Selasa, 05 Februari 2019

POLITIK DALAM PANDANGAN GENERASI MILENIAL




Generasi milenial, menurut Pew Research Center, adalah generasi orang dewasa yang berusia 18-35 tahun. Jika kita hitung secara tahun maka mereka, generasi milenial, dilahirkan dari sekitar tahun 1980, 1998 dan yang paling ranum adalah tahun 2000. Menurut Arthur Asa Berger, seorang Profesor dari Universitas Negeri San Francisco Amerika, secara status sosial memang ada perbedaan besar antara seorang milenial yang berusia 35 dan milenial yang berusia 18 tahun. Namun, pengkelompokan milenial bukanlah pengkelompokan status sosial karena usia, tetapi pengkelompokan sebuah generasi yang dipercayai bahwa mereka serupa dalam banyak hal penting.( Arthur Asa Berger, 2018, 6)


Ditinjau dari sisi perkembangan zaman artinya generasi milenial ini hidup dalam dua era sekaligus. Era dimana informasi diperoleh dari media kertas seperti koran, majalah, tabloid dan era ketika informasi didistribusikan secara online melalui laman koran online, jurnal online maupun media sosial. Antonio Garcia Martinez mengistilahkan kedua era itu dengan nama era Gutenberg sang penemu kertas dan era Zuckerberg si pemilik Facebook (Bakhrul Amal, 2018, 118). Generasi milenial merasakan era ketika informasi itu terbatas karena terkendala hak otoritas dan juga merasakan era kebebasan berekspresi mengutarakan pendapat melalui media sosial yang lebih terbuka serta egaliter.


Hal itu tentunya memiliki imbas besar terhadap cara generasi milenial dalam menilai sesuatu. Dulu seseorang baru bisa meyakini bahwa yang disampaikan orang lain adalah suatu kebenaran apabila penyempaian tersebut memiliki dasar statistik (solid modernity). Ada hal-hal yang dapat diukur secara matematis dan bisa dipertangungjawabkan. Akan tetapi, saat ini, pikiran orang mulai bergeser dan tidak lagi terlalu menganggap bahwa statistik adalah komponen utama benar atau tidaknya sebuah argumen. Ada hal-hal lain yang bisa dijadikan indikator kebenaran selain dari statistik, semisal kebenaran itu bisa dilihat dari komentar-komentar, foto-foto, atau bahkan buzzer (personal atau kolektif yang berperan sebagai “otak” atau kreator wacana/isu untuk diperbincangkan netizen) yang disampaikan melalui media sosial dan lainnya (liquid modernity).


Dari pengaruh sumber informasi dan tata cara mengolah informasi tersebut, generasi milenial dapat dipastikan cenderung lebih cair dalam memandang politik. Generasi milenial berbeda dengan generasi sebelumnya yang terkesan rumit, partisan, dan sering berada dalam situasi yang membahayakan. Berdasarkan pengamatan penulis, yang penulis sampaikan juga ketika mengisi diskusi dalam acara Literasi Senja dan BEM Yasmi, ada empat hal penting dan menarik terkait generasi milenial dalam memandang politik. Empat hal tersebut terdiri dari kenyataan bahwa generasi milenial itu cenderung independen, konkret, menyukai hal-hal yang mudah, dan militan.


INDEPENDEN
       Generasi milenial memandang seorang politisi tidak dari sisi suku, ras, maupun agama seperti mereka memandang diri mereka yang unidentified dalam Facebook, Twitter, maupun Instagram. Generasi milenial pun membebaskan diri dan pikirannya dari afiliasi terhadap partai politik. Generasi milenial lebih melihat politik bukan sebagai gerakan ideologi partai tetapai sebagai keseriusan kerja-kerja nyata yang dilakukannya. Pandangan ini muncul karena mereka terlahir di era dimana koran, televisi, dan media sosial sebagai informasi utama mereka memperlihatkan begitu banyak pejabat politik yang korup, partai politik yang gagal mengkader anggotanya menjadi pejabat yang bersih, dan situasi kebaragaman yang mengancam. Di sisi yang lain mereka melihat ada beberapa orang yang tulus bekerja dan mampu memenuhi kepentingan mereka dengan tanpa membawa identitas politiknya.


KONKRET
      Independensi seseorang yang nantinya dipilih oleh generasi milenial adalah orang-orang yang mampu menunjukan hasil konkret. Konkret dalam hal ini adalah bisa segera digunakan dan dirasakan oleh khalayak. Di era generasi milenial ini bisa dikatakan banyak tokoh-tokoh baru dalam dunia politik yang terlahir bukan dari rahim partai namun dinilai memiliki kualitas kerja yang baik. Sebut saja fenomena seorang Ridwan Kamil yang melaju dengan kepiawaiannya mengelola isu dan mengemasnya dengan menarik melalui media sosial. Ridwan Kamil, di sisi yang lain, dapat membuktikan beberapa kebijakan yang secara langsung bisa dirasakan. Generasi milenial, pada kerja dan bukti itu, tidak akan lagi memperdulikan darimana asal partai Ridwan Kamil. Mereka hanya tahu, ketika Ridwan Kamil muncul dalam kertas suara, mereka akan memilihnya dengan sukarela.


MUDAH
     Selain independen dan konkret, generasi milenial pun suka terhadap hal-hal yang mudah. Kemudahan itu tidak hanya terhadap akses akan birokrasi tetapi juga akses akan pengetahuan. Mereka, berbeda dengan generasi sebelumnya, tidak suka dengan penjelasan yang berbelit serta sulit dimengerti, termasuk juga pada definisi ideologis politik. Hal inilah yang membuat generasi milenial sering terjebak pada glorifikasi semu. Mereka tidak memiliki kualfikasi terhadap siapa yang menyampaikan sumber karena tidak terbiasa dengan statistik, bacaan ideologis yang rumit, atau pun juga sejarah-sejarah masa lalu. Tidak jarang, demagog atau orang yang pandai berbicara dan menyampaikan narasi-narasi unik bisa langsung memperoleh tempat sebagai tokoh meskipun mereka tidak pernah menulis secara tertib, memiliki guru dengan sanad yang jelas, atau pun telah berjuang berdarah-darah. Parahnya pemujaan terhadap tokoh-tokoh itu setara dengan penokohan anak-anak muda di era Yunani Kuno terhadap Plato, santri-santri abad pencerahan kepada Imam Syafii, atau pun kebanggan rakyat Cuba pada Che Guevara.


MILITAN
         Generasi milenial dikenal sebagai generasi yang militan. Ketika mereka sudah tertarik pada satu hal dan merasa percaya bahwa hal tersebut benar, mereka akan memperjuangkan dengan penuh sungguh-sungguh. Kita bisa melihat adanya fenomena petisi-petisi online melalui change.org, sumbangan kolektif dalam laman kitabisa.com, dan sulutan atas dasar structural strain atau gesekan sosial adalah contoh betapa militannya generasi milenial. Generasi milenial memang dikenal apatis tetapi di sisi yang lain mereka adalah seorang yang gampang disentuh jiwa sosialnya. Bahan bakar untuk memancing militansi tersebut adalah ketika mereka bisa dibuat percaya bahwa yang dibantu itu terbukti independen (tidak berpihak pada siapapun selain pada rakyat), dapat disaksikan buktinya secara konkret, dan penjelasan yang mereka peroleh cenderung mudah.


PENUTUP
     Dari fenomena dan bukti-bukti singkat di atas sudah dapat dipastikan bahwa politik dalam kacamata generasi milenial tidak sama dengan politik dalam definisi Aristoteles. Aristoteles memandang politik sebagai kemampuan bertindak dan memikirikan kebaikan bersama. Politik dalam generasi milenial pun tidak sama seperti definisi kontemporer yang menyebutkan bahwa politik adalah alat merebut kekuasaan. Generasi milenial justeru melihat politik dalam gabungan keduanya, politik sebagai tindakan yang bermanfaat bagi orang banyak dan juga politik sebagai agenda menempatkan orang baik dalam kekuasaan. Problem utamanya, generasi milenial seringkali belum bisa secara baik memanfaatkan perangkat tekhnologinya untuk melakukan yang benar, menentukan yang benar, dan menempatkan yang benar sesuai suksesi agenda politiknya.


Jumat, 09 November 2018

Sehat, Adil, dan Bijaksana

Waktu itu aku masih kecil. Masih belum paham betul setiap kali ibuku berdoa memohon kepada Tuhan selepas mengajariku mengaji.

"Semoga anakku jadi anak yang sehat, adil, dan bijaksana" begitu katanya. Lalu mencium keningku dan mengemasi sajadah, Al-Qur'an, lalu membuka mukenah yang dipakainya sedari habis maghrib.

"Amin" aku selalu mengharap, doa itu dikabul. Meskipun, pada waktu itu, aku belum terlalu mengerti.

Belakangan aku baru tahu arti doa itu. Doa yang hanya berisi tiga kata dan diucapkan tidak lebih dari lima detik.

Aku kebetulan sering mengunjungi perpustakaan daerah di Semarang. Sekedar numpang ngadem dan sesekali membaca beberapa buku yang menurutku judulnya menarik.

Di perpustakaan daerah itulah aku bertemu seseorang. Seseorang yang menjelaskan makna doa ibu itu. Sayang, dia enggan disebutkan namanya di sini, di tulisanku.

"Sehat itu, dek" dia memulai pembicaraannya setelah aku menjelaskan sedikit kisah tentang ibu dan betapa bangganya aku memiliki ibu seperti ibuku.

"iya pak" sanggahku penasaran.

"Sehat itu maknanya luas. Sehat itu bukan cuma soal cukup uang untuk makan saja. Sehat itu soal cukup uang untukmu menenangkan pikiranmu. Mau jalan-jalan bisa, mau beli ini dan itu sanggup, agar pikiranmu tenang dan dengan itu kamu menjadi sehat. Tidak pusing atau bahkan stres"

Aku cuma termenung. Aku masih sukar percaya. Aku ragu antara harus menyimak secara serius atau kuanggap sebagai angin lalu saja. Toh, dia kenal saja tidak.

"selanjutnya adil" katanya sambil menepuk pundakku. Tepukannya berisi dan menampilkan kesan penuh optimisme.

"Adil itu artinya ibu mendoakanmu menjadi orang yang besar. Bukan besar secara fisik tetapi besar secara pengaruh. Hanya orang yang mempunyai kuasa, mempunyai pengaruh, dan bisa membuat suatu kebijakanlah yang bisa dikatakan berbuat adil. Dalam posisimu itu kamu dipertaruhkan sikap adilnya"

"Maksudnya, Pak?" kataku bingung.

"Ya maksudnya ibumu memberimu doa supaya kamu sukses kariernya."

Aku terhenyak. Benar juga apa yang diungkapkan bapak itu. Tajam juga analisanya.

"Yang terakhir adalah bijaksana" dia melanjukan untuk kata yang terakhir.

"Ini soal filosofis. Seseorang bisa bijak kalau dia bisa dekat dengan Sang Pencipta. Caranya adalah dengan ibadah."

"Iya pak, terus" aku mengejar lanjutan jawabannya.

"Ibumu sangat berharap kamu menjadi ahli ibadah. Menjadi seorang yang cerdas dan bisa menghaluskan hati dan jiwanya. Yang dari situlah timbul kebijaksaan"

Selasa, 25 September 2018

Bahwa Kemudian

Aku sudah lama tidak menulis. Barang sepatah, dua patah kata. Yang panjang maupun yang pendek.

Tulisanku yang ada di media itu bukan aku. Itu keresahan orang lain yang di atas namakan aku. Soekarno mengistilahkan narasi-narasi itu dengan sebutan "penyambung lidah". Ya, sekedar menyambung lidah. Tidak lebih.

Dalam anggapan Habermas, aku mungkin seorang penerjemah. Penerjemah kalimat-kalimat "warung kopi" pada ruang publik. Ruang publik dalam kategorisasi rasio-komunikatif bukan rasio-kognitif. Hanya sebatas mengilmiahkan yang semula tidak ilmiah, lebih tepatnya. Agar bisa dimengerti khalayak maupun akademisi.

Tulisanku, yang memang benar-benar aku, itu disini tempatnya. Di ruang sempit yang gratisan. Di ruang dimana semua bisa mengakses dan memperolehnya dengan tanpa sepeserpun perlu membayar. Dan aku pun tidak memperoleh bayaran atas itu.

Cerita dan kisahnya mungkin tidak sama seperti yang biasa dibaca. Tidak ideologis dan bahkan tidak seheroik yang biasa ditampilkan. Tetapi itulah kenyataannya.

Dan malam ini aku sedang berpikir tentang banyak keadaan yang meresahkan diriku sendiri. Keadaan dimana setiap orang, baik dengan sengaja atau pun tidak, sangat suka dan bangga apabila telah menampilkan kejelakan orang lain. Seolah tidak sadar bahwa setiap insan pasti memilikinya. Termasuk juga aku.

Entah bagaimana awalnya hal tersebut bisa terjadi. Yang pasti, semua melakukannya untuk menunjukan bahwa dirinya (atau dalam politik : orang yang didukungnya) lebih baik dari orang lain. Tidak lebih. Bagiku, itu mengenaskan.

Konsep fastabiqul khairat atau berlomba-lomba dalam kebaikan disalah artikan menjadi berlomba-lomba dalam menunjukan kejelekan orang lain. Semakin berhasil menunjukan kejelekan, maka semakin dinilai lebih baik.

Data Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) menyebutkan bahwa dari total 1.116 responden ada sekitar 92,40% responden yang menikmati kebohongan itu dari media sosial. Lebih tinggi dari situs web, televisi, maupun media cetak. Sumber yang disebarkan tentunya dari sekitar 800.000 situs yang terindikasi menyebarkan hoax oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi.

Itu yang pertama. Selanjutnya, lebih dalam lagi, soal orang-orang yang mencorat-coret dindingnya dengan warna-warna yang dalam dirinya yang asali itu tidak ada.

Bagi Zizek, filsuf kenamaan asa Slovenia, itu adalah resiko dunia virtual. Resiko komunikasi dua arah. Komunikasi yang aku dengan orang lain tidak saling mengetahui dan memandang. Sehingga tanpa pandang memandang itulah setiap orang berupaya menampilkan dirinya yang lain.

Masing-masing orang menjadi amoeba. Membelah dirinya dengan banyak wajah. Yang lebih parahnya, seringkali yang 'baru ingin' itu merasa lebih baik dari yang 'sudah sedang'. Mengomentari banyak hal yang dia sendiri belum tahu dan belum pernah terlibat.

Satu orang bisa memiliki ratusan akun tanpa perlu takut dihukum atas hal itu. Masing-masing akunnya, dengan identitas dan karakteristik yang lain-lain, dia gunakan untuk saling menimpali dan menumpangi setiap hal yang ingin dia sebarkan agar orang lain tahu.

Tidak jarang itu berhasil menarik minat publik. Dipercaya. Kemudian fitnah-fitnah itu dinilai seakan-akan sebuah fakta.

Mereka melakukannya tanpa kesatria. Tanpa memberikan kesempatan orang yang dijatuhkan itu untuk menjawab sedikit pun.

Tetapi lagi-lagi itu menjadi pilihan. Bagi yang tetap begitu tidak masalah. Yang menghentikan pun bukan berarti baik tetapi lebih kepada kembali pada dirinya yang sebenarnya. Sebab, bagi mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir pilihannya hanya dua, bicara yang baik atau diam.



Minggu, 21 Juni 2015

JEWE


Dia pria paruh baya. Tubuhnya kurus dan matanya melotot. Sepintas, dia mirip dengan seorang yang tinggal di pelataran pengungsian, kumal dan tidak terurus.

Soal berpakaian, dia tidak pernah muluk-muluk. Cukup kaos oblong dan sarung. Serapih-rapihnya, dia punya satu celana pendek yang menutupi ujung lutut dan jaket hijau bertuliskan ‘wali’. Ya Wali, nama band terkenal di Indonesia. Sederhana bukan?

Bila kita hendak mengenalnya lebih jauh, maka kenali sajalah para musafir yang biasa berlalu lalang dengan satu tas disilangkan ke punggung. Begitulah dia. Tidak punya rumah, tidak juga punya keluarga. Hidupnya dia dedikasikan untuk mencari Tuhan. Katanya.

Untuk  beberapa saat, marilah kita persilahkan si Jewe ini untuk tidur. Selamat malam!

***
Pagi menyambut begitu cepat. Matahari bersinar terang tak terhalang barang satu awan pun. Dalam suasana secerah itu, Jewe masih mendengkur dengan sedikit iler yang melumeri bibirnya.

“anak siapa ini?”
“tidak tahu pak? sedari malam dia ada disini”
“bangunkan!!!”
“tapi pak, dia kan sedang tidur?”
“ini masjid, tempat shalat bukan tempat tidur. Sudah cepat bangunkan!!”

Diantara seonggok tubuh yang terkulai lemas, dua pria berkoko putih lengkap dengan sarung dan kopeahnya, berdiri tegak mengadu kata. Satunya berumur dan satunya lagi masih muda. Ada nuansa senioritas pada sang tua dan muda itu.

“nak bangun, nak bangun” dengan hati-hati pria yang lebih muda menendangkan kakinya ke tubuh Jewe. Sedikit tidak sopan sih, tetapi rata-rata memang begitu. Terhadap orang yang tidak dikenal, dalam dunia manusia seperti ada budaya curiga dan mencurigai.

Malang bukan kepayang, Jewe pulas. Tendangan yang melambat namun sering itu tidak dihiraukan. Mungkin, mimpi telah menghanyutkan hidupnya ke dunia yang lain. Dunia yang menihilkan yang nyata.

“kau ini bodoh, cepat ambil air”
“baik pak, baik. Sebentar”

Pak tua yang belum jelas namanya itu, kembali marah dan menyuruh pria muda di sampingnya. Air, oh tentu, sudah jelas, pastilah itu digunakan untuk menyiram Jewe. Tanpa pikir panjang, pria muda lantas kembali dengan se-ember air yang dipesan Pak Tua tadi.

“ini pak”
“eh, kamu itu, ya siram langsung ke anak kurang ajar yang meniduri masjid ini”
“tapi pak?”
“sudah, cepat siram. Disuruh sama orang tua itu harus nurut!!!”

Dan kemudian tanpa butuh waktu lama, “byaaaar”.
Jewe terkaget-kaget. Jantungnya, meskipun cuma hampir, sedikit putus. Matanya terbuka namun ke arah yang salah, arah yang tidak langsung menatap dua pria yang sudah jengkel dengan tingkahnya. Jewe malah menatap ke langit-langit yang penuh dengan ukiran-ukiran kayu jati.

“bangun juga pak”
“sekarang kamu urus dia, dan persilahkan pergi”

Bapak tua, merasa tugasnya dengan memerintah telah selesai, berlalu pergi. Pria muda diberi intruksi gagap yang sangat disadari membingungkan batinnya. Pria muda itu belum terbiasa berbuat kejam terhadap manusia, meskipun sekedar mengusir.
Sejenak, Jewe palingkan wajahnya. Didapatinya pria muda yang sudah sendiri.

“mengapa anda menyiram saya?”
“mengapa anda tertidur disaat orang lain sibuk shalat shubuh, di masjid pula?”
“saya ke masjid bukan untuk shalat, tapi untuk tidur”
“jawaban anda itu, sekiranya cukup menjadi alasan mengapa saya menyiram anda tadi”
“oh, baiklah”

Jewe mengemasi tasnya yang semula menjadi bantal. Dia bangun dan berdiri berhadap-hadapan dengan pria muda yang mendadak berani. Cukup lama juga keduanya memandangi satu dengan lainnya.

“sebelum aku pergi, aku ingin bertanya. Boleh?”
“soal?”
“ini masjid milik siapa?”

Cukup menguras juga pertanyaan Jewe. Pria muda merasa harus membuka berkas-berkas yang tersimpan di dalam otaknya. Tidak lama, jawaban yang sekenanya keluar.

“milik Allah”
“Allah itu siapa?”
“Allah adalah Tuhanku”
“percayakah anda bahwa segala tindakan yang terjadi di dunia ini adalah izin daripada Allah?”
“saya percaya karena saya meyakininya”
“termasuk ketika aku tidur di masjid, kan?”
“hmm, bagaimana ya, hmm, mungkin?”
“baiklah, setidaknya aku tahu, bahwa aku tidur itu atas izinnya tetapi anda justeru tidak mengizinkan itu terjadi. Aku tidur dengan sebelumnya membaca bissmika memohon lindungannya dan kemudian Allah memulaskan tidurku. Shalat ataupun tidur, aku karena Allah, tetapi anda menolaknya. Anda sekarang menjadi Tuhan. Selamat!”
“tapi kata Pak Hambali tadi, masjid itu tempat shalat bukan tempat tidur, itu yang bikin anda keliru. Pak Hambali punya dalil agama yang jelas. Saya tidak meragukan itu dan saya juga tidak mengaku menjadi Tuhan”
“oh begitu, sampaikan pada Pak Hambali, saya menitip maaf pada Tuhan”

Nampak kesal, Jewe pergi dengan menyisakan pertanyaan yang sebenarnya dia sendiri sudah tahu jawabannya. Jewe hanya menguji pria muda itu, tetapi pria muda itu tidak sadar.

Kejadian macam itu bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir yang akan dialami oleh Jewe. Juga oleh para musafir, tentunya. Sebagian ada yang didebat namun sebagian lagi dibiarkan menjadi angin lalu. Untuk yang satu ini, Jewe merasa enggan untuk menanggapi.

Jewe pergi bukan sebab dia tidak berani, bukan pula alasan menaruh hormat, hanya dia kebetulan lapar. Jadi, langkahnya meninggalkan masjid itu bukan murni karena disuruh, tetapi lebih tepatnya karena dia merasa perlu untuk makan.

“besok-besok, akan aku temui sendiri si Hambali itu” gumam Jewe sembari meninggalkan masjid.

***
Menurut penuturan Jewe, dia dahulu punya rumah. Dia juga, melanjutkan ceritanya, pernah punya keluarga. Tetapi karena entah situasi apa, Jewe kini sebatang kara.

Dari kehidupannya yang pilu itu, dia pergi diawali oleh sebuah tempat singgah ke tempat singgah lainnya. Masjid, gardu listrik, halte dan bahkan pos ronda adalah kontrakkan berjalannya. Pengusiran dengan cara disiram mah, baginya amat biasa, tidak akan membuatnya jera.

Keputusannya untuk berjalan, kesana kemari tanpa kejelasan, tidak sekonyong-konyong datang tanpa dilalui dengan peristiwa. Dia, melakukan perantauannya itu, karena dinasehati oleh kakek-kakek di dekat rumah sakit dimana dia ditinggalkan. Kakek itu berkata, “jangan sedih, kamu masih punya Tuhan”.

Itulah, titik pangkal keyakinan tekad bahwa dia ingin berterima kasih kepada Tuhan, harus secara langsung.

Tuhan, bagi Jewe, adalah teman. Tuhan, masih untuk Jewe, adalah ayah dan bahkan keluarganya yang hilang. Meskipun masih hanya sekedar hal yang fana dan mendebar di hati, Jewe hormat pada Tuhan. Oleh karenanya, dia selalu benci apabila ada yang mengaku merujuk pada Tuhan namun tidak sesuai dengan Tuhan pada imajinasinya.

“brengsek, basuh dulu mulutmu sebelum kau menyebut Tuhan” itulah kata-kata kasar yang biasa dia keluarkan untuk menggambarkan emosinya pada orang yang berlaku layiaknya Sang Pemilik Semesta.

***
Adalah pedagang nasi rames yang kemudian disinggahi Jewe.

“hahaha, diusir, nak?”

Wajahnya yang muda, tak urung mengakibatkan Jewe dipanggil ‘nak’. Termasuk oleh ibu-ibu yang berjualan aneka macam masakan khas Sunda.

“iya bu, sialan memang!”
“makanya, kalau mau tidur di warung ibu saja sini, sekalian jagain dagangan ibu”
“memangnya boleh bu?”

Jewe terperangah. Benaknya mulai berisi angan-angan akan suatu kehidupan yang baru, yang lebih baik. Kerja, tempat tinggal dan kawan baru !

“boleh, tapi selama sebulan ini gajinya gratis makan saja. Hitung-hitung percobaan. Mau?”
“baik bu, saya mau”

Setelah sekian lama dia beranjak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, barulah sekarang Jewe temukan hal yang teramat menyenangkannya. Sontak, dengan kepolosan dan kemurnian pikirannya, Jewe berkata...

“ibu itu Tuhan ya?”
“hah, bukan, saya Poinah istri dari tukang becak bernama Lamsijan” ibu warung menggelengkan kepala sambil menunjukan penolakan melalui tangan. Dia cukup serem juga dikata seperti itu.

“oh, maaf bu, saya kira ibu itu adalah Tuhan”
“memangnya kenapa?”
“karena Tuhan itu baik sama seperti ibu”
“olalala, tidak begitu juga anak muda. Kamu harus banyak belajar lagi ya”

Wanita tua berumur sekitar 45 (empat puluh lima) tahun menjawab dengan mondar-mandir. Tangannya terampil memasukan satu persatu bawaannya ke dalam tas. Rambutnya diikat dan dasternya dipakai secara kacau tidak teratur. Dia bergegas.

“yasuda, ini tugas pertamamu. Jaga warung ini. Kamu jangan merasa bisa berbuat jahat karena semua yang ada disekitaran lapangan masjid ini kenal dengan aku. Poinah, paham!”
“paham bu!”

Mimpi apa si Jewe ini, meskipun diperlukakan tidak apik karena dianggap menodai masjid, toh nyatanya nasib mujur tidak pergi jauh darinya. Kini, Jewe, berani berkata bahwa dia sudah tidak terlalu sedih lagi. Dan ini juga artinya, gumamnya menyoal bertemu kembali dengan Pak Hambali bisa dia lakukan sesering mungkin.

***
Lain Jewe lain pula Ami. Jelas, kelamin mereka saja sudah berbeda apalagi kompleksitas masalahnya. Satu maskulin dan satunya lagi feminim. Singkatnya itu.

Ami adalah wanita yang dilahirkan dari keluarga yang taat agama. Mengaji, shalat wajib dan sunnah, menghapa hadisth adalah perkara kecil yang sudah mendarah daging.

Nilai Ami dalam bidang eksak tidaklah dianggap lebih tinggi dibandingkan pengetahuan agama. Ami, bisa dikatakan, hidup di dalam keadaan dimana tidak tahu membaca huruf hijaiyah itu lebih hina daripada planga-plongo ketika ditanya soal rumus menghitung gaya.

Cukup timpang bukan. Ibarat sebuah timbangan mungkin beratnya berlawanan jauh.

“ini ibu warungnya kemana ya?”

Ami, yang rumahnya tidak begitu jauh dari masjid, bertanya. Laju langkahnya percuma manakala dia temukan kondisi warung yang sepi. Dia hanya mendapati pria kurus memakai sarung dan kaos sedang tertidur sambil menonton televisi.

“mas”
“hoy mas”

Dua kali sudah Ami memanggil tetapi tidak ada jawaban. Pria itu, seperti semua tahu, adalah Jewe.

“eh, maaf mba saya tidak mendengar. Ada yang bisa saya bantu?”
“ibu Poinah mana?”
“dia sedang pergi, katanya mah sampai habis dzuhur. Emang dzuhur itu apa ya mba? Saya juga ga mengerti”
“oh, dzuhur itu waktu shalat dan biasanya dimulai jam dua belas siang”

Jewe hanya tahu tempat ibadah tetapi tidak tahu waktu shalat. Hidupnya dia habiskan hanya fokus pada ingin menemui Tuhan dan lalu mengucapkan terima kasih, bukan pada peragaan sembahyang. Wajar kiranya dia tidak paham.

“ya, berarti sekitar jam dua belas”
“terima kasih kalau begitu, nanti sampaikan saja tadi Ami kesini”
“baik mba, nama saya Jewe”
“oke, terima kasih”

Pertemuan itu singkat dan terkesan sudah begitu saja. Namun tidak bagi Jewe, penasarannya muncul pada sosok wanita muda berhijab cokelat dengan menggunakan mukena lengkap.

***


Jumat, 12 Juni 2015

TERIMA (KASIH)



Kasih, percayalah, bahwa dalam setiap cerita yang nantinya indah itu, pastilah dilalui dahulu oleh suka dan duka. Seperti kisah Fatmawati dan Soekarno yang saling bahu membahu dan mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan. Seperti Abigail dan John Adams yang rela menyisihkan tenaga untuk tetap surat menyurat berisi kasih serta sayang.  Dan juga, seperti cinta kita, yang melewati aneka macam perseteruan hebat, darimu, dariku dan dari berbagai kejadian lainnya.

Kasih, malam ini, sebelum engkau larut terlelap begitu dalam, aku ingin mengucapkan terima kasihku padamu.  Meskipun, sepertinya, hal itu tidak pernah cukup untuk membayar semua pengorbananmu.

Kasih, terima kasih karena engkau telah rela memberikan segenap waktumu untukku. Yang mungkin, apabila waktumu itu kau gunakan hanya untuk kebahagiaanmu, kau bisa memperoleh segalanya.

Terima kasih karena engkau telah membuat aku mengerti bahwa sesungguhnya semua itu butuh kesabaran. Yang mungkin, apabila seandainya saja kau tidak marah-marah kepadaku, aku tidak akan pernah menyadari kesalahanku.

Terima kasih karena engkau telah sebegitu ikhlasnya menerimaku tanpa pengharapan. Yang mungkin, apabila hendak kau cari dan kau pilih yang lebih baik, di luar sana lebih telah banyak yang menadahkan tangannya disepertiga malam untukmu.

Terima kasih karena engkau telah mengeluarkan banyak canda dan tawamu yang mengobati kesedihanku. Yang mungkin, apabila seandainya kau selalu memaksakan egomu untuk marah, aku tidak akan bisa menyapu kepedihanku.

Terima kasih karena engkau telah membuat aku mengerti akan arti mencintai dan dicintai. Yang mungkin, apabila kau berikan pada pria yang lain, pria itu akan bisa membalasnya jauh melebihi balasan cintaku padamu.

Yang terakhir, terima kasih karena engkau telah hadir dan merangkum semua kenangan yang sebelumnya telah kulalui.

Kasih, kini pejamkanlah matamu dengan kuat.

Aku akan menjadi orang yang mengelus dan mengusap peluh di dahimu.

Aku akan mengikiskan semua hal yang membuatmu pilu. Iya, hal yang seringkali kau ceritakan padaku itu.

Aku akan menungguimu dengan terjaga sampai nanti kau membuka matamu kembali.