara mereka.Kang kemudian berkata "SAYA TIDAK PERCAYA KALAU TUKANG CUKUR ITU ADA"

Tukang cukur tidak terima perkataan itu. "Saya tukang cukur... dan barusan saya mencukurmu...!" sanggah tukang cukur.

"Tidak! saya tidak percaya. Coba lihat di seberang sana" sambil menunjuk Seseorang yang berambut gondrong, kumel dan acak2an juga brewokan.

"Jika benar tukang cukur itu ada, tidak akan ada orang yang rambutnya panjang gimbal, kotor, brewok ga ke urus seperti pria itu." tambah Ronald.

"Itu salah mereka sendiri...! kenapa ia ga datang dan minta sama tukang cukur untuk memotong dan merapihkan rambut mereka?" jawab tukang cukur emosi.

"TEPAT.... itu adalah jawaban atas pertanyaan anda tadi." kata Ronald. "Sama dengan Tuhan. Tuhan itu ada, hanya manusia tidak mau datang dan meminta pertolongan kepada Nya, makanya banyak orang miskin, musibah dan bencana".

Rabu, 28 April 2010

CONTOH MAYORITAS YANG BAIK

Di negara ini banyak sekali kita temukan pemaksaan kehendak terhadap seseorang maupun kelompok.menurut saya ini tidak perlu dilakukan jika memang apa yang mereka lakukan menjadi perinsip atau pilihan hidup mereka.Tidak sedikit orang berfikir perbedaan itu seakan menjadi penghalang untuk kita bersatu.Padahal perbedaan itu harusnya menjadi suatu pelajaran yang perlu kita ambil hikmahnya.Alangkah monotonya hidup ini tanpa perbedaan yang ada sekarang.

Seharusnya kita bersyukur Indonesia di beri keragaman yang sangat besar dalama beragama,berbudaya,berasal-usul etnis dan sebagainya.Bukan malah menjadikan ini suatu permasalahan dalam hidup berbangsa.Mau di bagaimanapun negara ini sudah dasarnya berbeda-beda.Tidak bisa bahkan tidak boleh kita memaksakan keberagaman yang sudah ada untuk menjadi satu keyakinan.Jelas perjuangan negara islam ini tidak dibenarkann.Seperti apa yang dikatakan gus dur "Dari sudut akidah, hak orang Islam memang lebih tinggi dari penganut agama lain. Tapi, Indonesia bukan negara Islam".



Seharusnya islam sebagai mayoritas menjadi contoh bagi minoritas dalam kehidupanya.Dengan melakukan tindakan-tindakan yang membuat minoritas menjadi nyaman berada di antara mereka.Bukan malah sebagai mayoritas sehingga merasa lebih berhak atas segalanya.Memaksa bahkan menggunakan kekerasan untuk menakuti kaum minoritas.Apakah ini yang dinamakan islam,bukankah nabi pernah bersabda "belum benar islamnya jika seseorang tidak merasa nyaman dengan kehadiran kita".

Lebih baik kita befikir positife biarkan masing-masing melakukan kerjanya dengan baik.Bebaskan mereka berpendapat dan melakukan apa yang mereka yakini benar.Toh apa yang mereka lakukan tidak merugikan kita,tidak mengusik ibadah atau masalah pribadi kita.Yang terpenting adalah menjadi manusia yang bermanfaat.

Hidup kita akan terasa jauh lebih bermakna manakala kita mampu mermberikan manfaat pada orang lain. Banyak orang yang seolah hidup untuk dirinya sendiri. Dia tergopoh-gopoh menjalani hidup untuk sekedar mengatur dirinya sendiri. Tentu saja memang kita harus mengatur diri kita sendiri dengan baik. Namun, itu tidak cukup. Kita juga harus mengatur diri kita agar bisa bermanfaat pada orang lain.

Jangan sampai kita hanya menjadi beban masyarakat. Jangan sampai kita menjadi orang yang tidak punya nilai dalam lingkungan kita. Berikanlah pengaruh positif pada orang-orang di sekitar kita. Tebarkanlah manfaat sekecil apapun itu. Berikan kontribusi terbaik yang mampu kita berikan kita pada lingkungan sekitar kita.Bukankah orang yang paling dicintai allah adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain atau sesamanya.